Sebuah dunia yang (semula) diam. Kediaman itu kemudian mencari kanal untuk bicara. Drama musikal "Belakang Panggung" menjadi pentas untuk menyuarakan suara mereka yang semula tak tersuarakan itu.
Suara para penyintas kasus kekerasan seksual, suara kita semua. Kediaman yang tervisualkan dan terdengar.
Drama musikal "Belakang Panggung" digelar Lentera Sintas Indonesia dan Institut Francais Indonesia (IFI) di Auditorium IFI, Jalan Thamrin, Jakarta, 6-8 Maret 2020.
Pergelaran melibatkan Andrew Trigg sebagai sutradara dan ide cerita sekaligus penulis naskah digarap bersama Mario Hasan. Musik ditulis Wishnu Dewanta. Pentas menampilkan pemeran Mian Tiara, Rama Widi, Marissa Anita, Muhammad Khan, Kiki Narendra, Claudya Hutasoit, Eric Lasmono, dan Windy Liem.
"Belakang Panggung" menceritakan pengalaman Rani Gunawan (diperankan Mian Tiara), pemain baru yang terlibat dalam pergelaran musikal yang berkisah tentang fragmen Rama Sinta. Pentas Rama Sinta melibatkan aktor tenar Adit (Rama Widi), dengan sutadara besar Pak Teguh (Kiki Narendra).
Dalam proses latihan, ia mengalami kejadian traumatik yang dilakukan oleh Adit. Ia berusaha menutupi apa yang dialami. Bukan dia saja, orang-orang yang dekat dengan tokoh Adit juga berusaha menutupi apa yang sesungguhnya terjadi. Sampai pada suatu titik, Rani menemukan cara untuk berani bersuara.
Berdurasi 2 jam, termasuk jeda sekitar 15 menit, pentas dibagi dalam 27 adegan. Kisah terasa mengalir dan setiap adegan terasa cukup krispi. Suasana yang terjadi di depan dan di belakang panggung disampaikan secara berselang-seling dan bisa dibedakan dengan jelas.
Minimalis, efektif
Panggung dengan ukuran panjang 9 meter dan kedalaman 4,6 meter bisa dikatakan relatif sempit. Bandingkan dengan Gedung Kesenian Jakarta yang berukuran panjang hampir 11 meter dengan kedalaman 14 meter. Akan tetapi, kondisi panggung bisa disiasati dengan properti minimalis tapi cukup efektif.
Set panggung itu berkontribusi dalam membangun imaji suasana kehidupan di depan panggung dan di belakang panggung. Kru panggung yang wira-wiri membenahi properti dalam pergantian adegan justru menghidupkan suasana kesibukan sebuah pentas. Bahkan, kru juga dilibatkan sebagai semacam "aktor" sesaat meski hanya mengucap satu dua kata.
Pada sejumlah adegan, seperti "Konferensi Pers", pemain bahkan menggunakan area penonton sebagai wilayah main. Tokoh wartawan yang mencecar pertanyaan kepada tokoh sutradara menyelusup di gang-gang gelap di area penonton. Terkesan mereka seperti bagian dari penonton.
Pertanyaan mereka seperti menjadi pertanyaan penonton. Muncul kesan, apa yang terjadi pada tokoh Rani dan Meta di panggung itu juga menjadi keprihatinan penonton. Sampai di sini apa yang ingin disampaikan pentas ini sampai ke audiens.
Kesempitan panggung juga tidak mengganggu lima musisi plus pengarah musik dan komposer Wishnu Dewanta untuk berperan dalam pertunjukan secara total. Seperti halnya para awak panggung, musisi juga menjadi "aktor" dari pertunjukan.
Pada adegan Rani Gunawan yang sedang berada di puncak amarah, para musisi itu juga ikut bingung, galau, dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Dari suasana bingung itu, mereka memainkan musik bingung.
Baca juga: Tamasya Indah ke Dunia Dongeng Disney
Ada semacam disonans, musik ngalor ngidul, yang justru mempertebal suasana kacau. Musik menyatu dengan suasana, dan bukan menjadi sesuatu yang ilustratif semata.
Sebagai musikal, lagu dan nyanyian menjadi bagian dari ekspresi dan narasi. Ada aransemen yang disusun dengan harmoni tiga suara. Cukup manis meski agak lemah sampai di telinga penonton. Memang ada terdengar bidikan nada yang kurang pas benar. Akan tetapi, olah vokal yang kurang maksimal ini tidak mengusik pergelaran secara keseluruhan.
Seksi musik melibatkan piano yang dimainkan Noah Revevalin, cello (Alexander N Armaputra), flute (Andika Candra), perkusi (Gabriel Laufer), biola (Bernadette Wijnhammer), plus pengaba dan komposer Wishnu Dewanta. Cukup ramping, tetapi efektif dalam menyuarakan apa yang berkecamuk dalam kehidupan di depan ataupun di belakang panggung.
Konflik batin perempuan yang tertindas juga terasa dalam komposisi. Dalam menyusun komposisi, Wishnu sebagai pria mengaku cukup sulit untuk mendalami perasaan perempuan. "Ini dilema bagi saya sebagai pria. Kira-kita apa yang dirasakan perempuan penyintas. Saya lalu fokus tentang isi hati Rani," kata Wihsnu.
"Passion"
Wishu Dewanta adalah bagian dari kerabat kerja "Belakang Panggung" yang ikut menghayati suara penyintas kekerasan seksual lewat posisinya sebagai komposer. Semua yang terlibat dalam produksi drama musikal ini merasa tidak sekadar tampil dalam sebuah aktivitas berkesenian. Ada yang lebih dari itu.
Marissa Anita sebagai tokoh Meta menyebut keterlibatannya dalam musikal ini sebagai "proyek passion". Tokoh yang ia perankan menghadapi kompleksitas dan dilema perempuan dalam menyikapi kekersan seksual."Kita melihat, tapi kita harusngapain…?" kata Marissa tentang dilema tokoh Meta.
Airin Efferin, produser "Belakang Panggung", yang juga salah seorang pendiri Bandung Philharmonic, terpanggil untuk melakukan sesuatu sesuai dengan talentanya. "Karena saya dari dunia musik dan concerningdengan stage performing, saya pikir apa yang kita bisa konsepkan itu dapat kita tayangkan di panggung dari sudut pandang kita yang mengalaminya," kata Airin.
Kiki Narendra jujur mengakui bahwa selama ini dia tidak aktif menyuarakan masalah kekerasan seksual. Tetapi, dalam kapasitasnya sebagai aktor, ia ingin melakukan sesuatu sesuai dengan profesi.
"Ini salah satu cara saya supaya dapat ambil bagian untuk suarakan ini. Ayolah bersuara. Saya tak punya apa-apa selain melalui hal yang saya cintai, yaitu seni peran," kata Kiki.
Berformat drama musikal, "Belakang Panggung" mengangkat tema yang boleh dikatakan langka untuk pentas musikal, yaitu kekerasan seksual. Sebuah pilihan tema simbolik, cerdik, dan pas dengan pesan yang ingin disampaikan. Bahwa apa yang tampak gemerlap di depan panggung berkebalikan dengan apa yang terjadi di belakang panggung.
Di depan panggung orang melihat nyanyian, tawa ria, dan kepura-puraan yang meyakinkan agar orang menikmati tontonan. Akan tetapi, mungkin orang tidak mendengar jeritan, tangisan para penyintas kekerasan seksual. Lewat musikal ini, apa yang terjadi di depan dan di belakang panggung disuguhkan menjadi satu kesatuan ucap tentang realitas yang selama ini didiamkan.
Andrew Trigg, sutradara drama musikal ini, mengatakan, penampilan dua dunia: depan dan belakang panggung ini dimaksud untuk mengontraskan perbedaan antardua dunia tersebut.
Di depan panggung orang melihat nyanyian, tawa ria, dan kepura-puraan yang meyakinkan agar orang menikmati tontonan. Akan tetapi, mungkin orang tidak mendengar jeritan, tangisan para penyintas kekerasan seksual.
Di pentas dikisahkan panggung musikal yang ceria, seolah-olah tidak ada masalah serius. Akan tetapi, di belakang panggung, kata Andrew, ada orang yang menderita, yang kehidupannya bisa hancur, tetapi didiamkan saja dan ditekan agar tidak bicara.
"Kita ingin mengajak audiens untuk merenungkan ini. Merenungkan antaraappearance (atau) apa yang terlihat dan apa yang terjadi di belakang panggung. Keinginan kita (sampaikan) melalui cerita yang dramatis, tetapi ada unsur musikal. Tujuannya agar para penyintas kasus kekerasan seksual merasa nyaman untuk berbicara. Kita ingin mengajak masyarakat untuk bicara, untuk mendukung para perempuan yang bicara. Untuk berhenti menyalahkan orang yang bicara," kata Andrew Trigg dalam jumpa pers 13 Februari di Jakarta.
Ruang aman dan nyaman
Di belakang musikal "Belakang Panggung" ini ada para pegiat Lentera Sintas Indonesia (LSI), sebuah komunitas pendukung korban kekerasan seksual yang kemudian menjadi lembaga swadaya masyarakat. Drama musikal ini menjadi salah satu bentuk kampanye untuk "memecah kesunyian" seputar masalah kekerasan seksual.
"Kita ingin sediakan ruang aman untuk teman-teman penyintas berkumpul dan bercerita tentang apa yang mereka alami dan mendapatkan titik terang," Kata Sophia Hage, Direktur Kampanye LSI.
Sophia mengutip data survei yang dilakukan Yayasan Lentera Sintas Indonesia pada 2016, yaitu bahwa 93 persen korban kekerasan fisik atau seksual memilih untuk tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami. Bahkan, sebanyak 72 persen korban tidak berani mengungkapkan kasus mereka kepada siapa pun.
Format drama musikal dianggap sebagai medium yang memungkinkan isu kekerasan seksual mudah dicerna, dipahami, dan dihayati publik."Karena, kalau orang mendengar isu kekerasan seksual, orang bilang, wah,serem sekali," kata Sophia.
Dengan memahami isu tersebut, diharapkan muncul sikap dan tindakan yang berkelanjutan untuk mengatasi kasus kekerasan seksual. Dalam bahasa Mian Tiara, pemeran tokoh Rani dalam musikal ini, kasus kekerasan seksual selama ini hanya menjadi percikan berita belaka.
Dengan drama musikal, LSI ingin menunjukkan secara visual respons komunitas yang seharusnya terjadi."Apa yang harusnya kita pikirkan kalau kita menghadapi penyintas kekerasan seksual," Kata Sophia.
Kesenian bisa menjadi medium penyampai pesan tentang isu kekerasan seksual.
Airin Efferin, yang adalah juga salah seorang pendiri Bandung Philharmonic, yakin bahwa kesenian bisa menjadi medium penyampai pesan tentang isu kekerasan seksual. Meskipun ada unsur hiburan dalam pertunjukan, bagi Efferin, kesenian itu sesuatu yang serius untuk menyampaikan pesan serius.
Sebuah awal yang manis untuk membuka ruang sadar khalayak akan suara-suara korban kekerasan yang selama ini nyaris tidak terdengar dan didengar. Drama musikal "Belakang Panggung" mengingatkan pada puisi Rendra, "Kesaksian".
Aku mendengar suara
Jerit hewan yang terluka
Ada orang memanah rembulan
Ada anak burung terjatuh dari sarangnya
Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar