Para fan Atalanta mewakili semangat welas asih yang baik. Mereka menempatkan nilai kemanusiaan pada posisi tinggi untuk menyentuh mereka yang jadi korban dan derita. Para fan yang rata-rata kelas pekerja menyumbangkan semua uang tiketrefund mereka setelah pertandingan Liga Champions babak 16 besar antara Valencia dan Atalanta diputuskan tanpa penonton.
Uang refund tiket itu berjumlah 40.000 euro atau Rp 640 juta disumbangkan ke Rumah Sakit Giovanni XXIII di Bergamo, Italia, yang menangani pasien Covid-19.
Empati pada derita
Sikap kesetiakawanan itu tak hanya ada jauh di sana, di Italia, negara paling hancur akibat Covid-19. Di Indonesia, sikap itu juga mulai bermunculan, terutama yang oleh selebritas dan artis yang kerap digambarkan hidup glamor dan materialistis. Artis kontroversial, Nikita Mirzani, menyumbangkan Rp 100 juta pada hari ulang tahunnya untuk penanganan virus Covid-19.
Sikap kesetiakawanan itu tak hanya ada jauh di sana, di Italia, negara paling hancur akibat Covid-19.
Selegram, Rachel Vennya, melakukan penggalangan dana untuk rumah sakit yang kekurangan alat pelindung diri (APD). Ia berhasil mengumpulkan Rp 1 miliar kurang dari 24 jam. Popularitas mereka di dunia industri hiburan dan media sering mengarah hal-hal yang bernilai jual, tetapi sesungguhnya mereka solider untuk ikut berbuat di tengah pandemi global ini.
Terlepas dari kontroversialnya virus Covid-19—ada yang mempersangkakan sebagai senjata biologis akibat rekayasa genetika sehingga jadi virus paling menular—ada hal-hal yang patut dilakukan oleh kita sebagai manusia berbudi untuk membantu sesama. Wabah Covid-19 ini tidak saja menyebarnya sangat cepat, tetapi juga penanganannya di luar perkiraan semua pihak, termasuk negara.
Jika disebut hampir semua negara gagap menanganinya, tentu tak heran. Tak perlu nyinyir jika langkah-langkah yang dipilih pemerintah tak sempurna. Setiap kebijakan memiliki risiko dan tentu pemerintah telah menghitung setiap pilihan kebijakan yang diambil.
Pilihan kita tentu lebih baik berbuat dibandingkan dengan mengutuk. Diperlukan pertaruhan sebagai manusia untuk memikirkan dan membela orang lain. Itulah yang disebut altruisme.
Pembelaan dan solidaritas itu tak berangkat akibat perintah undang-undang, paksaan militer, atau dogma agama, melainkan tumbuh dari kesukarelaan dan kilau kebaikan dari ringan hati. Sikap altruisme ini telah lama hidup dalam pemikiran filsafat humanisme.
Gagasan tentang kebaikan dan kebenaran dalam konsep humanisme digaungkan kembali oleh filsafat Perancis abad ke-18. Auguste Comte, menyebut konsep autrui—yang berangkat dari kata Latin alter, berarti "orang lain", sebagai panggilan moral untuk meninggalkan kepentingan diri sendiri demi memenuhi kepentingan orang lain.
Konsep altruisme melawan pandangan bahwa kebenaran itu milik diri sendiri (the self). Satre menyebutkan, iman yang baik (bonne foi) ialah yang melihat orang lain (the others) secara otentik untuk melengkapinya. Bukan iman yang meneriakkan neraka bagi orang lain (hell is other people).
Pilihan kita tentu lebih baik berbuat dibandingkan dengan mengutuk.
Solidaritas semesta
Dalam situasi seperti saat ini tentu perlu solidaritas kemanusiaan dari siapa pun untuk mereka yang menderita akibat Covid-19. Yang menderita pada situasi saat ini tidak saja yang terdampak secara medis, virologis, dan sosial, tetapi juga secara politik dan ekonomi.
Pelbagai kebijakan memang telah diambil untuk mencegah virus ini merebak, di antaranya penjarakan sosial (social distancing) dan bekerja dari rumah (work from home). Namun, tak semua dimensi kerja bisa dijarakkan secara sosial dan tak semua orang bisa bekerja di rumah. Bagi eksekutif, karyawan kantor, desainer, pekerja media dan industri penyiaran, dan lain-lain, ruang kerja tidak melulu kantor, dan mereka bisa bekerja dari mana saja.
Namun, bagi pekerja sektor riil, manufaktur, usaha kecil dan menengah, sopir, pedagang, pelayan publik, dan lain-lain memerlukan ruang publik dan sosial itu. Sebagian mereka tak bisa hidup lebih lama lagi jika tidak bekerja.
Negara tak bisa dituntut untuk memenuhi hak ekonomi semua masyarakat, apalagi yang tak bekerja sebagai aparatur negara. Di sinilah dituntut solidaritas sosial kita untuk membantu siapa saja, dari yang dekat dengan lingkungan hingga yang jauh, bergerak secara spontan untuk membantu.
Harus ada energi memberi, mengabdi, menolong, dan bekerja untuk orang lain. Bisa dengan menyisihkan sebagian pendapatan untuk mereka yang kurang beruntung secara ekonomi. Bisa dengan membantu menyebarkan kabar baik dan membuat masyarakat jadi tenang. Bisa menjadi sukarelawan dan pekerja sosial. Bisa juga sebagai penghubung yang mengoneksikan aneka bantuan dan fasilitas untuk yang memerlukan.
Altruisme sebenarnya dimiliki oleh bangsa ini. Itu terlihat ketika terjadi bencana hebat, seperti tsunami Aceh, belasan tahun lalu. Ada gerakan solidaritas semesta yang bergerak membantu.
Tak ada ego identitas sosial, agama, etnis, dan politik yang menderu-deru sehingga membuat bantuan tak melaju. Semua orang berpegangan tangan dan mencurahkan energi yang dimiliki untuk bebaskan orang lain dari rasa sakit dan putus asa.
Harus ada energi memberi, mengabdi, menolong, dan bekerja untuk orang lain.
Richard Rorty, filsuf posmodernisme AS, menyebutkan, panggilan moral untuk solidaritas sebenarnya tak berangkat dari dasar filosofis, religius, atau ideologis tertentu, tetapi dari panggilan humanisme dari dalam diri manusia, yaitu bersedia tidak kejam.
Dengan membantu orang lain, kita menolak bersikap jahanam, alih-alih hanya memupuk kenikmatan bagi diri sendiri dan keluarga. Seperti yang dilakukan kelompok kelas menengah perkotaan yang menimbun stok makanan di rumahnya sambil seolah-olah berempati kepada korban Covid-19 melalui gawainya yang mahal dengan status di media sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar