Suatu hari pada tahun 1898. Di Odessa, semua bermula. Odessa, sebuah kota yang berada di bibir utara Laut Hitam dan masuk wilayah Rusia tetapi kini bagian dari Ukraina.
Odessa dikenal sebagai kota pelabuhan yang makmur. Pernah Odessa (Odessos, Ordyssos, atau Ordas) menjadi koloni Yunani. Namun, keberadaan kota ini hilang antara abad ketiga dan keempat.
C King dalam Odessa: Genius and Death in a City of Dreams (2011) menyebut pada abad ke-14, Odessa jatuh ke tangan kekuasaan Lituania, menjadi benteng kaum Tartar Krimea, dan pusat perdagangan yang disebut Khadzhi-Bei.
Lalu, pada tahun 1764, Turki menguasai Odessa dan kemudian membangun benteng Yenu-Duniya, untuk melindungi pelabuhan. Tetapi, berdasarkan Perjanjian Jassy (1792), Odessa, kota pelabuhan dan pangkalan angkatan laut itu, oleh Turki diserahkan kepada Rusia.
Sejak itu, Odessa berkembang pesat. Kota Odessa baru didirikan oleh penguasa Rusia, Tsarina Catherine Agung, pada tahun 1794. Ia menginginkan Odessa menjadi pelabuhan pertama Rusia yang sepanjang tahun bebas dari es untuk menjamin dominasi Rusia di laut, menguasai Laut Hitam (Rusia Baru). Inilah yang kemudian disebut sebagai Politik Air Hangat, dalam teori politik hubungan internasional.
Odessa berkembang dan makin maju. Ada rel kereta api yang menghubungkan Odessa dengan kota-kota lain, semisal Kiev, Kharkiv, dan kota Jassy di Romania. Industrialisasi dilakukan secara besar-besaran.
Pada tahun 1865 didirikan sebuah universitas di kota yang terletak 275 kilometer selatan Kiev ini. Sebuah observatori astronomi didirikan pada tahun 1871, gedung opera dibangun (1883-1887), demikian pula galeri lukisan (1898).
Sebagai kota pelabuhan yang maju dan terbuka, maka penduduknya pun beragam: Ukraina, Rusia, Yahudi, Yunani, Jerman, dan banyak macam lagi.
Dari kota pelabuhan yang menjadi pusat kaum patriot Bulgaria dan Yunani, pusat gerakan nasional dan budaya Ukraina, budaya Yahudi, gerakan buruh serta demokrasi sosial ini, cerita diawali pada April 1898.
Alkisah, pemuda Eduardo di Capua tengah berlibur bersama ayahnya, seorang pemain biola. Keduanya menikmati keindahan pantai Laut Hitam di Odessa. Eduardo di Capua lahir di Napoli pada 12 Maret 1865 (meninggal di Milan, 3 Oktober 1917). Ia menuntut ilmu di San Pietro Conservatory, Majilla, Italia tengah.
Di Odessa itulah, Eduardo di Capua menggubah lagu "O Sole Mio", yang syairnya ditulis oleh seorang penyair, Giovanni Cappuro, dengan menggunakan bahasa Neapolitan—masuk rumpun bahasa Indo-Eropa.
Bahasa ini, Neapolitan, banyak digunakan oleh penduduk terutama di wilayah Campania, Italia selatan yang beribu kota di Napoli. Pada awalnya, lagu ini tidak begitu populer. Tetapi, setelah Di Capua dan Cappuro meninggal, lagu "O Sole Mio" baru mulai populer.
Kepopuleran lagu ini mengalahkan penggubah dan penulis syairnya. Orang lebih mengenal "O Sole Mio" ketimbang Eduardo di Capua dan Giovanni Cappuro. Bahkan, "O Sole Mio" sering disebut sebagai lagu kebangsaan Italia romantik.
Saking populernya, lagu ini dinyanyikan pada Olimpiade di Antwerp, 1920, karena secara kebetulan dirigen tidak dapat menemukan musik lagu kebangsaan Italia.
Luciano Pavarotti memenangi Grammy Award kategori "Best Classical Vocal Performance" saat menembangkan "O Sole Mio" (1980). Elvis Presley bahkan sebelumnya menggunakan melodi lagu ini untuk menciptakan lagu "It's Now or Never" (1960).
Belakangan, Emanuele Alfredo Mazzucchi (1878-1972) mengklaim dan lalu mengajukan gugatan ke pengadilan, sebagai penggubah melodi lagu ini dan menjualnya kepada Eduardo di Capua. Gugatan itu dikabulkan pengadilan dan Alfredo Mazzucchi disebut sebagai co-writerlagu "O Sole Mio" ("Matahariku").
Mengapa mereka menggunakan simbol matahari untuk memuja keindahan dan kecantikan? Matahari adalah simbol awal kehidupan, sumber kehidupan; kehidupan yang penuh harapan, keceriaan, dan kebersamaan.
Awal sebuah perjalanan panjang yang akan menuntun kita ke peraduan paling diidam-idamkan. Awal sebuah langkah menuju ke tingkat yang lebih tinggi, untuk memperbaiki sekaligus mengembangkan diri.
Matahari, menjadi awal yang paling dinanti-nanti oleh setiap insan di bumi ini ketika pagi datang. Matahari juga lambang kesetiaan. Sejak awal mula zaman hingga akhir zaman nanti, matahari tidak pernah mengingkari hidupnya, terbit di timur dan tenggelam di barat.
Ia menjalani hidupnya dengan penuh keikhlasan mencurahkan sinarnya pada bumi, pada manusia, pada alam raya. Ia tidak pernah pilih kasih, memberikan sinarnya dan tidak minta imbalan, balas budi.
Karena mataharilah, alam raya seisinya hidup. Matahari adalah sumber kehidupan, seperti dijelaskan dalam konsep hasthabrata—dalam kisah pewayangan lakon Wahyu Makutharama yang menceritakan wejangan seorang pandita, yakni Wismamitra kepada Sri Rama yang akan dinobatkan menjadi raja.
Brata atau sifat baik pertama dalam hasthabrata adalah matahari. Matahari adalah pusat kehidupan planet dalam suatu sistem tata surya. Peredaran planet-planet dalam tata surya dikendalikan oleh matahari yang memiliki sifat-sifat: menerangi alam semesta, sebagai sumber energi, dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh semua planet dan makhluk yang hidup di bumi.
Menurut Wismamitra, seorang pemimpin harus memiliki sikap seperti matahari, yang memiliki peran sebagai pengarah dan pengendali, sebagai sumber kekuatan yang digunakan untuk memengaruhi pengikutnya, keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pengikutnya.
Sifat menerangi yang dimiliki oleh matahari dalam bahasa jawa dimaknai sebagai gawe pepadang marang ruwet rentenging liyan. Artinya, harus mampu membantu mengatasi kesulitan atau memecahkan problem-problem yang dihadapi oleh anak buahnya.
Kehadiran matahari adalah membuat dunia terang, yang dapat dimaknai adanya peningkatan dari kegelapan menjadi terang, dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari bodoh menuju pandai, dan dari tidak berdaya menjadi berdaya.
Maka hiduplah nasihat Golek dalan padhang. Arti harfiahnya: carilah jalan terang. Orangtua selalu menganjurkan anak-anaknya untuk tidak mendekati kegelapan—yang bisa diartikan sebagai hal-hal negatif. Tetapi, tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya.
Ada pemimpin yang justru mendorong anak buahnya untuk memasuki alam kegelapan—menjelma menjadi Pangeran Kegelapan–seperti tengah gerhana matahari total.
Ia tidak mengarahkan anak buahnya untuk berbuat kebaikan, tetapi justru sebaliknya: tidak peduli pada orang lain, mementingkan diri sendiri (kelompoknya sendiri), menebar keruwetan, kegelisahan, dan kegelapan.
Ibarat kata, matahari tenggelam di cakrawala dan dunia pun gelap. Ketika dunia dikuasai kegelapan, maka nafsu angkara murka pun menjadi-jadi dalam beragam bentuk.
Itulah sebabnya—Eduardo di Capua, Giovanni Cappuro, dan Emanuele Alfredo Mazzucchi—memilih matahari sebagai simbol untuk menggambarkan keindahan alam dan juga kecantikan kekasihnya, simbol harapan, kesetiaan, dan cinta.
Che bella cosa na jurnata 'e sole,
n'aria serena doppo na tempesta!
Pe' ll'aria fresca pare già na festa…
Che bella cosa na jurnata 'e sole.
(Alangkah indahnya matahari bersinar cerah!
Udara tenang setelah badai,
Udara begitu segar sehingga sudah terasa seperti perayaan.
Alangkah indahnya matahari bersinar cerah!)
Mereka tidak memilih malam yang gelap gulita; yang mendorong orang menghambur-hamburkan segala macam nafsu. Sebab, hawa nafsu yang tidak terkendali adalah sumber ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.
Mereka yang sudah dikuasai hawa nafsu angkara murka atas nama agama, misalnya, akan melakukan berbagai bentuk kekerasan baik ucapan maupun tindakan.
Dan, menganggap dirinya paling benar serta menganggap orang lain salah. Orang-orang macam begini tidak bisa melihat ada "matahari" di wajah sesamanya manusia; tidak melihat keindahan dalam keberagaman.
Ma n'atu sole cchiù bello, oi ne',
'o sole mio sta nfronte a te!
'o sole, 'o sole mio
sta nfronte a te, sta nfronte a te!
(Tapi matahari lain, bahkan lebih cantik, oh kekasih hatiku
Matahariku sendiri, bersinar dari wajahmu!
Matahari ini, matahariku sendiri,
Bersinar dari wajahmu; bersinar dari wajahmu!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar