I Wayan Limbak (1897-2003) dan para penari di Desa Bedulu sedang menggelar ritual tolak bala di pelataran Pura Goa Gajah ketika Walter Spies datang. Sudah bertahun-tahun Bali dilanda gerubug, epidemi penyakit cacar, lepra, kolera, disentri, dan malaria yang seolah datang silih berganti.
Sebagai masyarakat tradisional, Limbak dan warga Bedulu diwarisi tari Sanghyang oleh para leluhur Bali. Mereka berharap lewat pergelaran Sanghyang di pelataran pura itu gerubug akan segera pergi menjauh.
Sesungguhnya ritual yang digelar Limbak bersifat sangat rahasia. Oleh sebab itu, tak seorang penonton pun diperbolehkan melihatnya. Secara sembunyi-sembunyi, seniman Jerman, Walter Spies, mengintip "kegaiban" dari Timur itu. Baginya, sungguh tak masuk akal sebuah komposisi tari dengan suara cak-cak-cak bisa mengusir epidemi yang lebih bersifat medis. Bagi Spies, tarian sesuatu yangan sich, sebuah produk kesenian yang bersifat "hiburan" semata. Ia tidak ada kaitannya dengan sosio kultur sebuah masyarakat, apalagi dunia kedokteran.
Tak lama setelah menonton ritual tari Sanghyang itu, Spies mendekati Limbak, yang kebetulan menjabat sebagai Perbekel (Kepala Desa) Bedulu, Gianyar, Bali. Spies berhasil meyakinkan Limbak bahwa tarian yang ia gelar bisa memiliki nilai menghibur sekaligus potensi ekonomi.
Sejak tahun 1930-an, kita kemudian mengenal tari kecak, sebuah komposisi yang melibatkan ratusan orang dengan ciri utamanya suara cak-cak-cak. Spies menyisipkan kisah Ramayana, di mana Limbak berperan sebagai tokoh Kumbakarna.
"Saya selalu menjadi Kumbakarna. Itu idola saya sejak kecil," kata Limbak sambil berdiri memeragakan tokoh Kumbakarna. Saya beruntung bisa bertemu dengan salah satu maestro dalam kesenian Bali ini tahun 1994.
Sejak dikomposisi ulang oleh Spies itulah tari Sanghyang seolah lenyap. Orang lebih mengenal tari kecak, sebagai tarian eksotik, yang senantiasa berhasil menarik minat wisatawan. Kecak bahkan pelan-pelan menjelma menjadi ikon pariwisata dari Pulau Bali. Tidak banyak lagi yang menghubungkannya dengan ritual penolak bala, yang menjadi cikal-bakalnya. Warisan sakral leluhur Bali itu telah menjadi profan ketika bisa dipesan untuk dipentaskan di mana pun kehendak para wisatawan.
Tak ada logika yang bisa menjangkau sejauh mana peran ritual tolak bala untuk mengusir pandemi seperti kolera di masa lalu dan kini virus korona tipe baru (SARS-CoV-2) yang menebar penyakit coronavirus disease atau Covid-19. Wabah kolera pernah beberapa kali menjadi pandemi, bahkan kolera eltor mulai merebak dari Sulawesi, Indonesia tahun 1961.
Nama eltor diberikan sebagai penanda galur bakteri yang memicu terjadinya kolera. Tahun 1963 wabah ini mencapai Bangladesh, kemudian merembet ke India tahun 1964, dan meloncat ke Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan ke Uni Soviet tahun 1966. Kolera eltor adalah pandemi kolera ketujuh yang mengguncang dunia dan menyebabkan jutaan manusia mati sia-sia.
Meski akhirnya para ahli biologi menemukan penyebab utama kolera adalah makanan dan air yang tercemar bakteri Vibrio cholerae dan Vibrio eltor yang menyebabkan infeksi pada usus, sampai kini tetap tak terjelaskan dari mana asalnya jasad organik seperti bakteri parasit ini. Selalu ada misteri yang tak terjelaskan dari upaya manusia mencari tahu penyebab dari "kematiannya".
Ketika tiba-tiba virus korona merebak di kota Wuhan akhir Desember 2019 dan kemudian kota itu diisolasi oleh pemerintah, banyak yang tidak menduga virus itu begitu cepat merebak ke luar China. Dalam waktu kurang dari dua minggu, kasus serupa sudah ditemukan di Jepang, Korea Selatan, Italia, Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Jerman, Arab Saudi, Mesir, Iran, Irak, Australia, lalu sampai ke negara-negara Asia Tenggara, seperti Singapura, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Setidaknya telah terhitung 121 negara terpapar virus korona.
Di tengah kepanikan dunia itu, banyak orang mencibir Indonesia. Sebagai negara besar yang terpecah-pecah dalam berbagai pulau sehingga memiliki begitu banyak pintu masuk, sangatlah muskil mengatakan virus korona "tidak mungkin" masuk Indonesia. Apalagi dengan alasan orang Indonesia kebal virus karena banyak asupan rempah-rempah.
"Ini pelajaran penting bagi kita. Jadi bersiap saja menjalani isolasi karena itu butuh kesiapan mental," ujar pasien positif Covid-19 yang diidentifikasi dengan Kasus-2. Ia tidak pernah berpikir bahwa dirinya menjadi bagian pertama-tama yang disebut kluster Depok, dan itulah kasus pertama yang "diakui" secara resmi oleh Pemerintah Indonesia.
Para pasien yang terpapar Covid-19 positif yang termasuk kluster Depok dan kemudian dinyatakan sembuh pun tidak tahu pasti dari mana mereka mendapatkan virus itu. Pasien Kasus-2 dalam percakapan khusus dengan saya lewat jaringan panggilan video menyatakan selalu ada yang misteri dari kehendak Tuhan.
"Alam selalu mencari keseimbangannya dan kadang kita harus kembali ke titik nol. Di situlah Nyepi di Bali menjadi sangat penting," katanya tiba-tiba.
Ia ingat Nyepi sebentar lagi akan dilaksanakan di Pulau Bali, tepatnya 25 Maret 2020. Selain memberi kesempatan kepada alam semesta "memperbarui" dirinya, Nyepi juga berarti menghentikan seluruh aktivitas dalam diri manusia. Isolasi yang sudah berjalan lebih dari dua pekan telah membuat pasien Kasus-2 seolah memperoleh "pencerahan".
"Awal mulanya memang stres, tetapi saya berpikir positif: inilah mungkin cara Tuhan meminta saya untuk diam sejenak, lalu merenungkan apa yang telah saya perbuat dalam hidup," tuturnya dalam nada yang dipenuhi optimisme hidup.
Sesungguhnya ritual upacara telah menjadi "meditasi" dalam bentuk laku, di mana manusia menyerahkan seluruh dirinya kepada kuasa semesta. Apa yang dilakukan Limbak di pelataran Pura Goa Gajah di masa lalu dengan tari Sanghyang merupakan "meditasi" untuk menyatukan diri dengan alam semesta.
Seluruh penyatuan itu dibutuhkan sebagai bentuk pembasuhan segala kekotoran; menghilangkan apa yang disebut awidya dalam terminologi Hinduisme. Awidya tak lain adalah unsur-unsur kegelapan yang menyelimuti hidup manusia sehingga mendapatkan kesengsaraan.
Ritual penolak bala, seperti Sanghyang, adalah meditasi untuk menjangkau kemisterian ilahiah, yang tak mungkin dipecahkan dengan logika manusia. Pembersihan diri itu dibutuhkan untuk meredam dendam, pikiran-pikiran buruk, serta kekacauan yang menghancurkan diri manusia sendiri.
Ketika Bom Bali I terjadi 12 Oktober 2002 di Kuta, yang menelan korban ratusan jiwa, pertama-tama orang Bali menggelar upacara guru pidukasebagai tanda berduka sekaligus membersihkan diri dan lingkungan dari kuasa kekerasan.
Tak ada dendam sesudah itu. Orang Bali merasa itu bagian dari karma buruk yang mereka harus terima sebagai kenyataan yang pahit. Pelan-pelan Bali bangkit kembali sebagai organisme yang hidup dan kemudian meninggalkan jauh-jauh kekerasan yang pernah terjadi. Di situ, ada misteri yang tak terpecahkan tetapi menjadi bagian integral dari kekuatan upacara.
Sejauh ini virus korona masih terus jadi misteri. Berbagai posting-an tentang kemunculannya; pola penularannya yang begitu cepat; korban-korbannya yang berjatuhan; serta kepanikan warga di mana-mana; lalu kerja keras para ahli untuk menemukan vaksinnya, tetap belum menemukan jalan terang untuk menanggulanginya. Semua teori tentang penyebarannya yang demikian cepat seakan tak pernah benar-benar berlaku untuk semua negara.
Kita bagai menggantang asap untuk mencoba menelusur "biografi" kemunculan virus mematikan ini. Realitas itu sama misterinya dengan tata cara upacara tolak bala yang digelar Limbak dan warga Bedulu di masa lalu. Satu hal yang kita serap, kemisterian itulah salah satu sifat semesta yang menggoda manusia untuk selalu bertanya. Ritual tari Sanghyang, meski kini tersisa dalam bentuk berbeda di Bali, menjadi medium "penyembuhan" jiwa diri dan jiwa alam yang sedang bergolak.
Dalam terminologi tradisi, merebaknya virus korona tak lain adalah upaya alam semesta mencari keseimbangan, untuk kemudian terlahir kembali dengan "jiwa" baru. Adapun isolasi yang harus dijalani pasien Kasus-1, Kasus-2, dan Kasus-3 yang kebetulan sekeluarga, serta pasien-pasien positif Covid-19, termasuk Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, merupakan kesempatan untuk melakukan mulat sarira, introspeksi mendalam untuk kemudian terlahir kembali ke "dunia" dengan semangat baru.
"Ini mungkin pencerahan bagi saya," kata pasien Kasus-2, yang kebetulan seorang seniman tari.
Jika dalam kepanikan dunia kita ingin menggantang virus korona tipe baru penyebab penyakit Covid-19, yang kita temukan kembali tak lain adalah sebuah kegaiban. Alam senantiasa menyimpan kegaiban agar manusia tak menjadi jemawa dengan segala pencapaian teknologinya. Korona adalah titik berhenti dan memberi kesempatan kepada semesta untuk menyusun kembali partikel-partikel dirinya agar tumbuh kembali tunas baru setelah berjuta-juta tahun dieksploitasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar