Kutukan Sumber Daya Alam
Salah satu kalimat yang perlu digarisbawahi dalam pidato Presiden pada 16 Agustus 2019 adalah bahwa sumber daya manusia unggul akan membuat Indonesia keluar dari kutukan sumber daya alam.
Barangkali yang dimaksud, oleh salah kelola sehingga terlena menjual bahan mentah, SDA menjadi kutukan yang membawa bencana. Contoh aktual adalah kayu hutan alam yang begitu melimpah pada awal 1970-an.
Hutan alam Dipterocarpaceae, suku meranti-meran- tian, yang merupakan anugerah luar biasa Tuhan membentang luas di Sumatera dan Kalimantan. Permintaan akan kayu meranti di pasar internasional cukup tinggi. Oleh rezim Orde Baru, bonanza kayu selama 30 tahun dimanfaatkan sebagai penggerak roda pembangunan, menjadi penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi. Maka, hutan alam dieksploitasi habis-habisan demi ekspor kayu mentah: gelondongan.
Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk HPH (hak pengusahaan hutan) asing dan domestik terus bertambah. Pada 2000, misalnya, HPH meningkat sekitar 600 unit dengan areal hutan lebih dari 64 juta hektar. Sumbangan devisa negara hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dollar AS per tahun, terhadap pendapatan nasional.
Ekses izin HPH tak terkendali ini antara lain ketidakcermatan lokasi kawasan yang ditunjuk. Banyak kawasan hutan yang berfungsi lindung—termasuk hutan gambut —masuk dalam wilayah HPH. Sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia tak dipatuhi; pengawasan aparat kehutanan setempat lemah. Singkatnya, kaidah kelestarian produksi hutan alam tidak berjalan baik.
Rezim berganti. Seiring dengan pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, muncul masalah baru yang sebenarnya sudah diperhitungkan sebelumnya: bencana ekologis akibat eksploitasi hutan. Kebakaran hutan dan lahan, khususnya dari bekas hutan gambut yang menghasilkan bencana asap, selalu muncul setiap tahun dalam musim kemarau seperti sekarang.
Pemerintah pusat dan daerah kalang kabut. Entah sampai kapan bencana asap tak lagi terjadi saban tahun. Inilah kutukan SDA hutan yang dimaksud presiden.
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan KLHKVilla
Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Penghasilan Baru
Kami (PT Bintang Indah Gemilang) berhubungan dengan ACC (Astra Credit Companies) dalam pengambilan kendaraan Isuzu NMR 71 TSDL dengan jangka waktu pembayaran 12 bulan hingga lunas.
Pada 11 Maret 2019, kami meminta BPKB yang merupakan hak kami, tetapi ACC mengharuskan kami bayar denda Rp 5.000 per hari untuk keterlambatan pengambilan BPKB. ACC mendalilkan hal ini dengan kontrak perjanjian dengan nomor 01.400.401.00.299979.0.
Kami keberatan karena saat lunas, ACC tak mengingatkan pembeli agar segera mengambil BPKB di kantor ACC, misalnya, selambat-lambatnya setelah sekian hari setelah menerima surat ini.
Kami tak pernah mendapat pemberitahuan/teguran baik lisan maupun tertulis, baik langsung maupun tidak langsung. Namun, saat kami mengambil BPKB yang merupakan hak kami, yang keluar adalah biaya penyimpanan BPKB sebesar Rp 5.000 per hari atau sejumlah Rp 990.000.
Harapan kami ialah agar ACC selaku perusahaan pembiayaan yang terdaftar dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa bertindak wajar dan profesional tanpa memberatkan/membebankan pihak pembeli untuk membayar biaya tambahan yang tak perlu tanpa terlebih dahulu memberikan peringatan.
Demikian surat ini kami sampaikan. Besar harapan kami BPKB yang masih dalam genggaman ACC dapat diserahkan kepada kami.
Untung Gunadi Sukito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar