Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 24 April 2020

Kembali ke Dasar: Refleksi Industri Hiburan Saat Pandemi (SALMAN ARISTO)


KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Salman Aristo, Penulis Naskah, Produser, dan Sutradara Film

Pandemi global ini benar-benar mengelocak semua sendi kehidupan manusia. Terikut di dalamnya industri hiburan, terutama bidang audiovisual.

Ada dua mata tajam pedang yang menghadang: permintaan pasar yang sedang meningkat dan produksi yang terhambat.

Tentu saja karena urat utamanya—shooting—lazim mengumpulkan banyak orang. Sementara pagebluk ini harus dilawan dengan #dirumahaja dan #jagajarak.

Beberapa klauster publik mampu dengan sigap dan cergas menyiasati kesulitan ini. Sekolah bisa dari rumah, kerja pun begitu. Meski banyak yang tergerus, termasuk ekonomi, kita ternyata masih berdaya.

We do not go gently into the good night. Tapi kami, para pembuat cerita audiovisual, seperti kena patil. Bahkan, "jendela-jendela" rumah kami—bioskop—kini terpaksa ditutup dulu.‎

Memang masih ada celah cahaya di rumah kami. Zaman memberi jawaban dengan kecanggihan media daring ataustreaming platform. Kini, orang justru berebut memamah konten, konsekuensi logis akibat waktu di rumah yang sekarang melimpah. Sekitar 30 persen dan terus menanjak berdasarkan informasi kolega di kanal-kanal itu.

Ini berita gembira bagi para pembuat konten. Namun, situasi ternyata tidak selinier cerita-cerita cinta drama romantis. Untuk membuat produk, toh, kami tetap harus shooting. Namun, lumpuh di tengah situasi ramai permintaan, macam pepatah: tikus yang mampus di lumbung padi.

Memang, ada usaha untuk produksi tanpa shooting konvensional, tapi inovasi ini masih tahap uji coba. Masih harus diolah. Realitasnya, banyak proyek batal atau mangkrak. Nasib teman-teman pekerja, terutama yang berkiprah di lapangan, jadi tak pasti.

KOMPAS/DAHONO FITRIANTO

Suasana shooting film Tanah Air Beta di Desa Ponu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Senin (7/12/2009). Menyusul merebaknya pandemi Covid-19, kegiatan produksi film dan sinetron di Tanah Air mandek hingga Mei mendatang.

Hitungan hingga saat ini, sedikitnya 21 judul film layar lebar dihentikan produksinya pada Februari-Mei. Begitu juga ratusan episode sinetron. Sedikitnya 3.000 anggota kru dan pemeran berhenti beraktivitas, padahal pendapatan mereka bersifat harian. Ini data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Problem jangka pendeknya, akan ada periode kekosongan konten baru, yang bakal fatal memukul nadi industri. Ini akan jadi polemik jangka panjang jika pemulihan berlarut-larut, akibat kempisnya pasar karena kevakuman tersebut. Untuk film layar lebar, misalnya, harus ada tahap merayu penonton untuk kembali ke bioskop.

Labirin setan tadi juga menjalar ke wilayah investasi. Banyak pemilik modal atau media network secara berjemaah mengambil sikap menunda sampai proses produksi kembali sehat. Padahal, shooting perlu modal. Sementara modal menunggushooting terlaksana.‎

Saat jawaban para pemangku modal adalah "tunda", muncul satu pertanyaan: "Sampai kapan?" Jawabannya variatif dengan satu urat: tidak pasti. Ini pelan-pelan bikin industri frustrasi karena terpojok, lalu tidak berdaya. Hawa frustrasi mengapung di udara, mengintai lebih berbahaya daripada mikroba.

Ia juga menciptakan gumpalan utang kerja, yang saat situasi kembali normal dan digenjot, akan mengakibatkan kemacetan yang lebih rumit dari arus liar mudik Lebaran.

Infrastruktur industri bisa pingsan. Kebutuhan alat, ketersediaan kru, pemain, dan lainnya akan mencekik tenggorokan kerja kita. Waktu kembalinya investasi pun jadi bertele-tele. Rasa percaya diri terhadap industri makin buruk rapornya.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Proses shooting web series untuk OTT Viu di sebuah mal di kawasan Pondok Labu, Jakarta, Selasa (19/11/2019). Banyak rencana shootingfilm dan proyek audiovisual lainnya tertunda akibat wabah Covid-19.

Mari coba kita runutkan hal yang sepertinya kusut ini. Ini sebenarnya pelik, bukan ruwet. Masih bisa dijabarkan karena ada mekanismenya. Bukan seperti ruwetnya benang basah kusut yang solusinya cuma dibuang.

Kita mulai dari proses pembuatan barang audiovisual. Ada tiga fase, yakni praproduksi, produksi, dan pascaproduksi. Praproduksi berisi pengembangan cerita dan skenario, persiapan perekrutan kru, proses pemilihan pemain, baca naskah, bengkel kerja akting dengan pemain, dan pencarian plus penentuan lokasi.

Ini masih ditambah koordinasi antarsutradara, produser, serta kepala departemen, seperti penata artistik, penata sinematografi, tata kostum, dan lainnya. Tahapan produksi berisi eksekusi yang berbentuk shooting. Lantas.... Sebentar. Kita tahan dulu pascaproduksi.

Bagian praproduksi ternyata banyak. Sementara yang sedang tertahan adalah tahap produksi. Pertanyaannya, apakah betul kita harus menunda semuanya karena tak bisa shooting? Apakah tahap praproduksi tidak bisa ditaklukkan dengan metode remote working atau WFH (work from home)?

Saat kami coba bermanuver mengerjakan praproduksi, ternyata hampir separuhnya bisa dikerjakan jarak jauh. Kami, Wahana Kreator dan beberapa rekan produser lain, saat ini tengah melakukannya.

Pengembangan cerita untuk serial tetap bisa seru dalam rapat-rapat via video. Pembacaan naskah layar lebar juga bisa kami rutinkan. Pembahasan jadwal, warna film, suara, busana, dan lainnya tetap bisa maksimal. Satu yang tetap terganjal, pencarian lokasi. Tidak tertutup sepenuhnya karena masih ada fasilitas Google Earth dan lainnya.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Proses diskusi untuk pembuatan dokumenter di Kantor Wahana Kreator Nusantara, Jakarta, Senin (18/11/2019).

Hal-hal di atas sudah lebih dulu dikerjakan oleh para pelaku industri mapan. Lebih tepatnya, industrinya jadi mapan karena pelakunya punya kesadaran mendasar secara konsisten dan kompak. Contoh paling mutakhir yang saya temukan: serial Big Mouthdan Grace and Frankie yang melakukan live reading dan bisa ditonton orang.

Saya sayup-sayup mendengar pertanyaan "Sampai kapan...?" bergaung untuk manuver tadi. Tentu saja, jawabannya sama: tidak pasti. Namun, yang penting, proyek bisa bergerak. Daya tidak mandek. Kerja tetap punya hasil.

Moral positif tumbuh gembira dan industri tetap bergairah. Awan frustrasi bisa ditiup jauh-jauh dan ketika produksi kembali nyala, gerak industri bisa tertib, tidak bergerombol macam serigala lapar lepas kandang.

Ada pola tak bijak yang selama ini rutin dilakukan industri kita: tergesa-gesa di masa persiapan, terutama tahapan skenario.

Sebenarnya ada fakta unik, yakni bahkan tanpa hadirnya pandemi, proses praproduksi sebenarnya butuh porsi waktu cukup besar, lebih lama dari proses shooting. Semua pegiat industri audiovisual khatam soal ini.

Korona mampir atau tidak, shootingsebuah proyek baru tidak mungkin langsung dilakukan esok harinya, bulan depan, atau tiga bulan.... Saya harus berhenti di situ. Kenapa? Karena ada pola tak bijak yang selama ini rutin dilakukan industri kita: tergesa-gesa di masa persiapan, terutama tahapan skenario.

Kami sudah berjalan sebagai perusahaan pengembangan naskah lebih dari 10 tahun. Selama itu, terus berhadapan dengan permintaan mengerjakan skenario, baik layar lebar maupun serial, dalam waktu cingkrang.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Suasana workshop pembuatan film yang digelar Kinosaurus di kawasan Kemang, Jakarta, Sabtu (23/11/2019). Naskah menjadi salah satu faktor kunci kualitas film.

Kebiasaan ini yang membuat (seolah-olah) yang paling penting itu produksi. Bahasa kadalnya, proses pengembangan dan penulisan skenario serta persiapan lainnya digampangkan.

Padahal, proses persiapan harus proporsional. Ibarat memasak telur orak-arik selama satu jam yang sia-sia atau memasak rendang selesai dalam waktu sejam yang sama konyolnya.

Kematangan yang dibutuhkan, bukan sekadar jawaban elakan, "Persiapan tidak perlu panjang dan lain-lainnya". Terburu dan tergesa tidak ada hitungan waktunya. Sementara ongkosnya adalah absennya kedalaman berpikir.

Ada bonus yang amat menyenangkan ketika, misalnya, naskah sebuah proyek rampung saat hilal produksi belum terbit sehingga ada kemungkinan berkarya di medium lain.

Satu produk kami dari drama podcastsaat ini sedang alih wahana menjadi serial. Ini jelas bisa menyelamatkan investasi para pemodal. Mereka tetap bisa punya kesempatan menangguk manfaat dari bidang yang, bisa jadi, sebenarnya amat mereka cintai.

Ada rekan yang punya modal lebih sedang membangun streaming media-nya sendiri karena bisa mengulik kesiapan proses praproduksi. Artinya, banyak sekali manfaat didapat jika kita berkutat dan menguat di tahapan sebelum produksi.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Sophia Latjuba bersama putrinya, Eva Celia, sutradara Fajar Nugros (kiri) dan aktor Adipati Dolken (kanan), berfoto dalam syukuran praproduksi film Adriana di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, Rabu (22/5/2013). Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran bahwa proses praproduksi film perlu digarap lebih komprehensif.

Ini mungkin yang sedang alam minta. Kembali ke dasar, ke awal. Matangkan proses persiapan berkarya. Tidak terburu-buru lagi. Konkretnya, kita mulai praproduksi karya-karya baru yang lebih komprehensif, dengan kepercayaan diri lebih tinggi.

Semua ini akan membuat kita bisa melenting dengan kekuatan tiga kali lipat lebih besar daripada tiwikramanya Kresna. Mari, matangkan fondasi pijak dalam bekerja dan berkarya. Jangan jawab ini dengan "kita tunda dulu". Demi pemberdayaan bersama.

Salman Aristo, Penulis Naskah, Produser, dan Sutradara Film

Kompas, 21 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger