Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 24 April 2020

SEJARAH KOTA: Awar-awar, Kisah Empat Abad Wabah Mendera Ibu Kota (NELI TRIANA)

.

Serangan penyakit yang mewabah di kawasan Ibu Kota dan sekitarnya beberapa kali terjadi sejak masa kolonial hingga kini. Dalam bahasa Betawi, wabah lebih dikenal sebagai awar-awar atau hawar atau sawan. Awar-awar diyakini sebagai hal buruk yang kerap menjangkiti warga, wujudnya tidak selalu sama, tetapi sama-sama bisa mengakibatkan kematian.

Diskusi daring yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Betawi Kita bertajuk "Sejarah Wabah Penyakit Di Betawi: Telisik Cacar, Malaria, Kolera dan Leptospirosis" pada Sabtu (18/4/2020) khusus membahas awar-awar di kawasan yang kini kita kenal sebagai Jakarta dan sekitarnya.

Dikawal arkeolog Universitas Indonesia, Candrian Attahiyyat, sejarawan dan pendiri Perkumpulan Betawi Kita, Yahya Andi Saputra, dan dokter Sibroh Malisi yang juga pemilik RS Ali Sibroh Malisi di Jakarta Selatan, diskusi selama sekitar dua jam itu mengungkap bahwa ternyata wabah telah berkali-kali melanda Jakarta setidaknya sejak menjelang akhir abad 17.

Sebelum tahun 1753, menurut Candrian, rumah sakit sebenarnya bukan fasilitas baru di Batavia. Namun, rumah sakit yang ada hanya diperuntukkan bagi orang Eropa dan Tionghoa. Pengotakan kelas masyarakat disertai kelengkapan fasilitas menjadi bagian dari politik pemerintah kolonial kala itu untuk tetap menjadikan masyarakat lokal dapat selalu dikendalikan.

"Baru setelah ada wabah malaria merebak merenggut banyak korban, dan orang Eropa khawatir mereka sendiri terancam, penduduk setempat bisa dirawat di rumah sakit untuk menghentikan laju penyebaran penyakit. Pada 1753, yang dibuka untuk masyarakat setempat juga baru RS Tionghoa, RS Eropa belum mau menerima orang lokal," kata arkeolog Universitas Indonesia Candrian Attahiyyat dalam seminar daring via aplikasi Zoom, Sabtu (18/4/2020).

Malaria bukan wabah pertama yang mendera warga pesisir Teluk Jakarta. Pada 1644, penyakit cacar menjangkiti warga dan diberitakan turut menyebar ke seluruh Pulau Jawa. Hingga akhir abad ke-18, selain turut menjangkiti bayi, cacar telah menyebabkan kematian para buruh pekerja perkebunan dan melumpuhkan perekonomian Hindia Belanda.

Baru setelah ada wabah malaria merebak merenggut banyak korban, dan orang Eropa khawatir mereka sendiri terancam, penduduk setempat bisa dirawat di rumah sakit untuk menghentikan laju penyebaran penyakit.

KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA

Arkeolog Candrian Attahiyyat di pinggir Kali Ciliwung, di Kelurahan Ancol, Jakarta Utara, Jumat (29/3/2019).

Cerita tentang wabah cacar ini antara lain terekam dalam Anak Semua Bangsa, buku kedua tetralogi roman sejarah karya Pramoedya Ananta Toer. Cacar merambah menjangkiti hingga di pelosok Jawa, seperti di kota-kota di Jawa Timur. Begitu banyak penduduk yang meninggal dan begitu takutnya kompeni penyakit akan menjangkiti orang-orang kulit putih. Desa-desa dengan mayat-mayat penduduknya disiram minyak tanah dan dibakar, disebut sebagai tindakan wajar semasa itu demi menumpas sawan.

Wabah penyakit yang tidak kalah ganasnya di Batavia, yaitu kolera atau muntah berak alias muntaber. Dengan gejala muntah-muntah dan buang air besar yang hebat, penderita kolera bisa mengalami kematian mendadak apabila tidak segera mendapatkan penanganan medis. Pada 1864, kolera merenggut nyawa 240 orang Eropa di Batavia. Kala itu, kolera disebut menyebar lebih cepat dibandingkan penyakit epidemik lainnya seperti malaria, tipus atau disentri.

Baik Candrian maupun Yahya, menyebutkan pada 1910 dan 1911 wabah kolera terjadi lagi di Batavia. Jumlah total orang Eropa maupun warga setempat yang meninggal akibat kolera diperkirakan mencapai 6.000 orang. Pemerintah maupun publik sampai tak berdaya menangani warga yang sakit apalagi yang meninggal. Mayat di dalam peti mati dikabarkan banyak yang diletakkan begitu saja di tepi jalan raya.

Migrasi dan interaksi manusia dengan lingkungannya

Batavia menjadi kawasan metropolis dengan penduduk dari berbagai suku, ras, dan agama yang datang tidak hanya dari daerah-daerah di Nusantara, tetapi juga dari luar negeri, terjadi pada masa kolonial. Jan Pieterszoon Coen disebut-sebut sebagai pihak yang memelopori migrasi massal ini. Coen adalah Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali, yakni pada 1619-1623 dan 1627-1629. Ia yang mengawali pembangunan kawasan yang kini disebut sebagai Kota Tua itu sebagai pusat pemerintahan kolonial.

Untuk urusan pembangunan kota, pekerja asing, khususnya dari China didatangkan oleh Coen. Selanjutnya, seperti dikatakan oleh Candrian dan Yahya, orang-orang Eropa turut berdatangan ke Batavia yang pernah menjadi pusat perdagangan internasional. Suatu kota yang kaya dan ramai serta modern di masanya. Di masa-masa berikut hingga awal abad ke 20, migrasi dari berbagai negara masih terus terjadi.

TROPENMUSEUM/NATIONAL MUSEUM OF WORLD CULTURES

Karya grafir yang menggambarkan terjadinya pembantaian kaum Tionghoa di Belanda pada tahun 1740 di Batavia.

Kawasan rawa-rawa yang menjadi kota itu pada abad ke 17 berpenduduk tak lebih dari 30.000an jiwa. Seiring waktu dan derasnya pembangunan di Batavia, kawasan terbangun meluas dan penduduk mencapai ratusan ribu jiwa hingga jutaan jiwa di abad-abad selanjutnya. Seiring pula dengan perkembangan kota itu, ada sisi-sisi kota yang tertata cantik tetapi ada pula yang dibiarkan kumuh. Melengkapi segregasi sosial akibat ketimpangan di tengah pesatnya perkembangan Batavia salah satunya diyakini turut memicu peristiwa pembantaian kaum Tionghoa pada 1740. Wabah penyakit pun silih berganti menyerang penghuni Jakarta di masa lalu.

"Malaria, misalnya, penyakit ini timbul tenggelam selama berabad-abad. Muncul lagi besar-besaran pada 1939 sebelum Indonesia merdeka, ribuan orang mati. Khususnya terjadi di kawasan yang kini masuk wilayah administrasi Jakarta Utara. Beritanya sampai masuk ke media-media di luar negeri," tambah Candrian, anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta ini.

Mengapa bisa terjadi? Ada beberapa catatan yang bisa menjadi rujukan, antara lain, dalam artikel Perusakan Hutan Mangrove dan Penularan Malaria yang dipublikasikan pada tahun 1994 oleh M Sudomo, peneliti di Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan. Dalam artikel tersebut, dijelaskan ada penebangan pohon bakau di pesisir Teluk Jakarta. Lahannya, tambah Candrian, lantas dialihfungsi menjadi empang. Empang makin lama makin tak terurus jadi tempat nyamuk. Antara lain yang kini dikenal sebagai daerah Papanggo dan Rawa Dadak di Jakarta Utara.

Persoalan lingkungan hidup yang tidak sehat turut memicu penyebaran bakteri penyebab penyakit kolera. Bakteri ini dikatakan menular lewat air minum, makanan dan kontak langsung antara pasien yang sudah menderita kolera dengan yang orang lain.

Selanjutnya penyakit leptospirosis pernah juga mewabah di Batavia pada 1911-1912. Penyakit ini ditularkan ke manusia lewat media kencing tikus di genangan air di sekitar permukiman yang tak terjaga kebersihannya. Penyakit kencing tikus ini diyakini berawal dari tikus yang terbawa dalam beras impor asal Rangoon atau Yangon, kota di Burma yang kini dikenal sebagai Myanmar. Beras impor diterima di Surabaya, Jawa Timur tetapi leptospirosis atau penyakit pes diketahui pertama kali terjadi di Malang, Jawa Timur pada 27 Maret 1911. Dari Malang, lantas kasusnya berlanjut mewabah hingga ke seluruh Jawa dan Sumatera.

Leptospirosis pernah juga mewabah di Batavia pada 1911-1912. Penyakit ini ditularkan ke manusia lewat media kencing tikus di genangan air di sekitar permukiman yang tak terjaga kebersihannya. Penyakit kencing tikus ini diyakini berawal dari tikus yang terbawa dalam beras impor asal Rangoon atau Yangon, kota di Burma yang kini dikenal sebagai Myanmar.

KOMPAS/STEFANUS ATO

Bekas bangunan rumah sakit karantina haji di Pulau Cipir, bagian dari gugusan kecil Pulau Onrust di Kepulauan Seribu, Sabtu (7/9/2019). Tempat ini digunakan Belanda menampung jamaah haji yang baru pulang dari Arab Saudi.

Dalam buku The Quarantine Station on the Islands of Onrust and Kuiper, Built in 1911 karya Lodewijk J Wagenaar yang menjadi salah satu rujukan sejarawan di Indonesia dalam menelusuri jejak wabah di masa lalu, disebutkan pemerintah Hindia Belanda membuat Rumah Sakit Karantina di Pulau Onrust dan Pulau Kuiper (di beberapa literasi dan warga lokal menyebutnya Pulau Cipir) di Kepulauan Seribu, Jakarta untuk memerangi leptospirosis. Pembangunan rumah sakit ini selesai dikerjakan pada akhir tahun 1911 dan menelan biaya 607.000 gulden.

Pada buku terbitan tahun 1995 tersebut dijelaskan bahwa orang yang baru pulang dari perjalanan mengarungi laut dari luar negeri termasuk yang baru pulang dari ibadah haji di Mekkah, Arab Saudi, diwajibkan diperiksa di Pulau Kuiper sebelum masuk ke pelabuhan Tanjung Priok. Penyemprotan disinfektan di ruang khusus sudah dikenal di masa itu. Setelah melalui lima hari pemeriksaan dan hasilnya positif, orang yang bersangkutan harus melanjutkan karantina dalam waktu lebih lama di Pulau Onrust. Barangsiapa melanggar ketentuan itu akan dihadapkan pada sanksi kerja sosial atau denda yang setara dengan ongkos naik haji.

Pada tahun 1958 Rumah Sakit Karantina di Pulau Onrust dan Pulau Kuiper dipindah ke area dalam Pelabuhan Tanjung Priok. Pada tahun 1994, fasilitas tersebut kembali digeser ke kawasan Sunter dan dalam perkembangannya kini menjadi Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso. RSPI kini tenar setelah menjadi salah satu rujukan utama penanganan pasien positif Covid-19, wabah global baru akibat terinfeksi virus korona baru.

Pekerjaan rumah menata kota 

Yahya dalam penjelasannya mengatakan kesadaran bahwa kawasan yang kumuh tak tertata dengan hunian padat di dalamnya berpotensi menjadi sarang penyakit. Untuk itu, upaya perbaikan perkampungan padat sudah mulai dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda di awal abad ke 20 terkait dengan penanggulangan wabah pes atau sampar dalam sebutan lokal.

"Ada ribuan unit rumah diperbaiki. Di Jawa Timur dilaporkan sampai 553.773 unit, di Jawa Tengah 685.762 unit dan di Jawa Barat 85.404 perbaikan rumah," kata Yahya.

Namun, upaya-upaya itu tidak dilakukan berkesinambungan. Akibatnya sampai sekarang selalu ada isu terkait penataan kawasan kumuh padat. Pemerintah pusat maupun pemerintah kota selama ini dinilai baru mampu menata kota secara terkotak-kotak atau belum menyeluruh saling terintegrasi. Padahal, satu kawasan perkotaan seperti Jakarta ini antar bagian wilayahnya saling terkait. Untuk itu, jika ada sebagian kawasan dengan sistem sanitasi buruk, potensi pencemaran yang berakibat pada gangguan kesehatan bisa berdampak pada warga di area lain bahkan yang berada di kawasan tertata atau mewah sekalipun.

KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI

Budayawan dan Pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra.

Untuk mengatasi sanitasi buruk, lanjut Yahya, pemerintah kolonial cenderung memilih memperbaiki saluran-saluran air yang memungkinkan semua pembuangan segera cepat dialirkan ke hilir, ke Teluk Jakarta.

Sesaat, solusi-solusi seperti ini berhasil baik. Akan tetapi, bentang lahan Jakarta yang sebagian diantaranya berada di bawah permukaan air laut justru mengakibatkan kanal-kanal menjadi genangan besar, terutama saat terjadi pasang laut dan saat banjir di musim hujan. Disentri, muntaber, kolera, malaria, hingga pes terus naik daun bebas menjangkiti warga dengan dukungan lingkungan yang buruk tersebut.

Solusi selanjutnya adalah memindahkan kota ke kawasan yang lebih baik, seperti perpindahan dari kawasan Kota Tua yang dikenal saat ini ke area bukaan baru di Gambir dan sekitarnya, Jakarta Pusat yang kala itu disebut Weltevreden. Upaya meninggalkan kawasan lama yang buruk ke kawasan baru yang lebih menjanjikan dinilai masih diyakini sebagai hal baik sampai sekarang.

Sebagai seorang dokter, Sibroh Malisi menanggapi bahwa dengan pengalaman merasakan penderitaan dan kerugian yang begitu besar selama didera wabah silih berganti, belum memacu warga Ibu Kota dan pemerintahnya berbenah. "Yang dilakukan adalah hal-hal konyol. Begitu wabah hilang, ya kembali hidup tidak sehat. Perilaku sehari-hari juga sama, tidak menjadi lebih higienis," kata dia.

Yang dilakukan adalah hal-hal konyol. Begitu wabah hilang, ya kembali hidup tidak sehat. Perilaku sehari-hari juga sama, tidak menjadi lebih higienis.

Kali ini, kekonyolan masyarakat, kekonyolan pemerintah, yang berarti kekonyolan diri kita sendiri itu, dihadapkan kembali dengan awar-awar baru, pandemi akibat persebaran virus SARS-Cov-2 yang mampu melintasi negara dan benua. Per Rabu (21/4/2020) pagi tercatat total jumlah kasus positif korona di Indonesia ada 7.135 pasien. Ada 842 pasien dinyatakan sembuh dan korban meninggal ada 616 jiwa. Pada hari yang sama, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 2,49 juta jiwa di seluruh dunia terifeksi korona dan lebih dari 170.000 jiwa meninggal.

Covid-19, awar-awar di abad ke 21 ini diharapkan tidak sekedar tercatat dalam sejarah sebagai tambahan satu lagi petaka di Ibu Kota. Melainkan terekam sebagai tonggak pembenahan mendasar di semua aspek kehidupan, menyelamatkan semua lapisan warga, menyelamatkan negara itu sendiri.

Kompas, 22 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger