Orang dengan gangguan jiwa dalam perawatan di panti rehabilitasi disabilitas mental Yayasan Jamrud Biru, Jalan Mustikasari Gang Asem Sari II RT 03/04 Kelurahan Mustikasari, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, Minggu (14/4/2019). Tekanan hidup yang tinggi pada masyarakat urban terkadang memicu stres dan mengganggu kesehatan jiwa. Stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa menghambat akses pada layanan kesehatan jiwa. Padahal, dengan perawatan tepat, orang dengan gangguan jiwa bisa beraktivitas seperti biasa.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, sekitar 6 persen atau 14 juta manusia Indonesia usia 15 tahun ke atas menderita gangguan mental- emosional.
Bahkan pada 2016, WHO menempatkan Indonesia pada urutan kedelapan di ASEAN dalam rasio bunuh diri, di mana 10.000 orang melakukan tindakan bunuh diri dalam setahun. Tentunya angka-angka ini mengejutkan kita dan seharusnya mendorong kita memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk mengubah dan memperbaiki situasi ini.
Pada konferensi "Pendidikan: Kesepakatan Global" di Vatikan, 7 Februari 2020, Paus Fransiskus mengajak para pembuat kebijakan memperbaharui kesepakatan pendidikan "yang bertujuan membentuk orang-orang yang matang, yang mampu memperbaiki jalinan hubungan antarmanusia dan menciptakan dunia yang lebih bersaudara" karena "kemiskinan, diskriminasi, perubahan iklim, ketidakpedulian yang mengglobal dan eksploitasi manusia semua telah mencegah berkembangnya jutaan anak."
Paus juga menggarisbawahi, "kepedulian terhadap pendidikan adalah kepedulian bagi generasi masa depan dan masa depan umat manusia. Ini adalah kepedulian yang berakar dalam harapan dan membutuhkan kemurahan hati dan keberanian".
Paus juga menggarisbawahi, "kepedulian terhadap pendidikan adalah kepedulian bagi generasi masa depan dan masa depan umat manusia.
Institusi pendidikan memang tak akan bisa menyelesaikan semua permasalahan di masyarakat. Namun, sekolah dan perguruan tinggi punya peran sangat strategis untuk merekayasa ulang sistem mulai dari pencapaian kesepakatan tentang muatan pengetahuan dan keterampilan apa yang perlu dipelajari (kurikulum), penentuan pendekatan untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan (strategi dan metodologi), proses pembelajarannya (guru), dan mekanisme operasional serta akuntabilitas (kebijakan dan regulasi) untuk mencapai tujuan pendidikan yang peduli pada masa depan umat manusia.
Institusi pendidikan semestinya menghasilkan manusia yang mampu memperbaiki relasi antar manusia, bersikap ramah dan bertanggung-jawab terhadap alam semesta serta menciptakan dunia yang lebih bersaudara.
Bahasa pikir, rasa, dan perbuatan
Selama ini, sekolah dan perguruan tinggi sudah tersesat. Peserta didik dipacu untuk mencapai prestasi akademik dalam iklim belajar yang kompetitif. Walaupun sudah melakukan berbagai upaya mendongkrak mutu sekolah, hasil Indonesia dalam asesmen internasional belum juga mencapai harapan.
Bahkan, perasaan ketertinggalan dan ketersisihan malah membuat institusi pendidikan membidik sasaran yang salah. Yang menjadi korban justru anak-anak yang tidak bisa bersaing dalam kompetisi akademik dan juga anak-anak yang cerdas secara kognitif namun menjadi tidak bertumbuh secara seimbang.
Pengajaran yang mengutamakan alih muatan pengetahuan hanya akan menghasilkan manusia-mesin yang tak punya daya berelasi dengan sesama dan alamnya. Proses pendidikan seharusnya mengintegrasikan bahasa kepala, "hati", tangan. Peserta didik perlu belajar 1) menalar apa yang dia rasakan dan apa yang dia perbuat, 2) merasakan apa yang dia pikirkan dan dia perbuat, 3) melaksanakan apa yang dia rasakan dan pikirkan.
Pengajaran yang mengutamakan alih muatan pengetahuan hanya akan menghasilkan manusia-mesin yang tak punya daya berelasi dengan sesama dan alamnya
Belajar menalar, merasa, dan berbuat dalam kemanunggalan berarti memerhatikan nilai-nilai kebajikan sosial dan budaya, mengajarkan sikap kewargaan yang adil dan bertanggung jawab, menghormati alam semesta, menguasai keterampilan dan pengetahuan untuk mengatasi permasalahan kemanusiaan demi masa depan lebih baik.
Penelitian dua dekade oleh CASEL (The Collaborative for Academic, Social and Emotional Learning) menunjukkan penekanan pada pembelajaran sosial-emosional menghasilkan peningkatan akademis, perbaikan perilaku, dan imbal ekonomis. CASEL menggunakan kerangka lima kompetensi utama untuk proses pembelajaran di sekolah, rumah, dan masyarakat: Kesadaran Diri, Pengelolaan Diri, Kesadaran Sosial, Keterampilan Berelasi, dan Keputusan Bertanggung Jawab.
Rumah, sekolah, komunitas, dan dunia
Kesepakatan antara keluarga, sekolah, dan masyarakat yang sudah ada pada masyarakat tradisional dan yang disuarakan Ki Hajar Dewantara sudah dilanggar. Sebagai akibatnya, kesinambungan di antara tiga sentra pendidikan anak sudah hilang dan semua sentra saling menyalahkan. Orangtua mengeluh mengenai ketakmampuan guru mendidik anak mereka.
Guru merasa tak berdaya menghadapi anak-anak dari keluarga yang tak harmonis atau tak mendukung nilai-nilai yang diajarkan di sekolah. Orangtua dan guru juga merasa tak dapat dukungan dari masyarakat dan bahkan memandang masyarakat sebagai sentra tak aman bagi anak.
Kesepakatan ini perlu diperbarui. Keluarga perlu disadarkan serta dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan tanggung jawab pendidikan yang utama sejak dari rahim, kelahiran dan tahun-tahun pertumbuhan-perkembangan anak selanjutnya. Pemerintah perlu memberdayakan dan memfasilitasi keluarga, terutama dari kelas sosio-ekonomi bawah, untuk bisa melaksanakan tanggung jawab mereka atas pendidikan anak.
Lembaga-lembaga masyarakat perlu menyadarkan keluarga kelas menengah dan atas yang sedang bertumbuh untuk merumuskan kembali harapan mereka, memperbarui kesepakatan dengan sekolah dan melaksanakan tanggung jawab sosial keluarga terhadap yang berkekurangan. Sebaliknya, sekolah perlu memberi ruang partisipasi pada keluarga dan komunitas lokal dalam berbagai kegiatan dan program sekolah. Ada beberapa sekolah yang sudah melakukan kerja sama dengan orangtua dalam upaya pendisiplinan anak.
Jika ketiga sentra (rumah, sekolah, dan komunitas) sudah bisa bekerja sama dalam proses pendidikan anak, ketiga sentra juga bisa saling mendukung dalam mengantar dan mengenalkan anak kepada dunia luas.
Selama ini, keluarga dan sekolah terlalu disibukkan perkara-perkara teknis soal relasi anak dengan dunia luas yang berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi. Anak-anak butuh lebih dari sekadar hal-hal teknis.
Pemerintah perlu memberdayakan dan memfasilitasi keluarga, terutama dari kelas sosio-ekonomi bawah, untuk bisa melaksanakan tanggung jawab mereka atas pendidikan anak.
Anak-anak butuh peneguhan atas akar budaya dan nilai-nilai keutamaan mereka, pengajaran untuk mengembangkan sikap hormat, damai, dan toleran terhadap manusia lain yang berbeda, dan pembimbingan untuk memasuki arena luas pergaulan global yang saling menghormati dan bekerja sama membangun peradaban dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar