Benarlah kiranya yang ditulis oleh R Ng Ranggawarsita (1802-1873) dalamSerat Kalatidha. Kata kala berarti 'zaman' dan tidha adalah 'ragu'. Berarti zaman penuh keraguan. Akan tetapi, banyak yang mengartikan "kalatidhaadalah zaman edan". Pengertian "zaman edan" itu mengambil makna dari bait ketujuh dari 12 bait yang ada dalam serat berbentuk tembang "Sinom" ini.
Serat yang kira-kira ditulis pada tahun 1860-an itu membicarakan runyamnya zaman perubahan, Zaman Edan, atau Zaman Kala Bendu, atau Kala Tidha. Salah satu cuplikan karya sastra tembang Sinom dalam Serat Kalatidasangat bernada moralistik sekaligus sarkasme, cemoohan.
Bait ketujuh dari Serat Kalatidhaberbunyi demikian:
amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.
(mengalami zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).
Apakah sekarang ini zaman edan? Dahulu, menurut Sartono Kartodirjo (1992), zaman yang tidak menentu seperti itu melahirkan mitos Ratu Adil. Mitos itu muncul manakala masyarakat menghadapi perubahan-perubahan sosial yang besar. Keresahan di depan perubahan dan kerisauan menghadapi masa depan yang tak pasti membuat orang mengharapkan Ratu Adil. Zaman edan—zaman yang bergolak penuh perubahan—adalah pertanda bagi munculnya akhir zaman di mana saat itu sang Ratu Adil akan bertakhta untuk menyeimbangkan lagi segala sesuatu.
Istilah Ratu Adil—selain istilah "Herucakra" dan "Zaman Edan"—adalah istilah yang merupakan ungkapan profetis. Istilah yang menggambarkan suatu kondisi tentang zaman yang dirasakan semakin merosot kualitasnya dan sekaligus mengungkapkan harapan akan datangnya penyelamat. Dan, "Sang Penyelamat" itulah yang diharapkan akan membebaskan masyarakat dan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang adil serta menciptakan kemakmuran, ketenteraman, gemah ripah loh jinawi, tata titi lan tentrem.
Misalnya, menurut Purwadi (2004), Ratu Adil dapat ditafsirkan sebagai seorang yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ratu Adil juga dipahami sebagai pelindung atau pengayom dari seluruh masyarakat tanpa membedakan golongan dan tanpa keberpihakan kecuali hanya berpihak pada kebenaran hakiki yang bersifat universal.
"Herucakra" adalah raja keadilan, penguasa agama dan nabi Tuhan; juga sering disebut Satrio Pinandito Sisihan Wahyu. Umumnya istilah ini digabung dengan istilah Ratu Adil, menjadi "Ratu Adil Herucakra". Zaman edan atau zaman gila merupakan suatu fenomena yang sedang dilanda krisis dan bencana.
Di masa lalu, menurut Sartono Kartodirjo, ketika kondisi zaman sudah demikian buruk, bubrah, maka muncul pemberontakan-pemberontakan. Semua gerakan, di mana muncul pemberontakan itu umumnya dinyatakan sebagai gerakan juru selamat (mesianisme), gerakan ratu adil (milenarisme), gerakan kepribumian (nativisme), dan gagasan-gagasan perang suci.
Beberapa kasus pemberontakan petani antara lain peristiwa Cikandi Udik (1845), kasus Bekasi (1868), kasus Amat Ngisa (1871), pemberontakan Cilegon (1888), kerusuhan Ciomas (1886), pemberontakan Gedangan (1904,) dan pemberontakan Dermajaya (1907). Contoh lain, menurut M Tauchid (1953) adalah gerakan pemberontakan yang berkaitan dengan penggusuran tanah garapan ataupun perkampungan rakyat oleh perkebunan Belanda (onderneming) di beberapa daerah di Jawa Barat mendapat perlawanan. Sejumlah sengketa pecah menjadi konflik terbuka, misalnya Peristiwa Langen di daerah Banjar, Ciamis (1905); Peristiwa Cisarua dan Koja, Plered (1913-1914); serta Peristiwa Rawa Lakbok, Ciamis (1930).
Sartono Kartodirjo menyebutkan, "Banyak gerakan sosial, termasuk kerusuhan, pemberontakan, sekterisme, dapat diklasifikasikan sebagai gerakan keagamaan, karena gejala-gejala tersebut pada umumnya cenderung untuk berhubungan dengan gerakan-gerakan yang diilhami oleh agama atau menggunakan cara-cara agama untuk mewujudkan tujuan-tujuan gaib mereka. Kebanyakan pergolakan tersebut cenderung mempunyai segi-segi yang bercorak keagamaan."
Mitos Ratu Adil itu tidak hanya ada di negeri ini. A Setyo Wibowo (2014) menyejajarkan ide tentang Ratu Adil dari Jawa dan Ratu Filsuf dari Republic-nya Plato. Keduanya, konteks pembicaraannya, mirip. Wacana Ratu Adil menguat dan dimunculkan ketika suasana sosial politik membingungkan, meresahkan, dan penuh hal-hal negatif. Begitu pula wacana Plato tentang Ratu Filsuf tidak bisa dilepaskan dari keresahannya menyaksikan pembusukan rezim demokrasi di Athena, Yunani, pada abad ke-5 SM.
Plato menggambarkan situasi itu sebagai "demokrasi yang anarki": relativisme moral (anak kehilangan sopan santun, orangtua tidak tahu lagi bagaimana menggunakan otoritasnya) dan relativisme hukum (toleransi terlalu besar kepada para pelaku tindak kejahatan, undang-undang saling bertabrakan, tumpang tindih). Masyarakat menjadi anarki, anarkis. Artinya, tanpa prinsip yang mengomando tatanan. Situasi buruk ini mendorong Plato menulis bukuPoliteia (Republic).
Dua figur ini—Ratu Adil dan Ratu Filsuf—dianggap bisa menjadi solusi untuk mengakhiri zaman edan guna memasuki era yang lebih baik. Uniknya, dua figur pemimpin ini (Ratu Adil dan Ratu Filsuf) bukan pemimpin yang bisa ditelurkan begitu saja melalui serangkaian proses yang wajar. Intervensi dari Yang Ilahi dirujuk sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab untuk kemunculan mereka.
Apakah zaman sekarang ini memenuhi syarat-syarat munculnya Ratu Adil (atau mungkin Ratu Adil malahan sudah muncul) atau lahirnya "Zaman Edan" seperti yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo, Purwadi, dan juga Setyo Wibowo?
Mungkin, zaman edan; di mana banyak orang memegang prinsip mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik—ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian. Banyak orang menjadi seperti kalimat bijak ini, avarus animus nullo satiatur lucro—pikiran rakus tidak puas dengan keuntungan berapa pun; entah itu keuntungan ekonomi ataupun politik atau keuntungan yang lain.
Zaman memang sudah edan atau orang-orang di zaman ini yang edan. Barangkali demikian yang melatari lahirnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo dengan Sinuhun Rangkai Mataram Agung sebagai raja dan Kanjeng Ratu Dyah Gitaraja sebagai permaisuri. Atau juga Sunda Empire yang mengklaim beranggotakan 54 negara dan juga menyebut sistem pemerintahan di dunia akan dikontrol dari Bandung. Atau, konon, juga muncul di Klaten.
Atau mungkin semua itu sekadar mengulang yang dulu dilakukan oleh Raja Idrus dan istrinya Ratu Markonah yang membuat heboh pada 1950-an. Mereka mendaku sebagai penguasa dari suku Kubu di pedalaman Jambi dan menemui Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Mereka mengaku bisa membantu pemerintah membebaskan Irian Barat.
Malahan menurut cerita, selain mendapatkan sambutan dan jamuan istimewa, sang raja dan ratu memperoleh uang untuk misi membantu pembebasan Irian Barat (Papua bagian barat). Soekarno pun memberi mereka uang untuk menginap di hotel mewah dan makan gratis selama berminggu-minggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar