Sirkulasi kekuasaan legislatif telah berlangsung di Gedung DPR, Senayan, Selasa 1 Oktober 2019. Sebanyak 575 orang telah dilantik sebagai anggota DPR.
Pelantikan anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan MPR adalah tahapan demokrasi yang harus diikuti setelah Pemilu Serentak 17 April 2019. Tahapan selanjutnya adalah pelantikan presiden dan wakil presiden, Minggu 20 Oktober 2019. Semua yang merasa demokrat yang memercayai demokrasi sebagai satu-satunya aturan main, suara rakyat dalam Pemilu 17 April 2019 harus dihormati. Tidak boleh ada pikiran atau langkah lain yang menabrak konstitusi dan menihilkan suara rakyat yang telah disampaikan melalui pemilu.
Menyambut hadirnya DPR baru periode 2019-2024—meskipun sebagian adalah anggota DPR lama—harapan selalu dimunculkan. Bagaimana DPR melakukan refleksi dan introspeksi atau melakukan pertobatan karena kiprahnya selama ini telah banyak mengingkari suara rakyat. Meskipun kita tidak mengatakan performa DPR 2014-2019 buruk, data yang ada bisa membenarkan penilaian itu.
Dalam kurun waktu lima tahun (2014-2019), ketua DPR sampai berganti tiga kali dari Setya Novanto, Ade Komarudin, Setya Novanto, dan Bambang Soesatyo. Ketua DPR dan wakil ketua DPR masuk penjara karena tuduhan korupsi. Produk legislasi DPR pun amat rendah. Target RUU yang diterakan dalam Program Legislasi Nasional tidak ada yang tercapai. Dalam kurun waktu lima tahun, DPR hanya mampu merampungkan 75 undang-undang dari target 249 RUU di Program Legislasi Nasional. Survei Kompas September 2019 menunjukkan, 62,9 persen responden merasa aspirasinya tak diwakili oleh DPR. Di akhir masa jabatannya, DPR justru membuat kisruh legislasi berkepanjangan yang memicu gelombang protes.
Atas dasar itu, refleksi, introspeksi, atau pertobatan parlemen diperlukan. Para wakil rakyat itu harus menyadari, mereka adalah wakil rakyat, dan tentu harus memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Mereka adalah elected office, yang dipilih rakyat, dibayar oleh rakyat untuk berbicara. Pekerjaan Dewan di mana pun adalah berbicara. Berbicara di Dewan adalah the exertion of power, mengerjakan kekuasaan, mengolah kekuasaan untuk mencapai tujuan. Tidak bisa dimengerti jika anggota DPR sama sekali tidak pernah berbicara mengolah kekuasaan.
Kuasa wicara (the power of speech) memperjuangkan kepentingan rakyat adalah esensi dari DPR. Menjadi anggota DPR haruslah mempunyai compassion terhadap apa yang dirasakan rakyat, mempunyai sensibilitas politik, dan mempunyai kemampuan teknis. Di era digital, di generasi always online, pengembangan compassion, engagement dengan rakyat, bukanlah hal sulit.
DPR haruslah menyadari, mereka dilahirkan dari rahim rakyat. Meninggalkan suara rakyat dan lebih berpihak pada kepentingan oligarki tentu merupakan penyimpangan besar. Publik berharap hadirnya DPR modern yang punya compassion terhadap kepentingan rakyat. Selamat bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar