Catatan kelabu tentang kedaulatan pangan 2019 ialah tragedi membusuknya 20.000 ton stok beras Perum Bulog yang bisa untuk memberi makan puluhan ribu orang.
Pola konsumsi masyarakat Indonesia yang relatif buruk mendorong produksi sampah makanan meningkat setiap tahun. Laporan Economist Intelligence Unit (EIU), 2017, menyebut Indonesia berada di peringkat kedua penghasil sampah makanan terbanyak di dunia setelah Arab Saudi.
Setiap orang diperkirakan membuang makanan tidak kurang 300 kg per tahun. Jika rajin memeriksa sampah makanan di rumah, restoran, dan hotel, dengan mudah kita menemukan sisa makanan berupa sayur, buah, daging, ikan, bumbu-bumbu, dan minuman. Fakta ini menyedihkan karena sebagian warga miskin masih sulit memperoleh makanan.
Bahkan, satu dari tiga anak balita di Indonesia mengalami stunting(tengkes) alias gagal tumbuh akibat defisit gizi dan kelaparan. Di sisi lain, kita membuang makanan terlalu banyak.
Setiap orang diperkirakan membuang makanan tidak kurang 300 kg per tahun.
Ketidakadilan
Tantangan besar abad ini ialah bagaimana memberi makan penduduk dunia dengan cara yang lebih baik dengan tetap menjaga keseimbangan lingkungan untuk pembangunan pertanian berkelanjutan.
Menaikkan produksi pertanian adalah salah satu langkah solusi praktis. Namun, cara ini mendorong persaingan untuk pemanfaatan lahan, air, dan energi. Masalah lain ialah perubahan iklim global yang yang sewaktu-waktu dapat menurunkan produksi pertanian.
Metode lain yang menjanjikan ialah mengurangi jumlah makanan yang terbuang. Sampah makanan, baik yang bersumber dari buah dan sayur maupun produk pangan olahan lainnya, berimplikasi pada sumber daya pertanian yang disia-siakan.
Lahan yang ditujukan untuk menanam, air bersih, pupuk, bibit dan benih, bahan bakar, dan pestisida terbuang secara percuma. Secara global, dengan ekspektasi pertambahan penduduk dunia menjadi sembilan miliar pada 2050, produksi makanan yang tidak dikonsumsi ini, menurut Stuart (2009) dalam bukunya, Waste: Uncovering the Global Food Scandal, sungguh sebuah ketidakadilan dan kita menanggung dosa atas kesalahan pemanfaatan sumber daya alam ini.
Sejak 2011, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengingatkan tentang dampak lingkungan yang diakibatkan sampah makanan yang jumlahnya diperkirakan 1,3 miliar ton per tahun. Konon, sampah makanan sangat berkontribusi meningkatkan jumlah gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.
Di tempat pembuangan sampah, limbah ini memproduksi GRK hampir setara dengan total emisi di Kuba yang berjumlah 3,3 miliar ton karbon dioksida per tahun. Sisa makanan juga menyumbang hilangnya air tahunan global sekitar 250 kilometer kubik yang setara dengan tiga kali volume Danau Geneva di Swiss (FAO, 2013).
Bagaimana proses hilangnya hampir sepertiga dari seluruh produksi makanan dunia? Sekadar menyebut contoh di negara berkembang, sebagian besar lenyap saat pascapanen akibat minim fasilitas penyimpanan, pelayanan pengangkatan, gudang, dan alat pembeku.
Sebagai perbandingan, negara maju membuang lebih banyak makanan di rantai suplai saat pelaku usaha memesan produk pertanian. Selain itu, mereka menyajikan atau memajang lebih banyak dan relatif lebih lama, membiarkan makanan terlalu banyak di lemari pendingin, dan membuang sebelum masa kedaluwarsa.
Dalam artikelnya bertajuk "Food Waste Matters, A Systematic Review of Household Food Waste Practices and Their Policy Implications", Schanes dkk (2018) menyebut mengurangi sampah makanan, selain bermanfaat mengawal keseimbangan lingkungan dengan mereduksi limpahan GRK di atmosfer, juga dapat membantu mengatasi masalah ketersediaan dan menjaga swasembada pangan khususnya di negara-negara berkembang.
Pengurangan kerugian secara kuantitatif pada buah, sayuran, dan biji-bijian akibat proses pembusukan pada pascapanen menjadi prioritas penanganan dibandingkan kerugian secara kualitatif seperti preferensi konsumen.
Sisa makanan juga menyumbang hilangnya air tahunan global sekitar 250 kilometer kubik yang setara dengan tiga kali volume Danau Geneva di Swiss (FAO, 2013).
Sementara di negara-negara maju, ketidakpuasaan konsumen karena produk kurang bermutu menghasilkan jumlah sampah makanan yang lebih besar dibandingkan karena kehilangan pascapanen. Sekadar menyebut contoh, warga Amerika Serikat membuang 30-40 persen makanan karena tidak sesuai dengan mutu yang diinginkan (Stuart, 2009).
Seiring dengan kekhawatiran bagaimana memberi makan dunia yang penduduknya lebih dari sembilan miliar pada 2050, produksi pangan harus ditingkatkan secara signifikan.
Namun, di sisi lain, disadari bahwa sektor pertanian dianggap sebagai salah satu ancaman terbesar bagi kerusakan lingkungan. Pertanian bertanggung jawab atas penggunaan 70 persen air bersih, 80 persen deforestasi tropis dan subtropis dunia, dan 30 persen penghasil GRK.
Mengubah lebih banyak hutan untuk menjadi lahan pertanian bukan lagi solusi cerdas di tengah kian masifnya perubahan iklim global. Maka, langkah yang ditawarkan ialah mengurangi sampah makanan.
Masyarakat harus mengubah pola makan dengan mengonsumsi makanan secukupnya untuk menuju gaya hidup sehat. Mengurangi penggunaan bahan makanan menjadi bahan bakar nabati (biofuel dan biosolar) dan memanfaatkan lahan tidur yang kurang produktif di perkotaan.
Perubahan paradigma dari perluasan lahan pertanian ke arah perbaikan pola konsumsi untuk mereduksi sampah makanan akan memberi keniscayaan ketersediaan makanan yang lebih baik di tengah masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan perubahan pola pikir yang diikuti konsistensi kebijakan untuk mengurangi sampah makanan. Semoga!
Mengubah lebih banyak hutan untuk menjadi lahan pertanian bukan lagi solusi cerdas di tengah kian masifnya perubahan iklim global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar