Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 22 Maret 2020

PANDEMI KORONA: Melawan Korona, Melawan Ketidakjelasan (MUCHAMAD ZAID WAHYUDI)


ILUSTRASI: KOMPAS/ILHAM KHOIRI

M Zaid Wahyudi, wartawan Kompas

Menyebarnya Covid-19 sejak Januari 2020 ke berbagai negara membuat masyarakat dunia diselimuti kekhawatiran. Meningkatnya intensitas penyakit, ditetapkannya wabah korona sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan penutupan sejumlah negara membuat kecemasan kian meluas.

Hingga Selasa (17/3/2020), korona sudah menyebar di 159 negara dan wilayah dengan jumlah kasus positif mencapai 184.975 orang dan 7.529 orang di antaranya meninggal. Situasi itu membuat lebih dari 7 miliar penduduk Bumi dalam kewaspadaan dan ancaman virus SARS-CoV-2.

Sementara di Indonesia, hingga Rabu (18/3/2020), tercatat 227 orang positif terjangkit Covid-19 dan 19 orang meninggal. Mereka tersebar di 10 provinsi, dengan kasus penularan lokal berada di empat provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah.

Simpang siurnya informasi, gencarnya penyebaran ekspresi kegelisahan melalui media sosial, dan bayang-bayang muram masa depan menimbulkan kepanikan global. Ketidakpuasan atas respons dan cara pemerintah mengelola bencana yang terjadi membuat ketakutan masyarakat makin nyata.

Tiadanya kejelasan atas suatu hal atau keadaan menjadi kondisi yang paling menakutkan bagi manusia. Munculnya ketidakpastian membuat otak manusia mengaktifkan alarm bahaya agar bisa segera mengambil respons, apakah melawan (fight), kabur (flight), atau justru diam membeku (freeze).

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas Palang Merah Indonesia menyemprotkan disinfektan di lingkungan SMP Negeri 216, Jakarta Pusat, Senin (16/3/2020). Penyemprotan itu untuk mengantisipasi penyebaran virus korona baru di lingkungan sekolah.

Respons atas ketidakjelasan itu universal. Semua manusia sama, tanpa memandang pendidikan, status ekonomi, atau nilai yang mereka pegang. Tingkat pendidikan atau kemampuan berpikir logis akan memengaruhi reaksi mereka saat cemas datang, membuat yang tidak jelas menjadi jelas.

Meski stres, cemas, khawatir, dan panik adalah respons alamiah manusia saat menghadapi ketidakpastian, tetapi jika situasi itu terjadi secara massal, sangat berisiko. Panik itu menular dan bisa membunuh. Kepanikan massal tak hanya bisa memicu kekacuan, tetapi juga konflik horizontal yang bisa berdampak luas dan panjang.

Karena itu, Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado Taufiq Pasiak mengatakan, kunci mengatasi situasi yang tidak pasti akibat merebaknya Covid-19 adalah informasi yang jelas. Kecepatan informasi sesuai kebutuhan masyarakat penting karena lambatnya respons akan memperlama kepanikan.

Sama seperti orang tenggelam yang akan menggapai apa saja yang bisa didapat agar bisa selamat, apakah kayu, plastik, atau sampah, orang panik juga akan mencari informasi apa pun yang dapat dijadikan pegangan, tidak peduli benar, salah, atau justru bisa menjebloskan mereka dalam bahaya. Ini adalah insting dasar manusia bertahan hidup.

Ketenangan

Dalam situasi panik, ketenangan bisa menjadi penyelamat. Ketenangan akan memberikan kesempatan sejenak bagi otak bagian depan untuk waspada dan menentukan reaksi yang tepat guna mengatasi panik.

Meski demikian, dalam situasi pandemi seperti saat ini, mengharapkan setiap individu tenang menghadapi korona adalah hal sulit. Hampir semua orang saling terhubung sehingga peredaran informasi tentang korona sulit dibendung.

Kendala itu bisa diatasi dengan hadirnya pihak luar yang bisa mendorong masyarakat tenang. Pendorong ketenangan itu haruslah orang kompeten dan mampu memegang kepercayaan publik. Saat panik, ketika fungsi kognitif manusia dikendalikan emosi, kredibilitas narasumber menjadi penting.

Selain narasumber yang amanah, materi yang disampaikan juga berperan penting dalam berkomunikasi. Persoalan serius yang disampaikan dengan bercanda tidak akan tertanam dalam pikiran masyarakat. Walau informasi yang diberikan benar, penyampaian yang salah akan membuat informasi itu diragukan masyarakat.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Informasi terkait penggunaan masker terpasang di jalur pedestrian Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (18/3/2020). Sosialisasi dalam upaya pencegahan penularan wabah Covid-19 di ruang-ruang publik diharapkan akan memberikan pemahaman dan kewaspadaan warga dalam menjaga diri dan lingkungan untuk mencegah penyebaran wabah.

Aliran informasi yang terbaru juga penting. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rahmat Hidayat, mengatakan, kelancaran aliran informasi itu bisa menangkal berkembangnya isu, rumor, atau hoaks yang biasanya akan mengucur lebih deras.

Meski tidak ada pembaruan informasi, selama kepercayaan pada sumber tetap terjaga, publik akan menjadi lebih tenang. Rasa panik tidak mudah terpancing karena masyarakat tahu dan yakin sumber informasi ada yang bisa mereka percayai yang memberikan informasi terpercaya dan tidak berjeda.

Kompas, 19 Maret 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger