Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 17 Maret 2020

EPILOG: Melawan Kekuasaan Monster Plastik‎ (PUTU FAJAR ARCANA)


Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas

Setelah berjalan 158 tahun, Alexander Parkes mungkin sedih di dalam kuburnya. Ahli kimia berkebangsaan Inggris ini dianggap sebagai penemu bahan plastik pertama tahun 1862.

Apa pun bentuk dan senyawa kimianya, kini plastik telah menjelma monster yang menakutkan.

Dalam Our World in Data disebutkan, sejak tahun 1950 sampai tahun 2015 angka produksi sampah plastik meningkat sangat signifikan. Ia bergerak dari 2 juta ton per tahun menjadi 381 juta ton per tahun. Ada peningkatan 190 kali lipat atau 5,8 juta ton per tahun!

Sewaktu berhasil mengubah serat tanaman hijau (selulosa) menjadi apa yang kemudian disebut sebagaiparkesine, Parkes cuma ingin membuat sisir, kancing baju, dan gagang pisau.

Ia mengubah serat selulosa menjadi bening, mudah dibentuk ketika panas, dan menjadi keras jika dingin. Parkes sama sekali tidak menduga jika penemuannya itu menginspirasi para ahli kimia berikutnya untuk membuat senyawa baru dari serat sintetis.

Tahun 1933 Ralph Wiley, pekerja di laboraturium kimia Dow, secara tidak sengaja menemukan plastik jenis lainpolyvinylidene chloride yang kemudian populer disebut saran. Meski pertama kali digunakan sebagai bahan dasar pembuatan alat-alat militer, belakangan saran digunakan sebagai pembungkus makanan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Pekerja memotong flexible packaging film di pabrik PT Indopoly Swakarsa Industry di Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (18/6/2010). Produk ini merupakan bahan plastik pelindung produk makanan ataupun nonmakanan.

Sejak itulah plastik menjadi benda industri. Pabrik-pabrik plastik didirikan di berbagai belahan dunia. Pada mulanya plastik digunakan sebagai pembungkus roti, kemudian secara massal digunakan tahun 1974 ketika perusahaan ritel raksasa Amerika mulai menggunakan kantong plastik. Tak lama berselang, hampir seluruh toko kelontong di Amerika dan Kanada telah menggunakan kantong plastik.

Tahun 1950-an, pabrik-pabrik plastik banyak didirikan di Indonesia. Di Jawa setidaknya terdapat 12 pabrik. Mereka inilah yang mula-mula memproduksi alat-alat rumah tangga, sikat gigi, kancing, dan mainan anak-anak. Sampai kini pabrik-pabrik itu masih mengimpor bahan baku plastik dari perusahaan-perusahan besar di Belanda dan Amerika Serikat.

Tak tanggung-tanggung, para produsen plastik membuat iklan sebagaimana terdapat dalam mingguanStar Weekly, 8 April 1961. Iklan itu berbunyi,"Kantong Plastik. Alat pembungkus yang praktis, ideal, bersih, kuat, tahan air/udara dan murah. Anda akan puas dan kagum, apabila barang dagangan Anda dibungkus dengan Kantong Plastik".

Kemudian iklan di mingguan Djaja, 13 April 1963, lebih  dramatis lagi. Produsen plastik bernama Aurora di Bandung, Jawa Barat, membuat iklan seperti dalam komik. Digambarkan dalam empat panel, seseorang yang sedang mengalami kebanjiran dan jembatan penghubung satu-satunya tenggelam.‎

Lalu, ia membungkus barang-barangnya dengan plastik dan menyeberang sambil berbasah-basah. Pada panel terakhir ia berkata, "Hurra! Berkat Plastikflex, semua barang-barangku tak ada yang basah".

Saya ingat, tahun 1980-an di kampung kami ada lelaki tua bernama Pak Marhaen, begitu orang-orang memanggilnya. Setiap hari ia bekerja dengan berjalan dari desa ke desa sambil memikul tungku dan peralatan solder sederhana.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Rumanta (65), tukang patri berjalan pulang di jalan Cimuncang, Kota Bandung, setelah seharian berkeliling kota, Jumat (3/2/2006) sore. Zaman keemasan tukang patri mulai surut seiring maraknya perkakas rumah tangga dari plastik.

Pak Marhaen kami kenal sebagai tukang patri, yang menolong para ibu dari kesulitan memasak di dapur. Penggunaan kompor minyak tanah yang mulai marak tahun-tahun itu justru menyebabkan pantat dandang, panci, atau wajan lebih mudah bocor. Di situlah kehadiran Pak Marhaen dibutuhkan.

Ibu saya walaupun sehari-hari menjadi guru, tetapi kami membuka warung jajanan kecil di depan rumah. Setiap kali wajan yang kami gunakan untuk menggoreng pisang goreng bocor, kami selalu merindukan kehadiran Pak Marhaen. Dia sebenarnya berasal dari kampung sebelah, yang sebagian besar warganya beretnis Madura.

Pendek kata, waktu itu, Pak Marhaen jadi dambaan para ibu rumah tangga. Ketika memasuki tahun 1990-an Pak Marhaen sudah jarang muncul. Pasalnya, para ibu lebih memilih menggunakan ember plastik ketimbang ember aluminum. Wajan berganti teflon dan dandang bergantimagic jar. Sebagian besar peralatan dapur berganti plastik sehingga jasa patri Pak Marhaen tidak dibutuhkan lagi.

Keduanya berhasrat menyentuh kesadaran kita tentang betapa plastik telah menjadi monster paling menakutkan di muka bumi.

Kami tak hanya kehilangan Pak Marhaen, tetapi profesi tukang patri kemudian benar-benar menghilang. Satu-dua orang tua masih bisa ditemukan memasuki gang-gang sempit di Jakarta untuk menawarkan jasa patri. Namun, penghasilan mereka sehari maksimal tak lebih dari Rp 20.000. Zaman memang telah berubah. Plastik benar-benar telah menguasai hidup kita dengan cara-cara yang dramatis.

Seniman seperti Sardono W Kusumo tahun 1983 mencoba melakukan "perlawanan" dengan mementaskan koreografi berjudul "Hutan Plastik" di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Koreografer Lena Guslina, Minggu (8/3/2020), juga menggelar pertunjukan tari berjudul "Elegi Bumi" di Taman Hutan Raya Juanda, Bandung.

Keduanya berhasrat menyentuh kesadaran kita tentang betapa plastik telah menjadi monster paling menakutkan di muka bumi. Limbah ini sangat tidak mudah diurai bakteri pengurai.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Selamatkan bumi menjadi pesan moral pentas tari "Elegi Bumi", Minggu (8/3/2020) dengan koreografer Lena Guslina di Taman Hutan Raya Juanda, Bandung.

Ilustrasinya, jika Leonardo da Vinci minum air dari sebuah botol plastik ketika melukis Mona Lisa pada abad ke-16, maka botol plastik bekas minumannya kemungkinan baru bisa terurai pada abad ke-21 ini.

Pergelaran-pergelaran tari seperti yang dihelat Sardono dan Lena mungkin bergerak untuk membetot kesadaran kita tentang plastik yang perlahan-lahan dan "bertriwikrama" menjadi monster.

Lena mendandani pemain pantomin Wanggi Hoed, dengan ratusan kantong plastik yang dipungut dari jalan-jalan. Kemunculannya di bawah pohon-pohon cengal pasir (Hopea odorata Roxb) ibarat kebatilan yang kejam dan mengejutkan.

Saya membayangkan sosok Rangda yang biasanya menjadi musuh dari Barong dalam pertunjukan "Calon Arang" di Bali. Kehadirannya begitu meneror sehingga secara psikis kita mengalami depresi.

Jika kita memiliki kesadaran penyelamatan Bumi, bukankah kehadiran plastik begitu meneror kehidupan kita sehari-hari? Hampir seluruh aktivitas manusia dari tempat tidur, pasar, dapur, kamar mandi, ruang makan, mobil, minimarket, jalanan, kantor, kantin, restoran, kafe, dan gedung bioskop tak pernah lepas dari plastik.

Gubernur Bali Wayan Koster sudah mengumumkan larangan penggunaan kantong plastik, styrofoam, dan sedotan plastik lewat Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 97 Tahun 2018.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Spanduk ajakan untuk menggunakan tas belanja dan berhenti menggunakan kantong plastik sekali pakai di Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan, Jumat (28/2/2020). Sosialisasi dan edukasi terus dilakukan sebagai upaya menuju pasar bebas plastik yang berlaku efektif 1 Juli 2020.

Lalu, disusul Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan Pergub Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat.

Kedua regulasi ini benar-benar akan menjadi efektif apabila diiringi kesadaran produsen dan konsumen dalam cara memandang plastik. Produsen mesti mengurangi produksi plastik, terutama yang digunakan sebagai kantong belanja, sementara konsumen memiliki "hak tolak" untuk tidak menerima pemberian kantong plastik.

Produksi sampah plastik di Indonesia tahun 2019 sebanyak 66-67 juta ton. Lalu, konsumsi plastik orang Indonesia per kapita sebanyak 17 kilogram!

Tak salah jika sampah plastik benar-benar menjelma menjadi monster, yang pada suatu saat akan menelan seluruh kehidupan manusia.

Tak salah jika sampah plastik benar-benar menjelma menjadi monster, yang pada suatu saat akan menelan seluruh kehidupan manusia. "Semua harus dimulai dari kesadaran masing-masing individu. Kita harus berani menolak menggunakan bahan plastik," kata Lena Guslina.

Ia termasuk koreografer yang secara konsisten menggarap isu-isu lingkungan, terutama melawan penggunaan plastik.

Tidak mudah memang. Plastik tak hanya soal jaringan industri yang saling membelit satu sama lain, dari hulu ke hilir, dan melibatkan beberapa negara, tetapi yang lebih gawat telah menjadi "kultur" bagi banyak manusia di dunia.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Monster Plastik yang dimainkan Wanggi Noen dalam pertunjukan tari "Elegi Bumi", Minggu (8/3/2020), oleh Legus Studio di Taman Hutan Raya Juanda, Bandung.

Bagi mereka, plastik memang seperti iklan di Star Weekly tahun 1961, pembungkus yang praktis, kuat, tahan air, dan murah. Anda akan merasa puas, bahkan aman, jika makanan yang Anda beli dibungkus dengan kantong plastik.

Lalu, bagaimana? Setiap orang harus bergerak melawan kekuasaan monster plastik yang hegemonik. Anda cukup membawa pipet logam setiap berkunjung ke restoran dan menggunakannya untuk menyedot minuman yang Anda beli.

Kontribusi ini terlihat kecil, tetapi pipet plastik memberi kontribusi sampai 3,2 juta ton sampah plastik di Indonesia tahun 2019! Alexander Parkes benar-benar memang tidak tenang dalam tidurnya yang pulas, bukan?

Kompas, 11 Maret 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger