Hari ini, Romo Ageng khotbah. Ia tidak ngobrol seperti biasanya. Biasanya, ia ngobrol ngalor-ngidul, bicara segala macam hal mulai dari soal wayang hingga situasi politik zaman kiwari, dari soal harga-harga kebutuhan pokok hingga kondisi sosial ekonomi masyarakat, dari soal agama hingga terorisme. Akan tetapi, kalau khotbah ia sangat fokus pada satu hal.
Apakah kalian semua tahu siapa Joseph Ernest Renan? Begitu, ia mengawali khotbahnya. Mungkin orang lebih biasa dengan sebutan Ernest Renan, tidak pakai Joseph. Tokoh inilah yang disebut-sebut Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945. Ketika itu, Bung Karno, orator ulung negeri ini yang belum ada tandingannya, dengan gayanya yang begitu kharismatik, suara menggelegar, bertenaga, dan memukau menyampaikan pidato yang sangat monumental. Pidato inilah yang mengiringi lahirnya Pancasila.
Pidato itu disampaikan di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Kementerian Luar Negeri) dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pidato itu disampaikan untuk menjawab pertanyaan Ketua Sidang Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat mengenai dasar negara Indonesia. Pada kesempatan itulah, Bung Karno mengutip pendapat Ernest Renan (1823-1892), seorang sastrawan, filolog, filsuf, dan sejarawan dari Perancis.
Pada waktu itu, kata Romo Ageng, Bung Karno mengatakan dengan mengutip pendapat Renan: syaratnya bangsa adalah 'kehendak untuk bersatu'. Orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Renan menyebutnya, le desir d'etre ensemble, yakni kehendak untuk bersatu.
Bung Karno masih mengatakan, mengutip Renan, orang-orang perlu merasa diri bersatu dan mau bersatu. Bangsa adalah satu jiwa, une nation est un ame. Selain itu, une nation est un grand solidarité, satu bangsa adalah satu solidariteit (rasa kesetiakawanan) yang besar (Daniel Dhakidae, ed. dalam HS Dillon dan Idham Samudra Bey: 2013).
Niat dan semangat untuk bersatu itu, sudah lama muncul. Meskipun, pada mulanya menurut istilah Yudi Latif (2011) masih terkungkung dalam komunitas-komunitas berbasis etno-religius dan kelas sosial yang bersifat lokal dan fragmentaris. Misalnya, Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1912), Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Roekoen (1919), Jong Bataks Bond (1925) dan Jong Islamieten Bond (1925). Namun, kemudian mulai mempertautkan diri ke dalam komunitas politik impian yang bersifat lintas-kultural, bernama Indonesia.
Pada tahun 1928, terjadi terobosan besar. Ketika itu, kaum muda melepaskan belenggu etno-religius dan kelas sosial yang bersifat lokal dan fragmentaris dengan penuh kesadaran. Mereka menemukan komitmen kebangsaan baru: Kebangsaan Indonesia. Pendek kata, komitmen kebangsaan inilah yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda.
Sebelum digelar Kongres Sumpah Pemuda II—Kongres Pemuda I dilaksanakan 30 April-2 Mei 1926 di Batavia—dua bulan sebelumnya, 30 Agustus-2 September 1928, di Surabaya atas gagasan Bung Karno diadakan Kongres Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Peserta kongres adalah partai-partai politik berasas kebangsaan. Semangat yang menggelora dalam kongres telah membakar para pemuda untuk menggelar Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928, di Batavia (Jakarta).
Di dalam kongres inilah—hari pertama, kongres menempati Gedung Katholikee Jongelingen Bond atau Gedung Pemuda Katolik (gedung tersebut kini ditempati yayasan pendidikan Santa Ursula, di belakang kompleks Katedral), dan hari kedua diadakan di Gedung Oost Java Bioscoop (terletak di Jalan Medan Merdeka Utara, tidak jauh dari Istana Negara dan Mahkamah Agung)—para pemuda bersumpah, menjadi satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yakni Indonesia.
Bukankah Sumpah Pemuda adalah peristiwa yang luar biasa? Ketika itu, para pemuda—tak peduli dari masa asalnya, sukunya apa, etnisnya apa, agamanya apa, bahasanya apa, warna kulitnya apa, tak peduli jenis gendernya, bentuk rambutnya apa, dan aneka perbedaan lain—bersatu padu, mengikrarkan diri menjadi satu. Benar yang dikatakan oleh Renan bahwa adanya le desir d'etre ensemble, kehendak untuk bersatu, yang telah melahirkan bangsa ini.
Hal tersebut, jauh waktu sebelumnya di negeri ini, sudah dirumuskan oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasomasebagai Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharmma Mangrwa, berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua. "Semua kebenaran adalah satu, semua realitas adalah satu," begitu kata Bunda Teresa.
Kehendak untuk bersatu itu telah mempertemukan nilai-nilai, kepentingan, dan cita-cita bersama serta menyingkirkan kepentingan-kepentingan bernuansa kesukuan, keetnisan, keagamaan, kebudayaan, kedaerahan, dan sebagainya yang memecah-belah. Semua menyatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan UUD 1945 sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai ideologi negara.
Nah, kini kebersamaan kita sebagai bangsa dan negara sedang diuji dengan adanya pandemi Covid-19. Di tengah ujian itu, muncul pertanyaan, apakah ingatan bersama atau ada yang menyebutnya sebagai ingatan kolektif tentang bagaimana bangsa ini "bersatu kata, bersatu kehendak, bersatu niat, bersatu tekad, dan bersatu cita-cita" untuk mendirikan satu negara, sudah hilang atau masih hidup dan masih kuat atau sebaliknya?
Ingatan bersama atau ingatan kolektif, secara mudah dapat diartikan sebagai hubungan antara keadaan di masa sekarang, dan ingatan atas masa lalu. Dengan begitu, ingatan kolektif dapat dimengerti sebagai rekonstruksi sosial atas masa lalu dari sudut pandang masa kini. Ingatan bersama atau ingatan kolektif sebagai suatu bangsa akan menjadi kekuatan untuk menghadapi berbagai tantangan saat ini dan juga di masa depan.
Tentu yang perlu terus diperlihara dan dijadikan modalitas untuk mempertahankan negara kesatuan ini adalah ingatan kolektif, ingatan bersama yang memperkokoh, yang menjadi tonggak-tonggak atau fondasi berdirinya negara. Sehingga dengan demikian, kesadaran sebagai bangsa dikuatkan dan kesatuan dalam kebinekaan pun diteguhkan.
Memang ada yang mengatakan, "Ah, semua itu adalah masa lalu." Memang, ingatan bersama adalah ingatan akan masa lalu. Dan, itu berarti sudah berlalu. Benar, sudah berlalu. Akan tetapi, harus diakui yang sudah berlalu itu tetap hidup sebagai jejak-jejak peristiwa sejarah bangsa ini yang tidak boleh dilupakan atau dihapus begitu saja.
Historia vero testis temporum, lux veritatis, vitae memoria, magistra vitae, et nuntia vetustatis, sejarah adalah saksi zaman, cahaya kebenaran, kenangan akan hidup, guru kehidupan, dan pesan dari masa lalu. Begitu menurut kata-kata bijak, yang harus selalu kita ingat.
Dengan demikian, berarti bahwa masa lalu ada di masa kini. Masa lalu, hidup dalam diri kita masing-masing, hidup dalam diri bangsa ini. Tidak mungkin dilupakan, dibuang begitu proses sejarah perjalanan bangsa ini menjadi; menjadi sebuah bangsa bernama Indonesia.
Tetapi, harus diakui bahwa di saat kesatuan, kebersatuan, dan semangat kebangsaan ini tengah menghadapi tantangan berat dan sulit sekarang ini, tetap masih ada yang mencari untung sendiri, yang memanfaatkan situasi kegawatan untuk kepentingan diri atau kelompoknya, atau golongannya, atau partainya.
Mereka tidak menghargai daya-upaya berbagai pihak, berbagai kalangan, berbagai strata masyarakat yang terus berusaha menumbuhkan kebersatuan, kebersamaan dalam menghadapi situasi kritis. Mereka mengabaikan atau bahkan tidak memedulikan aturan-aturan yang merupakan kebijakan politik pemerintah untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran karena meluasnya pandemi Covid-19.
Bahkan, mereka berusaha mencari-cari kesalahan, kelemahan pihak lain—terutama pemerintah—dan meneriakkan keras-keras, bukan sebaliknya, mendukung untuk bersama-sama mengatasi persoalan. Mereka lupa bahwa seperti pepatah mengatakan, bonum quod est supprimitur, numquam extinguitur, apa yang baik bisa ditekan tetapi tidak akan lenyap.
Ketika khotbahnya mulai menyinggung tentang mereka yang berusaha secara sadar membuang semangat kebersamaan, semangat gotong-royong, semangat kepatuhan, dan kesetiakawanan di tengah krisis ini, untuk digantikan oleh egoisme pribadi, kelompok, golongan, dan juga partai serta memburu popularitas diri, Romo Ageng tiba-tiba diam. Ia memejamkan matanya. Menarik napas panjang. Khotbahnya pun berakhir, sebelum waktunya.
Lalu, ia berdiri dari tempat duduknya. Melangkah pelan-pelan sambil menundukkan kepala, menuju ke sebuah kamar khusus. Romo Ageng pernah bercerita bahwa di kamar itulah, menurut bahasanya, ia "menghilangkah aku untuk menemukan Sang AKU."
Persis sebelum memasuki kamar itu, samar-samar masih terdengar Romo Ageng berguman sangat lirih seperti berbisik pada diri sendiri, "Sun réwangi apati geni, manjing in Alas Ketangga," aku rela untuk tidak makan tidak minum, masuk dan mendengarkan getaran hati dan jiwa; untuk mencari Sang AKU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar