Persaingan bisnis pengantaran makanan makin ketat. Tak lagi hanya jasa pengantaran makanan secara umum, tetapi juga perusahaan teknologi makin memasuki bisnis pengantaran makanan yang spesifik. Mereka mengincar pasar khusus dan juga menawarkan hanya restoran atau rumah makan tertentu.
Kepastian kualitas dari penyedia makanan juga menjadi kekuataan lain bisnis pengantaran makanan yang memilih pasar yang sempit ini. Di sisi lain, penggunaan teknologi juga makin intensif meski kemudian memunculkan sejumlah masalah yang berujung pada tindakan aji mumpung.
Menurut laporan Financial Time, tahun lalu investasi di perusahaan teknologi pengantaran makanan mengalami kenaikan signifikan dibandingkan tahun 2018. Para investor memilih tidak menyalurkan lagi dananya, tetapi membesarkan beberapa usaha rintisan pengantaran makanan yang sudah ada sehingga dominasi mereka membesar.
Akibatnya, tidak banyak pemain baru yang bermunculan. Doordash mendapatkan pendanaan sebesar 1 miliar dollar AS dan Deliveroo mendapatkan 575 juta dollar AS. Secara keseluruhan pendanaan di pengantaran makanan naik 56 persen menjadi 2,4 miliar dollar AS.
Tren bisnis pengantaran makanan meningkat di berbagai negara, termasuk Kanada. Konsumen di negara itu biasa memesan makanan melalui beberapa aplikasi yang populer, seperti Skip The Dishes dan Uber Eats. Meski demikian, sebuah laporan dari CBC News menyebutkan, tidak semua konsumen puas dengan layanan mereka.
Inovasi di bisnis pengantaran makanan juga terus terjadi. Di negara itu, sebuah keluarga yang merupakan operator sebuah perusahaan ritel sampai membikin pemesanan makanan khusus untuk makanan India. Mereka memasak sendiri makanan itu dan mengantarkannya kepada konsumen. Bahkan, mereka menawarkan makanan vegetarian dan nonvegetarian.
Mereka melihat peluang pasar yang spesifik. Alasan pendiri usaha ini, banyak orang yang tidak sempat memasak di rumah. Mereka juga melihat peluang ada pasar yang menginginkan pengalaman untuk menikmati makanan India yang otentik.
Untuk menjalankan usaha, keluarga ini bangun pagi-pagi setiap hari dan menyiapkan makanan. Kemudian mereka mengemas di rantang dan mengantarkannya hingga ke depan pintu pemesanan.
Di Kanada fenomena seperti ini makin banyak ditemukan. Banyak konsumen yang menginginkan makanan spesifik. Di samping itu, konsumen juga mulai menginginkan kepastian kualitas makanan yang dipesan. Di bisnis ini masih banyak ruang terbuka untuk berkembang.
Kalangan pengamat juga melihat ke depan bisnis pengantaran makanan akan makin canggih. Pasar yang dituju kemungkinan makin spesifik. Mereka akan memasuki bisnis yang melayani konsumen-konsumen dengan kebutuhan tertentu. Perusahaan teknologi tentu akan menjawab tantangan ini ketika mereka melihat pasar yang besar.
Di Irlandia, seperti dilaporkan Irish Mirror, sebuah layanan pengantaran makanan dengan menggunakan pesawat nirawak akan segera dimulai. Pendiri usaha rintisan bernama Manna Aero mengatakan, pesawat ini akan mengantarkan makanan dari pemasok hinga ke pintu pemesan hanya dalam waktu 3 menit. Otoritas penerbangan setempat telah memberi izin penggunaan pesawat nirawak untuk pengantaran makanan.
Manna Aero sudah merencanakan beberapa pasar besar untuk dimasuki. Salah satu kampus di negara itu akan menjadi percobaan pengiriman makanan dengan menggunakan pesawat nirawak. Pesawat ini digunakan untuk mengantar makanan dari restoran ke mahasiswa atau dosen kampus itu.
Pesawat akan berada di ketinggian 10 meter kemudian akan diterima di area kargo universitas itu. Mereka telah bekerja sama dengan beberapa restoran di negara itu. Jaminan waktu tiga menit pengantaran untuk layanan di area 40 kilometer persegi. Para pendiri menjanjikan pengantaran makanan yang lebih cepat, lebih bersih, murah, dan berkualitas tinggi. Apabila sukses, pengantaran makanan ini akan menggantikan pengantaran makanan dengan menggunakan kendaraan bermotor yang selama ini ada.
Meski demikian, di tengah inovasi bisnis pengantaran makanan yang berkembang pesat, ada beberapa pihak yang melakukan tindakan aji mumpung. Di San Francisco ada yang membangun "restoran hantu". Mereka memasuki aplikasi dan akan muncul di pilihan restoran yang akan dipesan. Pemesan bisa melakukan pembayaran, tetapi makanan tak pernah sampai karena sebenarnya restoran itu tidak ada. Kini otoritas setempat tengah menyelidiki kasus ini dan telah memanggil perusahaan teknologi serta restoran untuk menjamin hak-hak konsumen.
Fenomena "restoran hantu" ini berupa, mereka ada di aplikasi tetapi tak memiliki restoran fisik. Mereka juga memiliki laman internet. Kadang ada yang memiliki dapur kecil di tempat yang tak jelas atau dapur yang menggunakan truk sewaan.
Di sisi lain, ada perusahaan teknologi yang nakal. Mereka memasukkan sejumlah restoran tanpa sepengetahuan pemilik restoran sehingga para pemilik restoran kebingungan ketika mereka mendapatkan pesanan. Apalagi pemilik restoran mengatakan, hubungan dengan pelanggan tidak bisa difasilitasi dengan aplikasi. Mereka memiliki relasi khusus dan pelanggan ingin mendapatkan pengalaman ketika mengunjungi restoran itu.
Di Indonesia perusahaan teknologi pengantaran makanan sepertinya perlu melakukan inovasi. Keberhasilan selama ini seharusnya tidak membuat puas diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar