Andai bunga oleander tidak mekar di musim panas pertama, mungkin bangsa Jepang tetap berada dalam kungkungan keputusasaan yang mencekam.
Keping-keping bunga berwarna merah merona itu mencuat dari kehijauan dedaunan yang merimbun.
Tak jauh dari sana, pohon-pohon kapur barus disebut sebagai hibaku jumoku, memunculkan ranting-ranting baru. Tiba-tiba ada harapan untuk melanjutkan hidup di tengah kehancuran.
Bunga-bunga oleander, sering pula disebut bunga jepun, yang bermekaran seolah meniupkan angin keajaiban dan menumbuhkan hidup baru. Pohon-pohon kapur barus yang tinggi menjulang kemudian menjawabnya dengan mengatakan,"Hidup selalu harus dimulai dari ranting yang baru."
Kedua pohon ini kemudian dijadikan sebagai pohon resmi simbol kebangkitan Hiroshima untuk menyuarakan perdamaian. Sejarah mencatat pada 6 Agustus 1945 kota Hiroshima luluh menjadi debu setelah dijatuhi bom atom oleh pesawat Bockscar milik Amerika Serikat. Diperkirakan 90.000-146.000 penduduk Hiroshima mati terbakar.
Tak berselang lama, pada 9 Agustus bom atom kedua jatuh di kota Nagasaki dan 39.000-80.000 warganya tewas seketika. Banyak orang memperkirakan Hiroshima dan Nagasaki harus menunggu 70 tahun untuk bangkit kembali seperti semula.
Ajaibnya, pada musim gugur pertama setelah pengeboman, gulma mulai menghijau, disusul oleander yang bermekaran, serta ranting-ranting baru pohon kapur barus.
Semuanya menjadi inspirasi orang-orang Jepang untuk bangkit dari kekalahan perang. Mereka mengibaratkan dirinya sebagai burung phoenix yang bangkit dari reruntuhan dan terbang menjelajah angkasa.
Bukan untuk tujuan membalas dendam dengan mengobarkan perang baru, melainkan menggemakan api perdamaian.
Orang-orang Jepang membangun Taman Peringatan Perdamaian Hiroshima dengan sebuah lonceng yang menggantung. Setiap orang yang berkunjung boleh membunyikan lonceng sebagai tanda perdamaian dunia.
Di sekitar taman terdapat bunga teratai yang makin memperkokoh daya tahan orang Jepang dalam menghadapi badai. Bunga teratai adalah inspirasi tentang ketahanan hidup dalam berbagai kesulitan.
Bunga dan daun-daunnya yang terbuka melejit dari kedalaman lumpur, lalu memberi keindahan setelah melintasi rendaman air.
Jika Hiroshima dan Nagasaki di kemudian hari dikenal sebagai kota inspirasi untuk perdamaian, London dikenal sebagai kota yang berhasil melawan wabah sampar yang membekap daratan Eropa.
Tahun 1665, London adalah neraka yang menghampar sepanjang Sungai Thames. Warga kota berduyun-duyun meninggalkan kota setelah tercatat 100.000 orang meninggal. London menjelma sebagai kota mati.
Serangan wabah sampar yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestisdan tersebarkan melalui kutu tikus sebelumnya pernah melanda Eropa tahun 1347-1351. Hari kelam dalam sejarah Eropa itu disebut sebagai Black Death (Maut Hitam), di mana tercatat 75 juta-200 juta orang mati dalam keadaan menderita. Bahkan disebut-sebut 60 persen penduduk Eropa musnah karena wabah sampar.
Banyak pihak berdalih bahwa masa-masa kelabu Eropa disebabkan oleh Perang Sipil Inggris (1642-1651) yang telah menyebabkan wabah mematikan. Bahkan, ada pula pendapat yang menyebut kehancuran Inggris disebabkan oleh tanda-tanda alam seperti komet di langit London tahun 1664.
Belakangan kemudian diketahui penyebab wabah sampar atau pes dibawa oleh tikus-tikus yang hidup di got-got dan permukiman kumuh sekitar rumah warga. Tikus-tikus menyebarkan kutu yang membawa bakteri Yersinia pestis dan menggigit manusia.
Mereka yang terserang sampar, sebagaimana dilukiskan Albert Camus dalam novel La Peste (Sampar), memiliki kulit menghitam, disusul pembengkakan pada kelenjar getah bening di ketiak, selangkangan, dan leher. Dalam waktu 5-6 hari setelah mengalami demam hebat, penderitanya kemudian meninggal.
London tak kurang membutuhkan waktu lebih dari 50 tahun untuk bangkit kembali seperti semula. Orang-orang mulai belajar bahwa menjaga sanitasi dengan hidup secara benar dan mengerti tentang pentingnya mengelola lingkungan yang sehat sangatlah penting.
Semuanya akan berkorelasi dengan kehidupan kota yang makin tabah, tahan banting, ramah, sehat, dan dinamis. Berabad-abad kemudian London menjelma menjadi kota utama di Eropa.
Sebuah diskusi tentang kota inklusif yang digagas Jembrana Creative City Oriented (JCCO) dan dikelola anak-anak muda, saya ikuti Sabtu (21/2/2020) di Wantilan Kelurahan Baler Bale Agung, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali.
Sangat kebetulan di forum itu hadir pula sebagai nara sumber Wakil Bupati Jembrana Kembang Hartawan. Saya ungkapkan bahwa Negara, sebagai sebuah kota menyimpan trauma psiko-sosial yang berkarat dari tahun ke tahun.
Dalam sejarah modern, kota itu pernah dilanda tragedi berdarah berupa pembantaian terhadap eksponen PKI tahun 1965. Penculikan dan pembunuhan warga tanpa pernah diadili dimulai dari meletusnya peristiwa di Desa Tegalbadeng, yang berlokasi di selatan kota.
Rumah-rumah dibakar dan orang-orang yang dicap PKI dibantai tanpa ampun. Pembantaian kemudian merembet ke Desa Mertasari, di mana ratusan lelaki dewasa diburu dan dibunuh.
Sampai sekarang sebagian besar warga masih mengenali sebuah gedung bernama Toko Wong. Gedung ini tak lain adalah arena pembantaian orang-orang dari berbagai desa yang diculik dan ditangkap tentara.
Semasa hidup, ayah saya bercerita, di sanalah ia diberi tugas mengangkat jenazah yang berdarah-darah. "Darah di ruang bawah sampai sebatas lutut," kata ayah saya.
Sampai kini Kota Negara masih terus menyimpan trauma politik yang berlarat-larat. Seorang peserta diskusi memberi kesaksian betapa sulitnya ia menjadi diri sendiri.
Hidupnya diperumit oleh keadaan dan situasi yang tidak pernah ia pahami benar kenyataannya. "Saya harus kerja berpindah-pindah karena selalu diberi cap anak PKI," katanya.
Kesaksian ini menjadi bukti bahwa kota masih menyimpan masalah. Angka moderat menyebut pembantaian di Negara dan seluruh Bali telah menewaskan 100.000 orang lebih, separuhnya adalah warga Kota Negara.
Tragedi kedua terjadi pada 14 Juli 1976, ketika gempa bumi berkekuatan M 6,5 meluluhlantakkan kota. Tak kurang 500 orang meninggal. Rakyat hidup melarat di jalan-jalan selama lebih dari tiga bulan. Pakaian, makanan, dan kesehatan nyaris menjadi barang yang paling langka.
Dua peristiwa itu sampai kini tidak pernah dianggap sebagai kejadian yang menyebabkan trauma. Warga dan terutama pemerintah seolah menganggap kejadian lalu biarlah berlalu. "Semuanya akan terhapus oleh waktu," kata seorang guru yang ikut dalam diskusi.
Di situlah kita melihat perbedaan respons yang sangat mendasar antara warga Jepang, London, dan Negara. Orang-orang Jepang berhasil membaca tanda-tanda semesta untuk kemudian mereka jadikan momentum kebangkitan.
Mereka tidak memelihara dendam sebagai kemarahan yang harus dilampiaskan secara setimpal, tetapi justru menggalang perdamaian. Bahwa Hiroshima dan Nagasaki adalah contoh kota korban kebrutalan perang. Cukup sampai Hiroshima dan Nagasaki, jangan sampai melanda kota lain.
Pada Festival Perdamaian Hiroshima 1947, masa awal kebangkitan kota, Wali Kota Shinzo Hamai berseru,"Ayo bergabung bersama kami untuk membersihkan bumi ini dari kengerian perang dan membangun sebuah perdamaian sesungguhnya."
Seruan ini kemudian menjadi inspirasi para wali kota Hiroshima berikutnya untuk terus menggemakan perdamaian sebagai jalan mengakhiri permusuhan antar umat manusia.
Sebagai organisme yang hidup, Kota Negara memendam luka batin. Ia menderita karena tidak pernah secara jujur mengakui bahwa ada peristiwa ngeri yang pernah terjadi di masa lalu. Polarisasi yang terjadi antar-warga berbeda agama dan suku di masa sekarang, tak lain akibat ketidakjujuran dalam meniti sejarah kota.
Sesungguhnya kota ini sejak lahir telah menjadi ruang hidup bersama di antara banyak suku berbeda agama. Selain orang Bali yang beragama Hindu, Kristen, dan Katolik, di sini juga menetap orang-orang Bugis, Melayu, Jawa, Madura yang memeluk Islam.
Dalam kelompok-kelompok kecil terdapat orang-orang China yang memeluk Khonghucu dan Buddha. Kota ini adalah Indonesia mini, cerminan dari Bhinneka Tunggal Ika, sesuatu yang terberi di negara ini.
Potensi etnisitas dan religiositas yang beragam ini bisa menjadi modal dasar untuk menyuarakan toleransi dunia. Suku dan agama boleh berbeda, tetapi semuanya hidup dalam satu ruang bersama yang rukun.
Celakanya, potensi besar keberagaman ini bisa menjadi mesin penghancur kehidupan toleransi. Setidaknya luka gores yang dalam akibat peristiwa 1965, tak kunjung diakui pernah ada, apalagi dilakukan sebuah rekonsiliasi kultural.
Jika ingin menjadi kota yang benar-benar tumbuh sehat, Kota Negara membutuhkan bunga jepun sebagai simbol rekonsiliasi untuk mengakhiri dendam yang berkarat selama puluhan tahun.
Dendam kesumat yang disimpan dalam-dalam, ibarat wabah yang mengintai dan setiap saat siap meledak menjadi kerusuhan massal. Alangkah baiknya, Negara memikirkan membangun "monumen" rekonsiliasi, sebagaimana Hiroshima membangun Taman Peringatan Perdamaian untuk memutus tali dendam di antara para warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar