Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 16 April 2020

COVID-19: ”Mempersenjatai” Para Pekerja Garis Depan Perkotaan (NELI TRIANA)


KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Petugas PPSU membersihkan jalur pedestrian di depan pintu masuk Blok A Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang masih ditutup untuk sementara, Senin (6/4/2020).

Di tengah pembatasan sosial, pengangkut sampah tak pernah absen mengosongkan bak sampah di setiap rumah secara berkala. Di jalanan, penyapu jalan masih bekerja. Pengojek daring mondar-mandir melayani konsumen. Mereka bagian dari pekerja garis depan yang memastikan warga kota terlayani. Memastikan mereka aman terlindungi, kewajiban kita bersama.

Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berlaku mulai Jumat (10/4/2020) seiring terbitnya Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, pada Kamis (9/4/2020) malam. Bagi Jakarta, ini perpanjangan dari tiga pekan pembatasan sosial yang telah dilakoni.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan, semua kegiatan belajar, bekerja, dan beribadah harus dilaksanakan di rumah. Kecuali di beberapa sektor, yakni semua jenis layanan pemerintahan, kesehatan, industri strategis, keuangan dan perbankan, energi, teknologi informasi dan komunikasi, logistik, konstruksi, pangan, dan ritel untuk kebutuhan sehari-hari.

Dari pergub tersebut diketahui bahwa saat sebagian besar warga kota berada di rumah, sebagian warga lainnya tetap berada di lapangan, di luar zona amannya. Selain bagian dari kewajiban, keberadaan mereka di luar rumah untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka beserta keluarganya.

Dalam artikel "The Workers Who Face the Greatest Coronavirus Risk" oleh Lazaro Gamio di The New York Timesterbitan 15 Maret, ada paparan data pekerja garis depan perkotaan di New York, Amerika Serikat. Sesuai jenis pekerjaannya, pekerja garis depan itu tidak mungkin bekerja di rumah selama masa pembatasan sosial dan susah membatasi jarak dengan orang lain selama bekerja. Sebagian besar dari mereka memperoleh pendapatan hari per hari dan termasuk golongan paling bawah dalam rantai ekonomi perkotaan.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas kebersihan mengenakan masker saat membersihkan halaman ruang isolasi di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta, Selasa (10/3/2020).

Lazaro menyebutkan, sesuai jenis pekerjaannya, pekerja garis depan amat rentan terinfeksi virus korona baru penyebab Covid-19. Beberapa jenis pekerja yang dimaksud, di antaranya pekerja medis, pekerja rumah tangga, petugas kebersihan, pengantar barang, polisi, petugas di pusat perawatan anak, petugas kasir, pilot, pramugari, awak angkutan umum, karyawan restoran cepat saji—termasuk petugas di layanan drive thru, petugas pertolongan pertama, guru, dan pemadam kebakaran.

Jika ditarik ke Jakarta, pekerja garis depan ini termasuk para pekerja informal, seperti petugas kebersihan di perkantoran serta di fasilitas publik seperti stasiun dan terminal. Terhitung pula para petugas penanganan sarana dan prasarana umum (PPSU) di DKI, pengangkut sampah, penjaga keamanan, karyawan di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), serta para pengojek daring yang selama PSBB hanya boleh melayani pemesanan makanan dan pengantaran barang.

Pekerja informal juga penting dalam memutar roda ekonomi kota. Berdasarkan temuan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, migrasi sektoral dari kerja formal ke informal menurun menjadi 68,86 persen dari sebelumnya 69,82 persen selama periode Agustus 2018 sampai Agustus 2019. Sementara penyerapan tenaga hingga Agustus 2019 masih didominasi penduduk dengan pendidikan SMA sederajat, yakni 2,24 juta jiwa (46,33 persen).

Masih dari BPS DKI, diketahui hingga Agustus 2019, terjadi peningkatan moda transportasi daring menjadi 11,5 persen dari 10,67 persen pada 2018. Diyakini peningkatan moda transportasi daring turut menyerap tenaga kerja sepanjang satu tahun terakhir. Pada waktu yang sama sebagian besar penduduk bekerja di sektor perdagangan, yakni 1,17 juta orang atau 24,12 persen. Sektor perdagangan yang dimaksud mulai dari yang beromzet ratusan hingga miliaran rupiah per hari sampai warung kecil beromzet puluhan hingga ratusan ribu rupiah per hari.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Ojek daring mengantre untuk membeli pesanan makanan di salah satu restoran cepat saji di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, Sabtu (28/3/2020). Kondisi ini terjadi sebagai imbas dari imbauan untuk tetap tinggal di rumah demi mencegah penyebaran wabah Covid-19.

Kenaikan angka pekerja informal di Ibu Kota membantu menurunkan tingkat pengangguran. Dengan total penduduk sekitar 10 juta jiwa, pada periode Agustus 2018-Agustus 2019 tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Jakarta turun 0,02 persen dari 6,24 persen menjadi 6,22 persen.

Namun, kini, sebagian dari para pekerja informal garis depan perkotaan, selain harus tetap bekerja di lapangan, sebagian lagi menghadapi ancaman bahkan sudah kehilangan pekerjaan.

Hingga Kamis pukul 18.30, Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta secara resmi memublikasikan ada 15.721 perusahaan yang merumahkan dan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 94.334 karyawan atau buruh karena harus menghentikan kegiatan usaha dampak dari meluasnya pandemi.

Disnaker DKI masih terus membuka kanal pelaporan bagi siapa pun yang terkena kebijakan dirumahkan atau di-PHK. Sejauh ini baru sebatas pada mereka yang berstatus buruh atau karyawan. Pekerja informal, seperti warung makan kecil-kecilan, pedagang kaki lima, pengojek darin,g dan lainnya yang tidak bisa menjalankan usahanya saat pembatasan sosial belum terdata jelas.

APD nonmedis


Richard Florida menuliskan tentang para pekerja garis depan perkotaan ini di CityLab pada 7 April 2020. Menurut penulis buku The Rise of Creative Class, The Rise of Creative Class (Revisited) dan The New Urban Crisisini, penyebaran virus korona baru memaparkan pembagian kelas yang sudah berlangsung lama di kota-kota di Amerika, juga di perkotaan lain di dunia. Pembagian kelas yang dimaksud adalah antara pekerja garis depan yang dibayar rendah dan para profesional yang bisa bekerja  di rumah dengan keamanan dan manfaat dari  pekerjaan yang terjamin.

"Kelompok pertama—pegawai toko bahan makanan, pekerja pengiriman, pekerja transit, pekerja layanan makanan, responden darurat, asisten dokter, dan asisten perawat—dihadapkan pada Covid-19 dalam pekerjaan sehari-hari mereka atau saat di angkutan umum. Kelompok kedua bergantung pada layanan yang disediakan para pekerja ini," papar Richard dalam artikel "The Coronavirus Class Divide in Cities" itu.

Intinya jelas, pekerja garis depan menanggung risiko yang tidak proporsional dari pandemi ini. Untuk itu, kata Richard, sangat penting bagi kita melindungi mereka karena mereka membantu kita berjuang melalui krisis ini. Salah satu yang diusulkan adalah memastikan mereka mendapatkan alat pelindung yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan mereka dengan aman dan aman.

Sejauh ini diyakini kombinasi masker, sarung tangan, alat pelindung, dan mencuci tangan mengurangi penyebaran virus korona baru sampai 90 persen. Negara dan kota-kota perlu bekerja bersama pengusaha dan warga yang mampu untuk memobilisasi menyediakan peralatan alat pelindung diri (APD) sehari-hari bagi pekerja garis depan perkotaan. Ini krusial mengingat vaksin Covid-19 belum juga ditemukan sampai saat ini. Bisa berbulan-bulan ke depan semua pekerja dihadapkan pada risiko terjangkit penyakit tanpa obat.

"Selain APD medis bagi pekerja medis kita, mengapa kita tidak bisa mendesain APD nonmedis yang nyaman dipakai bagi pekerja garis depan sehari-hari agar mengurangi risiko tertular Covid-19," demikian kata Richard.

Selain APD medis bagi pekerja medis kita, mengapa kita tidak bisa mendesain APD non-medis yang nyaman dipakai pekerja garis depan sehari-hari agar mengurangi risiko tertular Covid-19.


Menarik memang ide Richard Florida. Saat banjir orang membuat masker kain dan ramai-ramai disumbangkan, gerakan membuat APD nyaman dan aman untuk sehari-hari di luar pekerja medis pun bisa ikut digalang.

Jaring pengaman sosial

Namun, apakah itu cukup? Tentu tidak. APD ini hanya sebagian kecil dari program jaring pengaman sosial melibatkan program resmi dari pemerintah dan partisipasi publik yang wajib dipastikan menyentuh orang-orang yang kesusahan akibat pandemi ini.

Pada 31 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Bersamaan dengan turunnya PP tersebut, disiapkan dana dari APBN sebesar Rp 405,1 triliun untuk penanganan pandemi secara nasional. Dari total anggaran itu, Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial.

Program jaring pengaman sosial yang ditujukan untuk warga miskin dan rentan miskin ini meliputi, antara lain, menambah jumlah Program Keluarga Harapan (PKH), paket bahan kebutuhan pokok, operasi pasar logistik sehari-hari, dan menggratiskan tagihan listrik.

Terkait dengan para pekerja informal, ada anggaran prakerja dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun. Penerima manfaatnya 5,6 juta orang, terutama kalangan pekerja informal dan usaha mikro/kecil yang usahanya terdampak wabah Covid-19. Nilai manfaatnya berkisar Rp 650.000-Rp 1 juta per bulan yang akan diberikan selama empat bulan.

SEKRETARIAT KEPRESIDENAN

Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers terkait sejumlah kebijakan pemerintah dalam menangani dan mencegah penyebaran Covid-19.

Yang perlu dilakukan sekarang adalah koordinasi pemerintah pusat dan daerah guna memastikan data sasaran program yang jelas dan transparan. Distribusi dilakukan sama transparannya. Publik bisa turut mengawasi, termasuk turut turun tangan jika masih ada kekurangan di sana-sini.

Buang jauh-jauh niat mengorupsi dana triliunan rupiah hak rakyat yang membutuhkan tersebut. Agar kota juga negara tetap aman dan siap saat harus segera kembali bangkit pulih ketika pandemi berhasil dikendalikan nanti.

Kompas, 11 April 2020





Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger