KOMPAS/KELVIN HIANUSA

Pembacaan ikrar budaya menabung dalam Aksi Mahasiswa dan Pemuda Indonesia Menabung 2019 pada Selasa (30/7/2019), di Jakarta.

Kami mahasiswa dan pemuda Indonesia dengan ini menyatakan:
1. Siap menjadi insan muda yang berdaya saing, inovatif, dan inklusif
2. Siap menjadi duta keuangan dan penggerak budaya menabung
3. Siap mendukung aksi Indonesia menabung

Ikrar tersebut diucapkan oleh tidak kurang dari 1.000 mahasiswa yang hadir pada acara bertajuk "Aksi Muda, Menabung untuk Semua" yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta baru-baru ini. Acara ini bertujuan membangkitkan budaya menabung di kalangan pemuda.

Kenapa pemuda (mahasiswa)? Karena mereka adalah kelompok penduduk yang memiliki potensi besar. Coba perhatikan statistik ini: jumlah penduduk pada kelompok umur 15 sampai dengan 29 tahun pada 2019 ini diperkirakan akan mendekati seperempat dari total jumlah penduduk Indonesia. Angka proyeksinya sekitar 65,4 juta orang. Proporsi ini diperkirakan masih akan terus naik pada tahun-tahun selanjutnya.

Fakta bahwa jumlah mereka yang masuk kelompok umur ini sangat besar menunjukkan potensi yang dimiliki mahasiswa dan pemuda. Akan tetapi, pada waktu bersamaan, potensi itu juga melahirkan tantangan yang tidak kecil.

Banyak temuan yang mengindikasikan bahwa pemuda yang sebagian di antaranya mendapat sebutan milenial kurang menyukai menabung. Kalaupun mereka menyisihkan uang untuk tabungan, jumlahnya tidak signifikan. Maka, kampanye membudayakan menabung sejak dini untuk kaum milenial sangatlah tepat.

Rasio tabungan terhadap produk domestik bruto (saving to GDP) Indonesia meski sudah lumayan bagus masih harus ditingkatkan, terutama jika melihat pencapaian negara jiran seperti Singapura. Oleh karena itu, minat untuk menabung, atau apa yang dalam ilmu ekonomi disebut sebagai marginal propensity to save (keinginan untuk menabung), perlu terus ditingkatkan.

Kenapa menabung? Kenapa bukan investasi? Ya, betul, menabung bukanlah investasi, tetapi membiasakan untuk menabung tidaklah salah. Malah sangat benar. Kearifan lama yang mengatakan "sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit" tidak pernah lekang oleh masa.

Terlebih saat ini produk tabungan, khusus untuk pemuda dan mahasiswa, telah memiliki fitur investasi dan juga asuransi. Jadi, menabung dan berinvestasi bisa dilakukan bersamaan. Dengan begitu, frasa menabung telah mengalami perluasan makna. Di pasar modal, tempat yang secara alamiah untuk berinvestasi, misalnya, telah lama diluncurkan program menabung saham.

OJK bersama lembaga jasa keuangan telah menggagas tabungan khusus pemuda yang memiliki fitur investasi, yakni tabungan dengan investasi reksa dana dan proteksi asuransi. Ada juga tabungan yang bertujuan membeli emas. Ini pun diberi perlindungan asuransi. Ada lagi tabungan yang bertujuan menyediakan uang muka untuk membeli rumah.

Jenis tabungan yang disebut terakhir ini sekaligus menjawab kekhawatiran banyak kalangan bahwa generasi muda saat ini kemungkinan besar tidak akan pernah mampu membeli rumah.

Kekhawatiran tersebut disebabkan dua hal ini; (1) cara mereka membelanjakan uang yang besar untuk keperluan gaya hidup dan wisata, (2) anak muda dinilai kerap tidak mengelola keuangan dengan baik dan benar sejak jauh-jauh hari.
Data terakhir menunjukkan bahwa jenis tabungan yang dikhususkan untuk kalangan muda —yang memberi fitur pembiayaan uang muka kepemilikan rumah (KPR)— digemari anak-anak muda.

Perencanaan anak muda

Menyediakan produk tabungan atau investasi adalah satu hal, memberikan pemahaman tentang perencanaan keuangan merupakan hal lain. Berdasarkan hasil survei OJK tentang literasi dan inklusi keuangan tahun 2016, kelompok anak muda memiliki tingkat literasi keuangan 23,4 persen dan inklusi keuangan 64,2 persen. Angka kedua indikator ini lebih rendah daripada rata-rata nasional masing-masing 29,7 persen dan 67,8 persen.

Angka-angka tersebut dapat dibaca sebagai masih terbatasnya pemahaman kalangan muda terhadap keuangan meskipun mereka sudah terpapar oleh produk-produk keuangan. Karena literasi yang belum memadai itu, maka mudah diduga mereka juga belum memiliki pemahaman yang baik mengenai perencanaan keuangan.

Terdorong oleh fakta ini, OJK menerbitkan buku serial literasi keuangan untuk mahasiswa. Buku ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi kalangan muda untuk mengenal industri keuangan. Terdapat 10 buku yang menjelaskan mulai dari aspek pengawasan mikro-prudensial yang menjadi bidang tugas OJK, pasar modal, perbankan, dan industri keuangan non-bank, hingga bagaimana merencanakan keuangan sejak awal agar tidak terlambat.

Tentu saja kita tidak mengharapkan pemuda dan mahasiswa semuanya bisa mengikuti jejak Warren Buffett, sang investor ulung. Buffett mulai mengenal dunia keuangan dan memulai investasi untuk pertama kalinya di pasar modal saat dia masih sangat belia, yakni ketika berusia 11 tahun.

"Saya membeli saham pertama saya waktu berumur 11 tahun, dan setelah itu, saya tidak pernah berhenti,'' ujar Buffett dalam suatu kesempatan. Buffett adalah pengecualian. Namun, pelajaran yang bisa dipetik darinya adalah mengelola keuangan harus dimulai sejak muda. Mahasiswa umumnya belum mandiri secara finansial, dalam pengertian masih mendapat uang bulanan dari orangtua.

Akan tetapi, dengan segala kedewasaan psikologis dan keleluasaan mendapatkan ilmu, sudah sewajarnya mereka mulai menata masa depannya yang tinggal beberapa tahun lagi sebelum memasuki dunia yang sama sekali berbeda: dunia kerja.

Dengan merencanakan keuangan secara baik sejak duduk di kampus, mahasiswa akan mendapatkan kebebasan finansial untuk mencapai tujuan-tujuan hidup mereka, baik jangka pendek maupun jangka panjang.