Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 17 Maret 2020

SEPAK BOLA: Tangan Dingin ala Brendan Rodgers (ADI PRINANTYO)


Adi Prinantyo, wartawan Kompas

"Liverpool bagian dari perjalanan hidup. Saya merasa setelah itu bahwa saya sudah mendapat pengalaman hebat. Anda tak pernah senang saat kehilangan pekerjaan, tak seorang pun, tetapi saya selalu merasa bahwa kegagalan itu (sekaligus) juga kesuksesan". Begitu komentar Pelatih Leicester City Brendan Rodgers saat diwawancarai majalah sepak bola, Four Four Two, edisi Januari 2020.

Pernyataan Rodgers terkait pemberhentiannya sebagai pelatih Liverpool, 4 Oktober 2015. Ketika itu, "The Reds" ditahan seri 1-1 oleh rival sekota, Everton. Hasil derbi Merseyside ini menguak fakta pahit Liverpool musim itu: baru menang sekali dalam sembilan laga awal musim 2014-2015.

Hanya satu jam setelah laga itu berakhir, kenyataan terasa makin pahit bagi Rodgers karena ia dipecat Liverpool. Saat ia dicopot, Liverpool di peringkat ke-10 klasemen Liga Inggris dari delapan pertandingan. Beberapa hari kemudian Rodgers menyatakan, "Saya, tentu saja, luar biasa kecewa harus meninggalkan (Liverpool). (Tetapi) Ini kehormatan sekaligus kesempatan istimewa untuk melatih salah satu klub besar."

Pemecatan Rodgers berbanding terbalik dengan pujian saat ia membawa Liverpool ke posisi kedua klasemen akhir Liga Inggris musim 2013-2014. Poin Liverpool 84, cuma berselisih dua angka dari tim juara Manchester City, 86 poin. Setelah hasil akhir musim 2013-2014 itu, Rodgers menerima LMA (Asosiasi Pelatih Liga) Manager of The Year dan kontraknya di Liverpool diperpanjang hingga empat musim berikutnya.

AP PHOTO/JON SUPER

Pemain Liverpool, Luis Suarez, bersalaman dengan manajernya, Brendan Rodgers, saat pergantian pemain di Stadion Anfield, Liverpool, Inggris, Sabtu (8/2/2014). Rodgers membawa Liverpool ke peringkat kedua klasemen Liga Inggris sebelum serangkaian hasil buruk membuatnya harus pergi dari Anfield.

Kontrak kerja sama itu berakhir lebih cepat seiring pemberhentian Rodgers dari jabatan pelatih Liverpool. Pertanyaan berikutnya, ke mana Rodgers berlabuh?  Dalam usia yang tergolong muda untuk ukuran pelatih kala itu, masih 42 tahun, publik menanti klub mana lagi yang dilatihnya.

Penantian itu tiba pada 20 Mei 2016, kala ia meneken kontrak dengan Celtic, klub Liga Skotlandia untuk jangka 12 bulan. Fans Celtic, klub dengan warna khas putih-hijau itu, lalu terkesan dengan pencapaian Rodgers yang memandu klub menjuarai liga dua musim berturut-turut, 2016-2017 dan 2017-2018. Prestasi itu dilengkapi trofi Piala Skotlandia pada dua musim yang sama dan bahkan tiga trofi Piala Liga (dua musim itu dan 2018-2019).

Rodgers kembali ke Liga Inggris tatkala diumumkan sebagai pelatih baru Leicester City, 26 Februari 2019. Pada laga debutnya di kandang Stadion King Power, 9 Maret 2019, Rodgers membawa tim asuhannya menang 3-1 atas Fulham. Kemenangan itu berlanjut dengan sejumlah kemenangan berikutnya, yang diakhiri bertenggernya Leicester di tangga kesembilan klasemen akhir 2018-2019.

AFP/ ANTHONY DEVLIN

Manajer Leicester City Brendan Rodgers memberikan arahan pada tim asuhannya dalam laga perempat final Piala Liga Inggris antara Everton melawan Leicester City di Stadion Goodison Park, Liverpool, pertengahan Desember 2019.

Pendekatan khas Rodgers

Yang lebih impresif, bagaimana Rodgers membawa Leicester yang sebenarnya bukan tim bertabur bintang bisa berada di posisi ketiga klasemen sementara musim 2019-2020. Leicester sementara ini di bawah Liverpool dan Manchester City, dan di atas sejumlah klub elite seperti Chelsea, Manchester United, Tottenham Hotspur, dan Arsenal.

Satu hal yang selalu berupaya ditanamkan Rodgers di Leicester, juga ketika membawa Liverpool di urutan kedua Liga Inggris, adalah upaya untuk terus membawa tim asuhannya mendominasi penguasaan bola. Penguasaan bola itu dipertahankan, baik saat menyerang maupun bertahan. Tak heran, dalam sejumlah laga, termasuk saat menang 3-0 atas Arsenal, 28 April 2019, selalu ada ada gol yang merepresentasikan dominasiball possession.

Pada gol ketiga laga itu, umpan satu-dua pemain Leicester berlanjut dengan penguasaan bola oleh Ricardo Pereira di kotak penalti Arsenal. Dari sisi kiri gawang "The Gunners", Pereira mengirim umpan menyusur tanah ke Jamie Vardy yang bersiaga di depan gawang Bernd Leno. Dengan sekali sentuh, Vardy melesakkan bola ke gawang Arsenal, dengan posisi Leno yang tak mungkin menjangkau bola.

Saat masih melatih Liverpool, seperti diungkap Jack Pitt-Brooke dalam artikel di The Independent(dipublikasikan 19 April 2014), beberapa staf  Liverpool mengungkapkan betapa Rodgers bekerja keras dalam sesi latihan, pertemuan-pertemuan tim, untuk menanamkan kecerdasan taktik, dan pengetahuan tentang peran berbeda pemain, bagi tim. Itulah mengapa, meski Rodgers memainkan formasi yang berbeda, apakah itu 3-5-2, 4-3-3, atau 4-4-2, tim asuhan Rodgers tetap bisa mendominasi penguasaan bola.

ACTION IMAGES VIA REUTERS/CARL RECINE

Manajer Leicester City Brendan Rodgers dan striker  Jamie Vardy usai laga Liga Inggris melawan Arsenal, 28 april 2019.

Steven Gerrard, legenda Liverpool yang masih berada di tim sebelum Rodgers dipecat, mengakui kepiawaian sang pelatih dalam menangani tim. "Saya  benar-benar terkesan dengan musim-musim (kepelatihan) Rodgers, taktik-taktiknya, kematangannya dalam melatih, dan saya belajar darinya setiap hari," ujar Gerrard, seperti dikutip dalam sebuah artikel "The 24", terbit 21 April 2014.

"Dia mengelola tiap pemain dengan berbeda. Dia tahu kami tahu punya karakter yang berbeda di ruang ganti dan pendekatannya secara pribadi dengan para pemain adalah yang terbaik sepanjang yang saya tahu. Dia membuatmu berada di lapangan dengan perasaan berjuta-juta dollar, penuh keyakinan, dan kepercayaan diri," tutur Gerrard.

Pellegrini, Hodgson, Redknapp

Upaya Rodgers mengubah Leicester, tim biasa-biasa saja yang tadinya di urutan kesembilan klasemen akhir 2018-2019 dan membawanya ke tangga ketiga musim ini, mengingatkan pada bagaimana Manuel Pellegrini, Roy Hodgson, dan Harry Redknapp memoles tim-tim semenjana.

GETTY IMAGES/DENIS DOYLE

Manuel Pellegrini

Pellegrini pernah membawa Malaga, klub "antah berantah" Liga Spanyol yang langganan papan bawah, ke fase grup Liga Champions 2012-2013, untuk pertama kalinya dalam sejarah klub. Malaga di bawah Pellegrini akhirnya melaju hingga perempat final sebelum disisihkan Borussia Dortmund.

Pelatih asal Chile itu memercayakan lini belakang Malaga salah satunya kepada Martin Demichelis, yang berusia 33 tahun pada 2013. Usia yang tak muda lagi sebagai pesepak bola profesional itu membawa keyakinan permainan Demichelis yang tak lagi prima setelah ia hijrah dari Bayern Muenchen.

Di lini tengah ada gelandang serang Julio Baptista, yang juga sudah 32 tahun. Sebelumnya, Baptista melalang buana di Real Madrid dan AS Roma. Keraguan-keraguan terhadap Demichelis dan Baptista itu ditepis dengan pendekatan sang pelatih yang penuh ketelatenan dan percaya sepenuhnya pada kemampuan pemain.

Redknapp? Dia memandu Portsmouth merebut trofi Piala FA untuk kali pertama dalam sejarah klub sejak 1939, yakni pada 2008. Siapa yang menyangka ketika itu Portsmouth bakal meraih gelar juara Piala FA? Maklum, "Pompey", julukan Portsmouth, juga tanpa pemain bintang.

AP PHOTO/PA, NIGEL FRENCH

Harry Redknapp

Di lini depan, misalnya, hanya tersedia Nwankwo Kanu, penyerang asal Nigeria yang kala itu sudah berusia 32 tahun. Banyak pengamat menilai, era keemasan Kanu adalah semasa dia di Arsenal, kurun 1999-2004. Namun, dengan kesabarannya, Redknapp bisa mengoptimalkan kepiawaian Kanu.

Tak cuma itu. Di jantung pertahanan, Redknapp juga masih mengandalkan Sol Campbell, yang waktu itu sudah 34 tahun. Sama dengan Kanu, Campbell juga bagian dari skuad Arsenal yang membawa The Gunners juara Liga Inggris musim 2003-2004 dengan tanpa terkalahkan. Selepas dari Arsenal, Portsmouth diyakini hanya merekrut Campbell yang sudah "habis".

Adapun Roy Hodgson memandu Fulham yang klub biasa-biasa saja di Liga Inggris ke final Liga Europa 2010. Waktu itu Hodgson "bermodal" pemain seperti Simon Davies, Bobby Zamora, dan kiper Mark Schwarzer, jauh dari predikat "bintang". Setelah menyingkirkan Hamburg (Jerman) di semifinal, Fulham tunduk 1-2 dari Atletico Madrid (Spanyol).

Pembuktian berikutnya

Rodgers datang ke Leicester, juga tidak sedang dalam kondisi terbaik, jika membandingkan dengan saat "The Foxes" menjuarai Liga Inggris musim
2015-2016. Kala itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Leicester menjadi kampiun Liga Inggris, saat ditangani Claudio Ranieri.

AFP/ BEN STANSALL

Manajer Leicester City Brendan Rodgers (tengah) memberikan semangat kepada anak asuhnya seusai pertandingan Liga Inggris antara Leicester City melawan Wolverhampton Wanderers di Stadion King Power, Leicester, Minggu (11/8/2019).

Ketika Rodgers datang, Leicester bertengger di peringkat kesembilan klasemen akhir musim 2017-2018. Sejumlah bintang yang ikut menjuarai liga di musim 2015-2016 juga sudah hengkang, salah satunya Riyad Mahrez yang hijrah ke Manchester City.

Namun, dari skuad seadanya dan posisi klasemen musim sebelumnya yang hanya di papan tengah, Rodgers menyemai semangat dan kekompakan tim. Rodgers, yang kini baru berusia 47 tahun, masih bisa mematangkan diri hingga satu dekade ke depan. Dengan tangan dinginnya memoles Leicester, ke depan masih dinanti karya-karya besar Rodgers di dunia kepelatihan sepak bola.

Setelah bisa memoles tim semenjana seperti Celtic dan Leicester, kiprah Rodgers bersama tim besar kembali dinanti. Kegagalannya membawa Liverpool juara Liga Inggris bisa menjadi salah satu modal penting untuk menangani tim besar lain, apakah itu klub Inggris, Spanyol, atau Italia. Tentu, harapannya berakhir dengan kesuksesan.

Kompas, 12 Maret 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger