Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 08 April 2020

EPILOG: Pengasingan Seekor Merpati (PUTU FAJAR ARCANA)


Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas

Perasaan seekor merpati yang terkurung dalam sangkar mungkin mirip apa yang dialami Maria Darmaningsih. Keduanya diisolasi atas nama "kebaikan". Seekor merpati demi kebaikan tuannya, ia boleh sesekali terbang tinggi, tetapi kesetiaan pada akhirnya menggiringnya untuk selalu kembali.

Maria merelakan diri "menjauh" dari kerumunan agar tak memperkeruh ketegangan dan ketakutan yang melanda umat manusia.

Ketakutan itu bahkan kini kian membesar. Ia seperti bola salju yang menggelinding, memeluk dingin es lapis demi lapis sampai akhirnya menjadi sebuah bukit. Di gigir bukit ketakutan itulah kini kita harus melewati hari demi hari. Runyamnya sebagaimana sejarah mencatat, ketakutan dan ketegangan sosial bisa pecah menjadi kaos.

Kota Palermo, Sisilia, Italia pada hari ke-16 pemberlakuan karantina wilayah  oleh pemerintah mendadak jadi liar. Orang-orang yang kelaparan menjarah supermarket. Tak hanya makanan, barang-barang kebutuhan sekunder pun tak luput pula digondol. Angka warga yang tertular Covid-19 pekan lalu di negeri "pizza" itu telah mencapai 100.000! Kemungkinan besar akan terus bertambah, seiring kebingungan pemerintah dan ketakutan warga dalam menghadapi pandemi global ini.

Pengasingan dalam sejarahnya memang menjadi cara paling "liar" untuk "menyingkirkan" musuh. Pada masa klasik, lima bersaudara Pandawa ditambah Dewi Drupadi harus menjalani masa pengasingan selama 12 tahun di dalam hutan. Hukuman itu harus ditambah setahun masa penyamaran dan pada tahun ke-14 barulah boleh kembali ke Indraprasta.

Hukuman ini tidak hanya liar, tetapi juga menjadi upaya penghancuran rasa kemanusiaan yang melekat pada setiap orang. Apalagi bagi kelas bangsawan penguasa seperti para Pandawa, pembuangan itu akan berdampak lebih dalam. Pada diri mereka hukuman dengan pembuangan identik dengan penistaan rasa kemanusiaan karena diperlakukan sama seperti binatang.

KOMPAS/INSAN ALFAJRI

Tiga pasien Covid-19 yang telah sembuh, yaitu Kasus 1, 2, dan 3, dipulangkan dari RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, Senin (16/3/2020). Menurut mereka, masyarakat tidak perlu panik menghadapi Covid-19 karena penyakit itu dapat diatasi dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan pola hidup yang sehat.

Walaupun selalu ada hal-hal positif selama masa pengasingan, Pandawa misalnya banyak memetik pengetahuan secara empirik yang kelak berguna saat menjadi penguasa, tetapi tetap saja pengasingan adalah an sich. Ia berupa pengurungan atau pembuangan tubuh, sebagai representasi dari jiwa kemanusiaan. Lebih jauh pengasingan adalah pemutusan relasi sosial secara fisik sehingga perlahan terjadi keruntuhan moral. Setidaknya itulah yang melekat pada persepsi publik serta dianut oleh para pemegang kekuasaan.

Maria sebagai pasien positif Covid-19 Kasus-2, setelah Nursita Tyasutami, anaknya menjadi pasien Kasus-1, dalam wawancara khusus dengan saya berulang kali mengatakan jiwanya sangat tertekan. Isolasi dengan pintu tak terkunci, katanya, justru makin membuatnya bertambah stres secara kejiwaan.

Bahkan, ketika merasa secara fisik ia sudah sembuh, jiwanya justru seakan memberontak. Harap dicatat isolasi yang dialami Maria dan Sita terjadi ketika komunikasi secara digital tak pernah dibatasi. Saya masih bisa melakukan wawancara panggilan video dengan Maria sebanyak dua kali selama ia berstatus terkarantina di RSPI Sulianti Saroso Jakarta.

Bayangkanlah situasi ketika pengasingan dialami oleh Yudistira dan adik-adiknya seperti Bima, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa, termasuk istrinya, Dewi Drupadi. Mengapa mereka mampu menjalani hukuman secara tuntas tanpa pernah protes kepada Duryodana, yang menghukumnya? Bahkan, pada saat menjalani pembuangan mereka tetap bisa menolong sepupunya itu dari kekalahan akibat perang dengan para gandharwa yang dipimpin Citrasena. Padahal, Duryodana pergi ke dalam hutan untuk berpesta dan bermaksud membuat sakit hati para Pandawa.

KOMPAS/JB SURATNO

Lukisan wayang keluarga Pandawa (kanan).

Mengapa Pandawa bisa bertahan? Mungkin ini soal sudut pandang. Dalam program Living Free With Kimi Werner yang ditayangkan kanal NatGeo People secara berseri, Kimi selalu menjumpai orang-orang yang secara sengaja "mengasingkan" diri secara sosial.

Pada episode satu pada musim pertama tahun 2016, Kimi mendatangi Jill Redwood yang "mengasingkan" diri ke tengah hutan Goongerah, East Gippsland, Australia. Jill benar-benar hidup seorang diri selama lebih dari 30 tahun. Di tengah hutan, ia bertani dan beternak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Ia bahkan mengembangkan pertanian organik terhadap puluhan tanaman apel. Apel-apel itu kemudian ia olah sendiri menjadi jus.

Lebih hebat lagi, Jill membangun instalasi listrik tenaga surya (panel surya) untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Ia juga mengalirkan air sungai dengan kincir air yang ia bangun seorang diri. "Saya tidak percaya tentang semua ini," kata Kimi mengungkapkan rasa herannya ketika menginap di rumah Jill.

Keterasingan yang dijalani Jill menjadi bagian dari pilihan hidup alternatif di tengah penurunan daya dukung lingkungan. Ia memilih menyepi dan berteman dengan alam. Pada Jill keterputusan relasi sosial ia pilih secara sadar sebagai bagian dari "menyembuhkan" diri sendiri. Bukankah hal sama sesungguhnya kini sedang terjadi? Banyak di antara kita memilih karantina mandiri, terutama untuk tidak menjadi terduga Covid-19 dan menularkannya kepada keluarga dan orang-orang di sekitar kita sendiri.

Saya perlu menaruh hormat kepada keponakan bernama Viona Peenanda, yang memilih karantina mandiri selama 14 hari di satu rumah sebelum akhirnya bersua dengan keluarganya. Vio memutuskan pulang dari London, Inggris, sebelum kota itu benar-benar melakukan karantina wilayah.

Meski harus menjalani proses administrasi yang berliku dan diperlakukan secara tidak hormat ketika tiba di Bali, termasuk menjalani karantina daerah selama 14 hari, ia secara sadar memilih mengasingkan dirinya. Ketika hasil tes cepatnya negatif, ia tetap memilih memisahkan diri dari keluarga.

Meski berawal dari penghukuman karena kekalahan di meja judi, para Pandawa kemudian menyadari bahwa di hutan mereka bisa belajar banyak dari alam. Sejak masa klasik sampai pada masa tradisional, banyak para pangeran kerajaan "dikirim" ke hutan untuk belajar kepada seorang pertapa. Mereka biasanya menimba ilmu hidup dari seorang resi atau dukuh yang dihormati sebelum akhirnya kembali untuk menjalankan tugas-tugas kerajaan.

Jadi pengasingan atau apa pun istilahnya, pada dasarnya tak sekadar memutus relasi sosial dan merasa terhukum, tetapi juga berarti sebaliknya membelajarkan diri kepada kearifan alam semesta. Suatu hari Pandawa ingin menolong seorang brahmana yang peralatan upacaranya tersangkut tanduk rusa.

Pada saat dalam pengejaran, kelima anggota Pandawa merasa haus. Yudistira kemudian mengutus Sahadewa untuk mencari air minum. Setelah lama ditunggu, adik bungsunya itu tak kunjung datang, maka diutuslah Nakula. Lagi-lagi Nakula tak kembali, maka diutus Arjuna, kemudian juga Bima. Karena keempat adiknya tak juga kembali, Yudistira mencarinya ke tepi sebuah telaga.

Ketika tiba, Yudistira berjumpa dengan seekor bangau yang mengaku sebagai pemilik telaga. Raja Indraprasta itu juga menyaksikan keempat adiknya tergeletak tak bernyawa. Menurut bangau, mereka tewas karena keracunan air telaga setelah menolak menjawab pertanyaan.

"Jika engkau ingin minum air telaga jawablah pertanyaanku," kata bangau.

Setelah berpikir sejenak, Yudistira berkata, "Silakan."

Sebelum mengajukan pertanyaan, tiba-tiba burung bangau berubah wujud menjadi yaksa, makhluk siluman yang menyeramkan.

"Apa yang lebih berat daripada Bumi, lebih luhur daripada langit, lebih cepat daripada angin dan lebih banyak daripada tumpukan jerami?"

"Ibu lebih berat daripada Bumi, ayah lebih luhur daripada langit, pikiran lebih cepat daripada angin, dan kekhawatiran kita berjumlah lebih banyak daripada tumpukan jerami," jawab Yudistira.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Spanduk pembatasan sosial menghiasi sebuah jalan di Desa Blaburan, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (3/4/2020). Pembatasan interaksi sosial harus terus dilakukan untuk mencegah meluasnya virus korona.

Setelah mengangguk-angguk, yaksa melanjutkan bertanya, "Musuh apakah yang tidak terlihat? Penyakit apakah yang tidak bisa disembuhkan? Manusia macam apa yang mulia dan yang hina?"

"Kemarahan adalah musuh yang tak terlihat. Ketidakpuasan adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Manusia mulia adalah yang mengharapkan kebaikan untuk semua makhluk dan manusia hina adalah yang tidak mengenal pengampunan."

Dalam sekejap yaksa berubah menjadi Sang Hyang Dharma. Ia menjelma ke dunia untuk memberikan pelajaran dan ujian kepada para Pandawa. Atas jawaban Yudistira, Sang Hyang Dharma kemudian menghidupkan kembali seluruh Pandawa.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Burung merpati beterbangan di kawasan wisata Kota Tua, Jakarta Barat, yang sepi karena ditutup, Sabtu (28/3/2020). Penutupan kawasan itu diambil untuk meminimalkan kegiatan warga di ruang terbuka dalam upaya mencegah penyebaran Covid-19.

Jika demikian apakah artinya pengasingan? Seekor merpati menjadi begitu setia karena ia mengenal sangkarnya, di mana ia harus kembali. Ketika berada dalam pengasingan, manusia diberi kesempatan belajar menyelami dirinya sendiri. Ia akan berkenalan dengan rasa marah, dendam, kecewa, sedih, ketakutan, putus asa, dan segala sifat yang melumuri dirinya sebagai makhluk hidup.

Sebagaimana dikatakan Yudistira, semua sifat marah dan rasa kecewa itulah sesungguhnya musuh yang terus-menerus bersembunyi di dalam diri manusia. Justru ketika manusia merasakan rasa keterasingan, ia lebih mengenal diri sejatinya. Jill kemudian menjadi aktivis penyelamatan lingkungan dari situs di mana alam semesta itu bekerja: hutan. Sebagai gadis muda, Vio memahami artinya bertemu keluarga. Memisahkan diri justru membuat kedekatannya dengan keluarga semakin terasa hangat.

Pengasingan pada akhirnya membawa manusia memasuki siklus hidup yang membuatnya lebih menghargai kehidupannya. Bahwa menjadi asing, telah membuatnya terlahir sebagai manusia yang lebih kuat dan tahan uji. Sebagaimana kemudian terbukti kepada para Pandawa yang membawa kejayaan dan kemenangan di hadapan rakyatnya. Begitu juga seekor merpati, ia telah menebar kebahagiaan selama berjuta-juta tahun kepada tuannya dengan kasih dan kesetiaan.

Kompas, 8 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger