Bulan Juni kali ini punya "keramat" tersendiri. Perhitungannya istimewa. Menjelma menjadi memori dan ingatan penting bahwa kebudayaan bukan untuk dipermainkan.
Tepat menjelang 75 tahun Indonesia merdeka, umur Pancasila pun memasuki usia yang sama, yaitu 75 tahun. Di bulan Juni 2020 ini, lambang Garuda yang disahkan pada sebelas Februari menginjak usia 70 tahun. Dan pada dua puluh satu Juni 2020, kita memperingati 50 tahun meninggalnya presiden pertama RI, Ir Soekarno.
Jadi, ada tiga angka yang saling terkoneksi: 7, 5, dan 0. Jika memakai ilmu otak-otik gathuk, angka 7 bisa berarti simbolisasi jumlah presiden Indonesia. Sementara angka 5 adalah jumlah pasal dasar negara RI yang diakui sampai saat ini. Adapun angka 0 bisa berarti macam-macam, tergantung dari mana posisi Anda. Saya tak ingin memastikannya.
Mungkin terasa serba kebetulan, ya? Tapi, mari kita telusuri opini saya di bawah ini.
Jika bulan Juni diingat sebagai "Bulan Bung Karno", itu sah adanya. Sebab, bicara tentang Bung Karno artinya sama dengan bicara tentang Indonesia. Indonesia jelas bukan berasal dari warisan keluarga atau dinasti. Indonesia terbentuk dari hasil perjuangan berdarah-darah yang dirakit berkat kerja sama dan ide brilian banyak orang. Dari sinilah sekelompok suku bangsa dan sejumlah agama bersepakat menjadi satu. Memadu diri menjadi sebuah bangsa yang lebih besar dan bermartabat.
Jika bulan Juni diingat sebagai "Bulan Bung Karno", itu sah adanya. Sebab, bicara tentang Bung Karno artinya sama dengan bicara tentang Indonesia.
Salah satu di antaranya adalah Bung Karno. Sosok ini menjadi teladan penting, utamanya dalam khazanah sejarah perjuangan kemerdekaan hingga di paruh pertama abad ke-20. Selain sebagai pejuang, politikus, dan akhirnya menjadi presiden perdana, Bung Karno juga seorang budayawan. Lebih tepatnya adalah seorang pencinta seni.
Bung Karno sebagai patron
Selama menjabat sebagai presiden, Bung Karno tidak pernah melewatkan kesempatan untuk dekat dengan seni. Entah saat di Istana, di luar, ataupun berkunjung ke negara lain. Setiap pertemuan yang berurusan ekonomi dan politik sekalipun dipakainya pula untuk mempromosikan budaya Nusantara. Bukti mengenai hal ini luar biasa banyak.
Di luar perkara sebagai promotor dan komunikator budaya, ia juga sebagai arsitek bangsa. Cara berpikirnya mirip kerja kurator seni dalam mengelola negara. Ia mengimajinasikan Indonesia sebagai galeri ataupun kanvas yang siap dikelola. Termasuk karya seni—tradisi ataupun modern—dipakai sebagai peranti/penanda ruang dan waktu: monumen kota, wilayah, dan peristiwa.
Pikirannya tiga dimensional, yaitu menghormati adab, kebaikan, dan keindahan.
Pikirannya tiga dimensional, yaitu menghormati adab, kebaikan, dan keindahan.
Maklum saja, Bung Karno memanifestasikan seni tidak sebagai sebentuk hasil (peradaban) semata, tetapi juga sebagai strategi. Artinya proses juga dipikirkan sebagai sarana mengenali diri, sekaligus pembentukan citra dan jati diri bangsa. Maka di kala republik ini masih sangat belia, pidato-pidatonya menjadi sarana berproses.
Foto-foto dirinya menjadi "pendingin" suasana rumah, pemberi keyakinan akan kemerdekaan, sekaligus penanda perjuangan nasional bagi pemasangnya. Di tengah kondisi serba kekurangan dan kelaparan, ia mampu menghibur sekaligus terus menyemangati jiwa rakyat untuk menuju hasil akhir: bangsa yang berdaulat dan sejahtera.
Rekreasi seni
Sebagai manusia, ia juga butuh rileksasi dan rekreasi. Rileks baginya adalah "bersama seniman dan karya seni". Bung Karno bukanlah tipe manusia yang suka rekreasi ke suatu tempat, lalu bermalasan atau diam bermanja ria. Dalam setiap kunjungannya ke mana saja, hal yang harus ditandai dari sejumlah foto adalah kebersamaannya dengan seniman.
Salah satu pelukis yang sangat dekat adalah Dullah, yang diangkatnya sebagai pelukis Istana pada 1950-1960. Kedekatan mereka lahir batin. Seperti kesaksian Dullah dalam bukunya Bung Karno: Pemimpin, Presiden, Seniman (2019), yang menulis untuk istrinya sebagai berikut.
Kadang-kadang saat hanya berempat dengan Mega saja. Malahan kalau kebetulan sedang melukis, makan siangnya pun hanya di studio, bukan di ruang makan biasanya. Kau ingat, waktu itu di studio. Mega yang masih kanak-kanak itu pada waktu mau mulai makan nyeletuk kepada Bung Karno, "Idiiih, Bapak tidak malu."
"Opo, nduk?" tanya Bung Karno.
"Ada Bu Dullah, Bapak kok cuma pakai celana kolor aja." Bung Karno ketawa terbahak-bahak dan menjawab, "Bu Dullah sama Pak Dullah kan lain. Kau belum lahir, Bapak sudah sama Pak Dullah Bu Dullah. Jadi sudah bukan orang lain lagi."
Keakraban dan makan pakai kolor di studio lukis pun bagian dari rileksasi baginya. Bahkan bila acara kenegaraan belum atau usai dilaksanakan, tidak jarang ia memanggil seniman ke Istana. Bahkan justru ia yang mendatangi studio seniman atau nontonpameran hanya untuk ngobrol. Selebihnya, rileks memandangi, memeriksa, membenahi, dan mengganti pigura lukisan di Istana jadi hiburan yang sangat berarti baginya.
Dalam setiap kunjungannya ke mana saja, hal yang harus ditandai dari sejumlah foto adalah kebersamaannya dengan seniman.
Ia menyadari bahwa karya seni bersifat abadi, jauh lebih panjang usianya daripada manusia. Untuk itulah Bung Karno selalu menyuguhkan seni Indonesia sebagai bagian dari citra bangsanya.
Bung Karno dan seniman
Bersama seniman bisa ditautkan dalam dua agenda: formal dan nonformal. Secara formal berurusan dengan agenda kenegaraan. Hal ini seringkali terkait dengan urusan perjuangan dan promosi kebudayaan ke luar negeri. Sekaligus untuk memberi dukungan formal sebagai kepala negara dalam setiap agenda budaya di dalam negeri, termasuk menunjuk pelukis Henk Ngantung sebagai Gubernur DKI pada 1964.
Adapun dalam urusan nonformal tentu terkait dengan kebutuhan individunya, baik sebagai kolektor maupun seniman. Kedua agenda ini terkadang sering dilakukan bersamaan guna berbagai kebutuhan, termasuk untuk mengoleksi lukisan. Soekarno merasa kesepian tanpa ditemani pelukis. Inilah alasan ia mengangkat pelukis Istana selama menjabat sebagai presiden.
Soekarno merasa kesepian tanpa ditemani pelukis. Inilah alasan ia mengangkat pelukis Istana selama menjabat sebagai presiden.
Dekat dengan seniman adalah katarsis bagi Bung Karno. Sifat-sifat kesenimanannya yang terkadang sulit dibendung akhirnya dilimpahkan kepada para pelukis dan lukisan. "Inilah hakikat bahwa jiwa seniman memang lebih peka daripada yang bukan seniman," kata Dullah dalam bukunya.
Sebaliknya, seniman pula yang menanggung haru apabila melihat sesuatu yang bagi orang lain tidak menimbulkan kesan apa-apa. Seniman di mana-mana bisa mendapatkan kebahagian batin. Karena itulah, meskipun nyaris tiada waktu bagi seorang presiden, Bung Karno punya kreativitas tersendiri untuk menyeimbangkan diri dan menikmati kebahagiaan.
Aset sejarah-ekonomi
Periwayatan Bung Karno baik sebagai politikus, presiden, maupun seniman dapat dimanfaatkan sebagai aset yang berharga. Ratusan pustaka yang telah terbit selama ini, baik yang ditulisnya sendiri maupun oleh orang lain, menandai keberadaannya. Dalam khazanah sejarah, arsip pidato, tulisan, lukisan, karikatur, serta tuturan dan kisah yang menjadi bagian dari Bung Karno memiliki nilai yang luar biasa. Tepatnya sebagai warisan bernilai tak-benda (intangible heritage).
Dalam konteks penilaian aset, aspek sejarah menjadi salah satu tulang punggung penting di dalamnya. Jika sebuah warisan memiliki periwayatan yang berkualitas dan penting bagi publik, tentu memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Lalu, bagaimana "menjual"-nya? Salah satunya tentu dengan menjadikan topik atau kurasi dalam berbagai program yang intensif, di antaranya dapat berupa pameran yang berdimensi sejarah, yang dikemas secara global.
Melalui Bung Karno, citra Indonesia dapat dibayangkan sekaligus dipantulkan. Bukan saja membayangkan Indonesia hanya dalam khazanah sumber daya alam untuk dijual, tetapi negara juga perlu melakukan tindakan strategis untuk menglobalkan (menjual) kisah-kisah sejarah salah satu orang paling berjasa di negeri ini.
Jadi, bulan Juni bukan lagi perkara hujan, merunut salah satu penyair kita, tetapi lebih tentang kepatuhan dan rasa hormat kita kepada pahlawan bangsa. Selebihnya tinggal memanfaatkannya sebagai aset budaya tak benda yang layak "jual". Jika masih belum mampu, bisa jadi budaya kita masih berada di titik nol. Harganya bisa ditaksir masih Rp 0.
(Mikke Susanto; Kurator Seni, Staf Pengajar ISI Yogyakarta)
Kompas, 30 Mei 2020
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar