Meski bukan penyair, Garin Nugroho suka bermain-main dengan puisi. Sejak melakukan debut dalam film cerita Cinta dalam Sepotong Roti(1991), hampir seluruh karyanya diwarnai puisi. Setidaknya pada adegan-adegan yang ia susun, puisi selalu berkelebat dan bahkan memberi warna yang dominan.
Puisi dalam karya-karya Garin bukan sekadar kegenitan, tetapi luruh ke dalam substansi gagasan cerita. Karya terbarunya bertajuk Planet Sebuah Lament dipentaskan 17-18 Januari 2020 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), merupakan sebuah perpaduan yang pernah saya sebut sebagai post-cinema. Di dalamnya terdapat adonan antara teater, tari, nyanyian, film, musik, dan seni rupa. Adonan itu menghasilkan satu jenis "zat" baru bernama Setan Jawa, sebuah film bisu yang diberi ilustrasi musik oleh beberapa komposer.
Pada film yang memenangi Piala Citra 2019, Kucumbu Tubuh Indahku, sutradara kelahiran Yogyakarta ini senantiasa menggunakan puisi sebagai wahana untuk menampung seluruh gagasan estetiknya. Puisi hadir bukan sebagai karya verbal, melainkan melebur ke dalam elemen-elemen artistik-simbolik yang kaya imaji.
Ide cerita yang diangkat dari kisah hidup penari lengger, Rianto, kemudian berkembang menjadi tema tentang kesetaraan hidup manusia. Lelaki dan perempuan punya hak sama untuk menentukan jalan hidup sendiri. Diskriminasi jender hanya akan memerosotkan citra dan martabat kemanusiaan, yang telah dibangun dengan susah payah, melintasi berbagai kekerasan serta kepedihan selama ratusan tahun.
Olesan selai serikaya di atas sepotong roti yang menjadi pembuka film Cinta dalam Sepotong Roti terkesan menjadi penuh makna ketika dikerjakan oleh seorang istri bernama Mayang (Rizky Erzet Theo). Tahun 1990-an, adegan-adegan simbolik semacam ini nyaris tak pernah disentuh oleh film-film sebelumnya.
Tentu saja bukan karena olesan selai di atas roti yang kemudian membawa film ini memenangi Piala Citra 1991. Banyak elemen yang mengantarkan film ini dianggap telah mendorong pembaruan dalam perfilman nasional pada era awal 1990-an.
Planet Sebuah Lament berangkat darilament (nyanyian tradisi tentang ratapan) yang disenandungkan saat-saat berduka, tetapi justru bertujuan saling menguatkan. Lament terutama hidup subur pada masyarakat Melanesia di kawasan Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Pelan-pelan, di mata Garin, ia identik dengan senandung suku-suku terpinggirkan, yang biasanya berkulit hitam dan berambut keriting. Kebetulan Melanesia sendiri berasal dari bahasa Yunani: melano (pulau) dan nesos (hitam). Kepulauan yang dihuni orang-orang Melanesia tersebar dari Nusa Tenggara Timur, Papua, Maluku, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Kaledonia Baru, Timor Leste, dan Samoa.
Isu tentang Papua dalam kacamata banyak orang senantiasa berkelindan antara kemiskinan, kebodohan, primitif, barbar, dan ekstremisme politik. Pandangan semacam ini secara stereotip dikonstruksi atas "kerja sama" antara kaum birokrat, politisi, ekonom, peneliti, dan media. Jika pun terjadi perebutan wilayah sebagaimana pada masa Tiga Komando Rakyat (Trikora) yang digulirkan Bung Karno tahun 1961, semata-mata dalam pengertian penguasaan wilayah teritori negara.
Pandangan bahwa Papua, dan juga kelompok etnis Melanesia lainnya, terdiri dari orang-orang "primitif" tidak pernah berubah sampai sekarang. Bahkan, realitas itu terus-menerus direproduksi untuk kemudian lahir sebagai stigmatisasi yang akut.
Garin ingin memasuki wilayah terpinggirkan itu melalui lament, nyanyian-nyanyian ratapan yang kemudian ia tafsirkan sebagai tembang kepedihan atas semua masalah lingkungan. Perubahan iklim telah mempercepat berbagai bencana di seluruh negeri.
Banjir, longsor, puting beliung, gempa bumi, likuefaksi, letusan gunung, dan tsunami datang bertubi-tubi seperti gelombang laut pasang. Dalam catatan Garin, tahun 2019 setidaknya telah terjadi lebih dari 3.000 bencana alam di dunia. "Itu belum termasuk penderitaan akibat perang," katanya.
Ratapan tentang kebangkitan itu justru hidup pada suku-suku yang terus-menerus "tertindas" dan "terpinggirkan" secara struktural. Melalui peneliti bernama Septina Rosalina Layan, Garin mengumpulkanlament dari Papua dan Timor untuk kemudian ia gubah menjadi pertunjukan sepanjang hampir dua jam.
Kanaiwa kasasodla
Kanaiwa kawihe
Bekai kanaiwa awihe
Kami sedih
Kami gelisah
Hati kami menangis
Ratapan yang diciptakan Septina dalam bahasa Malind Merauke ini sesungguhnya berkisah tentang kesedihan orang-orang Papua akibat penetrasi sawit, yang kemudian menghancurkan sagu (pangan) lokal. Septina mengatakan, ia menciptakanlament itu ketika mementaskan karyanya bertajuk Sagu vs Sawit(2017).
Saat pentas Planet Sebuah Lament, nyanyian ini dikumandangkan kelompok paduan suara Mazmur Chorale Choir dari Kupang saat sesosok monster (jelmaan sampah plastik) merebut sumber energi dan pangan manusia. Pada konteks orang-orang Papua, kata Septina, kehadiran tanaman monokultur, seperti sawit, justru menghancurkan sumber pangan natural seperti sagu.
Kehadiran sawit berdampak besar bagi orang Papua. Orang-orang Papua tak hanya kehilangan sumber pangan, tetapi juga kehancuran kebudayaan. Sawit membawa perubahan dalam akses terhadap lahan dan kepemilikan. Lahan sawit mengokupasi hamparan tanaman sagu yang tumbuh alami dan membatasi akses rakyat terhadap alam bebas.
Kehilangan sumber pangan berupa sagu membuat orang-orang Papua tergantung pada beras, yang nyaris tidak pernah "dibudidayakan" di tanah Papua. Kenyataan itu membuat mereka "terpaksa" tergantung pada "kemurahan" hati orang-orang Jakarta yang memasok beras dari Maros (Sulawesi Selatan) dan Pulau Jawa.
Ketergantungan itulah yang "merekayasa" kekurangan gizi dan bencana kelaparan, yang hampir saban tahun kita dengar terjadi di Papua. Soal itu pernah saya tulis dalam sebuah naskah monolog bertajukDokter Jawa dan menjadi naskah wajib dalam Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) 2019, yang puncaknya digelar di Bandar Lampung. Bukan sekadar penyodoran fakta, melainkan naskah ini ingin menggugah kesadaran dan empati sebagai sesama anak bangsa. Tak jarang, saya menemukan banyak siswa tersentuh lalu tersedu menangis di tengah-tengah pementasan.
Garin pastilah bukan bertujuan mengeduk air mata simpati, tetapi mengampanyekan etnis Melanesia, yang selalu tersudutkan dalam banyak hal. Di tengah ratapan yang menjadi tubuh besar pementasan, ia ingin menyodorkan kepada publik dunia bahwa seharusnya kita kembali pada kebijaksanaan hidup lokal dalam menyikapi perubahan iklim.
Cara hidup orang-orang Melanesia senantiasa menyatu dengan alam. "Mereka mengambil secukupnya dan kemudian memberi kepada alam, bukan mengeksploitasi," kata Garin.
Industrialisasi telah menghasilkan residu sampah, yang menjelma monster-monster menakutkan. Pada akhirnya monster-monster itulah yang sebagian besar menguasai pangan dan energi hidup manusia. Pesan yang terkesan epik ini diungkapkan Garin dengan cara amat puitis. Ia mendorong Mazmur Chorale Choir sebagai tubuh utama pementasan. Musikalitas dibentuk oleh nyanyian-nyanyianlament, yang diangkat dari bahasa suku-suku Melanesia di Papua, Timor, dan Flores.
Apa sesungguhnya yang menjadi perebutan manusia pada era Industri Digital 4.0 ini? Tidak berubah jauh dibanding masa-masa primitif dahulu kala. Manusia berebut telur, sumber kehidupan yang mengandung energi dan pangan. Ketika para monster menghancurkan seorang lelaki yang tersisa setelah bencana besar tsunami, seekor burung Kaswari (Rianto) menjadi penyelamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar