Perilaku dasar masyarakat kita, terutama masyarakat pedesaan dalam mengakses bahan pangan telah banyak mengalami perubahan. Bila sebelumnya bahan pangan diambil dari pekarangan, kebun atau sawah sendiri, saat ini masyarakat desa ingin yang serba instan: beli.
Tidak heran bila tukang sayur keliling sekarang tidak saja tumbuh subur di kota-kota, tapi juga di pedesaan. Perilaku masyarakat modern yang ingin serba praktis ternyata juga mendorong pemenuhan kebutuhan pangan yang juga serba ingin mudah.
Masyarakat tidak lagi cukup sabar untuk menanam bahan pangan lokal sendiri. Mereka cukup sedia uang, dan menunggu kedatangan tukang sayur.
Di desa-desa sekarang, tanaman singkong, umbi-umbian, sayur dan buah sudah mulai jarang kita temui. Berganti menjadi tanaman keras, tanaman tahunan. Sebagian lahan malah dijual untuk modal berangkat mengadu nasib menjadi pekerja di negara lain.
Data Kementerian Pertanian (2014-2018), luas tanam singkong turun dari 1,003 juta hektar menjadi 792.952 hektar. Luas tanam umbi jalar dari 156.758 hektar jadi 106.226 hektar.
Melihat data tersebut, sejatinya cara pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat desa, saat ini sudah sama dengan masyarakat kota. Yang membedakan hanya soal daya beli dan harga jual.
Dalam situasi pandemi Covid -19, perubahan perilaku dasar dalam mengakses sumber bahan pangan masyarakat yang "serba beli", tentu akan sangat memengaruhi ketahanan pangan nasional.
Seberapa serius dampak pandemi Covid -19 terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat kita? Dan, bagaimana solusi nyata tanggap daruratnya yang harus dilakukan?
Tanpa menjalankan strategi dan langkah tanggap darurat pangan yang nyata, bukan tidak mungkin dampak pandemi Covid -19 bakal memicu ancaman kelaparan nasional.
Bukan akibat kurangnya stok pangan, atau gangguan logistik dan distribusi, tapi akibat masyarakat yang tidak sanggup lagi membeli bahan pangan.
Sinyal kuat
Terlebih lagi, Presiden Joko Widodo sempat memprediksi pandemi Covid -19 baru akan berakhir pada akhir 2020.
Di lain sisi, sejumlah pengusaha juga memberi sinyal bahwa kemampuan keuangan perusahaan mereka untuk bertahan di tengah badai Covid -19 maksimal enam bulan ke depan.
Apa artinya? Bila kondisi terus seperti ini, akan terjadi gelombang PHK besar-besaran, setidaknya mulai enam bulan ke depan atau sekitar Oktober 2020.
Bagaimana dengan sektor UMKM dan pekerja informal? Berbeda dengan krisis ekonomi 1998, di mana sektor UMKM bisa bertahan dan bisa menjadi tumpuan ekonomi, kondisi itu tidak terjadi saat ini.
Sektor UMKM justru kini lebih dulu terpukul. Kemampuan keuangan pengusaha UMKM dalam kondisi sekarang hanya mampu bertahan dua hingga tiga bulan untuk menanggung gaji karyawan. Lebih lama dari itu kiranya akan sulit.
Sungguh ini bukan kondisi yang menggembirakan, kalau tidak mau menyebut situasinya buruk.
Belum lagi, pada bulan-bulan Oktober 2020 - Februari 2021 sebagian besar petani masuk musim paceklik. Musim kemarau menyebabkan pasokan air irigasi terhenti, dan petani berhenti berproduksi.
Kembali ke soal akses masyarakat terhadap bahan pangan, bagaimana masyarakat akan mampu membeli bahan pangan di tengah situasi masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan?
Di sisi lain, faktanya telah terjadi perubahan yang meluas terkait perilaku masyarakat desa dalam mengakses bahan pangan.
Belum pernah terjadi
Situasi serumit ini, bila ditanyakan ke banyak pihak belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Krisis ini akan berbeda dengan krisis finansial biasa. Dengan demikian, perlu upaya-upaya cerdas, dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat di tengah pandemi korona.
Perlu upaya-upaya cerdas, dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat di tengah pandemi korona.
Langkah dan kebijakan pangan Kementerian Pertanian yang business as usual, seperti jaminan ketersediaan pangan, stabilitas pasokan dan jaminan harga saja tidak cukup. Entah itu pemenuhan stoknya dari lokal atau impor.
Karena faktor-faktor yang memengaruhinya sekarang lebih kompleks, bukan semata soal ketersediaan dan harga, tapi terutama soal daya beli yang turun drastis, bahkan bisa mencapai Rp 0.
Ada baiknya, Pemerintah mulai menggerakkan pengembangan pangan lokal berbasis rumah tangga, dengan memanfaatkan teras, lahan pekarangan, kebun, hingga tegalan, tanah telantar dan sawah dengan berbagai model sistem budidaya.
Mengacu data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, luas tanah telantar yang teridentifikasi 2.055.088 hektar. Belum lahan pekarangan, kebun, tegalan dan lahan non produktif lain.
Prioritaskan untuk tanaman pangan yang cepat berproduksi dan bisa cepat dipetik hasilnya. Ambil contoh, tanaman sayuran usia pendek, umbi-umbian atau singkong.
Gerakan tanam umbi-umbian, singkong, sayur dan buah ini harus dilakukan secara masif. Gerakan tanam harus digelorakan di seluruh pelosok Nusantara, di semua kondisi lahan, juga di pinggir-pinggir sungai, jaringan irigasi dan di manapun yang ada lahan kosong.
Pemerintah harus tampil di depan. Memastikan ketersediaan benih, dalam jumlah yang besar tentunya.
Bahan pangan berbasis umbi-umbian, singkong, sayuran, dan buah adalah yang paling mudah dibudidayakan, murah dan bisa cepat berproduksi.
Bahan pangan lokal itu dapat pula menjadi cadangan pangan di saat masyarakat desa dan kota, mengalami krisis pendapatan, pangan dan kesehatan secara serempak dan berpotensi makan waktu lama.
Pangan-pangan lokal itu bisa diakses gratis nantinya, saat kondisi masyarakat sudah benar-benar tak berdaya.
Indonesia beda dengan AS. AS mempunyai dana cukup untuk memberi jaminan makanan pada rakyatnya.
Kebijakan pangan AS bisa dilakukan dengan menggelontorkan bantuan senilai 19 miliar dollar AS pada petani, peternak dan akses pangan pada warganya, sesuai perintah Presiden Donald Trump. Kekuatan keuangan Negara kita jauh di bawah AS.
Sudah saatnya kita bahu-membahu. Ini ancaman besar, serius dan nyata. Energi para politisi sebaiknya diarahkan ke sana, untuk menggelorakan gerakan tanam, dan kurangi dulu syahwat kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar