Dikembalikannya satu dari sekian keris Pangeran Diponegoro setelah 190 tahun berada di Belanda semestinya ditangkap sebagai isyarat baik dari Pemerintah Belanda untuk memulangkan benda-benda bersejarah kepada rakyat Indonesia, terlepas dari kontroversi apakah keris itu benar-benar Kanjeng Kiai Naga Siluman (Naga Seluman) atau bukan.
"Ada sekitar 50.000 item benda bersejarah dari Indonesia yang ada di berbagai museum di Belanda," ungkap Prof Sri Margana, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, kepada komunitas penggemar keris Yogyakarta, Komunitas Lar Gangsir, di kedai kopi Pas Pojok, Yogyakarta, Rabu (11/3/2020) petang.
Niat baik Pemerintah Belanda untuk bertahap mengembalikan benda-benda bersejarah yang melibatkan kekerasan saat memperolehnya juga hendaknya diartikan sebagai niat Belanda untuk memperbaiki hubungan dengan rakyat dan Pemerintah Indonesia.
Prof Margana memenuhi undangan komunitas sore itu, menyusul kontroversi apakah keris yang dikembalikan Pemerintah Belanda melalui Duta Besar RI pada 4 Maret 2020 itu adalah benar keris legendaris yang paling banyak disebut sebagai milik Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa 1825-1830.
Keris populer Kanjeng Kiai Naga Siluman yang dimaksud adalah pusaka Diponegoro yang memiliki salah satu ciri bergandik naga. Keris ini mendahului tiba di Tanah Air sebelum kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander dan Ratu Maxima pada 10-13 Maret 2020.
Niat baik mengembalikan benda-benda bersejarah Indonesia yang berada di Belanda ini, kata Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM ini, bersamaan dengan "politik efisiensi" yang dilancarkan Pemerintah Belanda. Kesulitan merawat sekitar 50.000 benda bersejarah milik rakyat Indonesia yang disimpan di depo-depo artefak museum memerlukan berbagai fasilitas khusus, seperti suhu pendingin ruangan tertentu, serta keperluan pemeliharaan yang lain, mendorong dibuatnya perjanjian pengembalian benda-benda bersejarah sejak 1975.
"Pengembalian keris Diponegoro ini juga merupakan kelanjutan dari perjanjian 1975 tersebut tentang pengembalian benda-benda bersejarah milik rakyat Indonesia yang diperoleh melibatkan kekerasan di masa lalu," lanjut Prof Margana, yang pada 22 Februari 2020 berangkat sebagai tim verifikasi terakhir keris Diponegoro bersama rombongan Direktur Jenderal Kebudayaan Dr Hilmar Farid ke Belanda.
Perjanjian 1975 antara Pemerintah Indonesia dan Belanda ini telah mengembalikan sekitar 1.500 artefak, di antaranya patung Pradnyaparamita pada 1977, pelana kuda, serta tombak Kiai Rondhan dan Kiai Cokro milik Pangeran Diponegoro, yang kini disimpan di lantai IV Museum Gajah, Museum Nasional Republik Indonesia, di Jalan Merdeka Barat, Jakarta.
Tentang keris yang dibawa kembali oleh Duta Besar RI untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja pada 4 Maret lalu, apakah itu benar Kanjeng Kiai Naga Siluman atau bukan? Tentu itu persoalan lain. Prof Margana mengaku memiliki pendapat pribadi, untuk menetapkan keris itu sebagai keris Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro, berdasarkan penelitian dokumen yang menyertainya serta penelitian obyektif dengan menanting-nya langsung.
Proses pencarian
Proses pencarian keris Naga Siluman milik Diponegoro ini sudah melalui proses penelitian dan penelusuran yang panjang, baik dokumen-dokumen pendukungnya maupun obyeknya. Menurut Prof Margana, proses penelitian dilakukan sejak 1984 dan melibatkan empat tim di Belanda.
Tim peneliti pertama dipimpin Pieter Pott, Kepala Kurator Museum Volkenkunde, Leiden. Mengapa perlu dilakukan penelitian? Karena, menurut Prof Margana, tahun 1977 sudah dikembalikan barang-barang milik Pangeran Diponegoro yang berupa pelana kuda serta tombak Kiai Rondhan.
Kesimpulan tim Pieter Pott, mereka menemukan keris yang menurut mereka adalah milik Pangeran Diponegoro dari Raja Kesultanan Yogyakarta Hamengku Buwana V yang diserahkan kepada Belanda melalui Kolonel Jan-Baptist Cleerens, utusan panglima militer Hindia Belanda, Letnan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus Baron van De Kock.
"Kesimpulan Pott tidak meyakinkan karena tak didukung dokumen-dokumen yang pasti," kata Prof Margana.
Tahun 2017, dibuat riset lagi dipimpin Prof Susan Legene dari Vrije Universiteit, Amsterdam. Prof Legene menemukan sebuah keris lain yang dianggap milik Pangeran Diponegoro. Kesimpulan juga kurang meyakinkan, tak ada bukti-bukti kuat yang mendukung.
Tahun yang sama, 2017, tim ketiga juga melakukan penelitian terhadap keris lain lagi, keris ketiga, dipimpin Johanna Leifeldt dari Museum Volkenkunde, Leiden, yang didasarkan pada tiga dokumen penting yang merujuk bahwa keris ketiga itu milik Pangeran Diponegoro.
"Surat pertama adalah surat-menyurat atau korespondensi antara Sekretaris Kerajaan Belanda (De Secretaris van Staat) dengan Directeur General Van Het Department voor Waterstaat, Nationale Nijverheid en Colonies, semacam departemen pengairan di Hindia Belanda, pada 11 Januari sampai 25 Januari 1831, beberapa bulan setelah penangkapan Diponegoro, Maret 1830, yang isinya: Kolonel Cleerens akan menyerahkan sebuah keris kepada Raja Willem I. Akhirnya keris itu diterima oleh Willem I, kemudian disimpan di Kabinet Kerajaan (untuk barang antik) Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (KKVZ). Tidak disebutkan nama kerisnya…," tutur Prof Margana.
Dokumen penting kedua yang dipakai adalah Surat Kesaksian Sentot Prawirodirdjo (panglima perang Diponegoro) dalam huruf Jawa dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda pada Mei 1830 (Diponegoro ditangkap di Magelang, 28 Maret 1830).
"Bahwa Sentot dengan mata kepala sendiri melihat Pangeran Diponegoro menghadiahkan kerisnya, Naga Siluman, kepada Kolonel Cleerens, untuk diserahkan kepada Raja Belanda," ujar Prof Margana. Penyerahan keris Kiai Naga Siluman ini dimaknai sebagai semacam penyerahan pemimpin Perang Jawa ini kepada Belanda.
Dokumen ketiga adalah kesaksian Raden Saleh, pelukis Indonesia yang tinggal di Belanda semasa Pangeran Diponegoro, yang pernah melihat langsung keris tersebut. Raden Saleh, yang tinggal di Belanda dan Eropa selama lebih kurang 23 tahun (tahun 1851, Raden Saleh kembali ke Indonesia), melihat keris itu untuk kepentingan melukis tentang Diponegoro.
"Raden Saleh menuliskan apa itu makna keris Naga Siluman, juga deskripsi ciri-ciri fisik keris itu, ada gambar naga di bilahnya, dibungkus prada emas, tetapi prada hilang, tinggal ada emas di ujung buntut. Juga ciri-ciri pakai luk," kata Prof Margana. Tetapi ia mengaku tak bisa membaca semua tulisan yang ditulis membujur di atas kertas kesaksian Sentot Prawirodirdjo karena yang dibaca Prof Margana hanya kopinya.
"Tulisan kecil-kecil di kopian sehingga tidak semua bisa saya baca. Setahu saya tidak disebutkan jumlah luknya berapa," kata Margana. Dalam kutipan keterangan lain, kesaksian Raden Saleh menyebutkan jumlah luk kerisnya, luk 13. Margana mengaku akan melihatnya lagi pada kertas aslinya.
Repotnya, Gedung Kabinet Kerajaan itu pernah terbakar sehingga dokumen-dokumen yang menyertai benda-benda bersejarah yang disimpan disitu hilang. Tinggal tersisa nomor register, yang dituliskan di kayu warangka kerisnya dan juga gagangnya. Nomor-nomor register itu tidak menyebutkan keris-keris Pangeran Diponegoro yang mana.
"Keris-keris (Pangeran Diponegoro dan juga raja-raja se-Nusantara) tidak pernah hilang di Belanda. Yang hilang hanya catatannya," kata Prof Margana.
Tim peneliti keempat, dipimpin Tom Quist, juga dari Museum Volkenkunde, Leiden. Tom Quist menemukan bukti lain yang disebutnya sebagai "Keris Naga Siluman 1875 sebelum dipindah ke Volkenkunde", pernah dipamerkan di Philadelphia, Amerika Serikat, pada 1875.
"Dari tiga keris yang pernah diteliti tim Belanda itu, ya, keris ini (nagasasra kamarogan luk 11) yang paling mendekati ciri-ciri keris Naga Siluman," kata Margana. Ada foto keris tersebut, selain di dokumen, juga ada di koran-koran dan majalah yang terbit selama pameran di Philadelphia.
Pihak Belanda masih belum yakin bahwa keris yang berluk 11 (bukan luk 13, seperti diperkirakan dideskripsikan Raden Saleh) dengan gandik berukir naga dan tubuh bilah berukir gambar naga ini adalah keris Naga Siluman milik Diponegoro.
"Pemerintah Belanda mengundang dua empu dari Indonesia, tetapi untuk kerahasiaan nama empu itu tidak diberitahukan bahwa keris yang mereka teliti itu Naga Siluman. Dua empu itu diundang ke Belanda dalam waktu yang berbeda di tahun 2019," kata Margana.
"Empu pertama mengatakan, Oh, keris ini memang keris tua. Kalau dari gambar yang diukir di bilah keris itu, kemungkinan ada candra sengkala-nya yang mengunjuk tahun 1633 dari gambar naga, kijang, gajah dan singa. Keris milik Sultan Agung, yang diwariskan sampai pada Pangeran Diponegoro," ucap Margana.
Empu kedua berpendapat, keris itu lebih kurang berusia 1.800 tahun, dan jika dihitung, jatuhnya setelah Perang Diponegoro (1825-1830). Karena tidak relevan, meleset jauh perkiraannya, pendapat empu kedua ini dikesampingkan.
Masih diundang lagi, kali ini tim verifikasi dari Museum Vienna, Austria, yang juga menyimpan keris Diponegoro yang lain, dipimpin Dr Habil Jani Kuhnt-Saptodewo pada Januari 2020. Tim ini lebih memverifikasi kelengkapan dan keabsahan dokumen. Tim Jani Kuhnt-Saptodewo hanya menguatkan bahwa sumber-sumber dokumen meyakinkan, valid, bahwa "ini adalah keris Diponegoro".
Verifikasi
Maka, diputuskanlah keris dengan nomor register RV 360-8084 (berluk 11 nagasasra kamarogan) ini untuk dikembalikan kepada rakyat Indonesia, pemilik keris tersebut. "Dan saya diminta untuk memverifikasi keris ini pada Februari 2020 dalam rombongan Dirjen Kementerian Kebudayaan Dr Hilmar Farid, serta wartawan Historia, Bonnie Triyana, dan Duta Besar RI untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja," ujar Prof Margana.
Adapun kesimpulan bahwa keris ini adalah keris Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro yang selama ini dicari-cari adalah kesimpulan yang diambil oleh Prof Margana, yang melakukan verifikasi terakhir.
"Karena saya sejarawan, kesimpulan yang saya ambil tentunya berdasarkan keabsahan dokumen pendukung, serta pengamatan obyektif bendanya. Di antara tim verifikasi terakhir, hanya saya yang diperbolehkan memegangnya dan mengamatinya langsung," ungkap Prof Margana.
"Saya juga menyampaikan pesan Ki Roni Sodewo (keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro) agar keris tersebut diukur dan ditimbang," kata Margana.
Ditimbang? Pihak Belanda bertanya-tanya, mengapa ditimbang? Lalu dijelaskan, bisa saja terjadi jika dikembalikan ke Indonesia, keris tersebut "diputrani dalam waktu sesingkat-singkatnya". Maka, jika ditimbang lebih dulu, akan ketahuan jika ditiru, putran-nya tidak sama berat dengan keris Diponegoro yang dipulangkan ke tanah airnya. Pihak Belanda pun memaklumi.
Kontroversi timbul ketika keris tersebut tiba di Tanah Air, terutama muncul di kalangan penggemar keris. Lantaran, yang datang Kanjeng Kiai Naga Siluman, tetapi dhapur atau model kerisnya bukan model dhapurNaga Siluman seperti dalam pakem keris.
"Nama tidak harus sesuai model kerisnya. Nyatanya, keris Naga Polah milik Rangga Prawirodirdjo, yang juga disimpan di Belanda, dhapur kerisnya nagasasra," lanjut Margana.
Kunci untuk menentukan keris ini adalah keris Naga Siluman, sebagai ilmuwan, Prof Margana melakukan penelitian obyektif langsung pada bendanya. "Gambar Naga Siluman itu tidak berada di bilah ataupun pamor, tetapi dekat gagang," kata Margana. Maksudnya, gambar relief tinatahemas itu ada di wuwungan ganja atau bagian dasar bilah keris, bagian yang terlihat jika keris tersebut disarungkan di warangka-nya.
"Apa istilahnya? Saya mengatakan ada gambar naga siluman jawa. Selama ini dipahami entah sebagai gambar gajah, atau harimau, singa," kata Margana. Ia merujuk pada patung-patung kuno serupa dari perunggu, yang pada masanya banyak didapat dan beberapa disimpan di Museum Belanda, serta disebutnya sebagai "naga jawa" (de javansche draak).
"Bentuknya naga pakai tangan, dengan bentuk mulutnya terbuka, menoleh ke kanan, mirip-mirip naga dragon ala China. Tersembunyi (di wuwungan ganja keris ini) yang selama ini disalahpahami," kata Margana.
"Saya langsung bisa menyimpulkan, karakteristik naga siluman itu bukan pada gambar ular di bilahnya, tetapi justru di bagian ganja-nya. Itu kesaksian saya, pendapat saya sendiri tentang keris tersebut," kata Prof Margana pula. Maka, jika memang ditemukan bukti lain yang valid, bukan tidak mungkin nama keris itu akan diganti.
"Memang, posisi gambar (naga siluman jawa) itu tidak penuh. Hanya separuh dari dada ke atas. Dan, kalau tidak dilihat dari posisi yang tepat, tidak akan kelihatan sebagai naga siluman jawa," ucap Margana. Kesimpulan Prof Margana itu pun diamini oleh tim Volkenkunde dan juga Dirjen Kebudayaan Dr Hilmar Farid, bahwa itu memang gambar naga.
"Jadi, itulah mengapa saya diminta ke Belanda. Saya secara akademis menyimpulkan didukung arsip-arsip yang meyakinkan, melihat ciri-ciri obyektif yang meyakinkan bahwa ini adalah keris Naga Siluman," kata Prof Margana.
Lalu, mengenai jumlah luk 11? Prof Margana, kepada komunitas di Yogyakarta, Rabu petang, mengatakan, dirinya akan menindaklanjuti lagi permintaan kalangan perkerisan agar diyakinkan lagi mengenai jumlah luknya. Apakah nagasasra luk 11 seperti yang dikembalikan kali ini ataukah luk 13 yang konon ditulis dalam kesaksian Raden Saleh (1831). Meskipun menurut Prof Margana, jumlah luk tidak diungkapkan oleh pelukis Indonesia yang sezaman dengan Diponegoro tersebut.
Apa pun kontroversi yang terjadi, menurut Prof Margana, diserahkan kepada kalangan perkerisan. Jika memang ada bukti yang valid, masih ada kemungkinan berubah.
Yang pasti, kembalinya salah satu artefak berupa keris milik Pangeran Diponegoro ini hendaknya dimaknai sebagai "niat baik Pemerintah Belanda untuk mengembalikan benda-benda bersejarah milik rakyat Indonesia" kepada pemiliknya, yakni dikembalikan ke Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar