Teriakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tentang China tidak akan memiliki dampak apa pun. Tidak semua pihak di AS dan dunia setuju dengan pendekatan Trump terhadap China. Teriakan-teriakan Trump ini akan sebatas ucapan semata. China sedang dalam posisi kuat secara ekonomi dan relatif tidak memiliki masalah dengan dunia.
Namun, untuk memperkuat basis serangannya terhadap China, Trump memang terkesan sedang mengajak banyak negara di dunia untuk bersatu melawan China. Trump menyudutkan China tentang Covid-19 yang dia katakan telah menyebabkan banyak negara sengsara karena China tidak transparan soal perkembangan Covid-19.
Terkait hal itu, Trump mengatakan, Inggris, Australia, dan AS sendiri sengsara. Dunia tertawa karena kasus Covid-19 di AS terbesar dan tidak ada negara yang mendekati krisis Covid-19 di AS.
Ketika Trump mendaulat bahwa Covid-19 adalah buatan manusia di laboratorium China di Wuhan, tidak banyak yang mendengar. Ahli virus AS, Dr Anthony Fauci, sendiri tidak percaya isu yang diangkat Trump ini. "Ada bukti kuat virus ini bukan buatan manusia," kata Fauci, yang juga menjabat sebagai Direktur The US National Institute of Allergy and Infectious Diseases dalam percakapan dengan National Geographic.
Trump mencoba masuk lewat isu lain lagi. Trump mendaulat bahwa dia telah berbicara dengan Perdana Menteri India Narendra Modi. Menurut Trump, PM Modi tidak puas soal sengketa perbatasan India dengan China. Jika India meminta tolong soal isu ini, "Saya akan membantu. India suka kepada saya," kata Trump.
Pernyataan Trump ini mental dengan sendirinya dengan komentar dari juru bicara (jubir) Kementerian Luar Negeri India, Anurag Srivastava. "Kami sudah memiliki mekanisme pembahasan soal isu ini dengan China untuk membahasnya secara damai," kata Srivastava, seperti dikutip The Times of India, 29 Mei 2020. Jubir Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, juga mengatakan, China bersama India telah memiliki mekanisme yang baik untuk menyelesaikan isu ini lewat konsultasi dan dialog.
Pada 28 Mei, pada tajuk harian berbahasa Inggris China, The Global Times dituliskan, "Dua negara agar tetap waspada dengan AS, yang mengekspolitasi setiap kesempatan untuk mengacaukan perdamaian dan ketertiban kawasan. India dan China tidak membutuhkan pertolongan AS."
Satu isu lagi yang rawan untuk dimainkan guna menekan China, yakni masalah Laut China Selatan. Namun, sepanjang China tidak memprovokasi negara-negara yang turut bersengketa di Laut China Selatan, salah satu isu yang rawan dalam relasi internasional China, posisi internasional China relatif aman. Menlu China Wang Yi mengatakan, diskusi China dan ASEAN soal Laut China selatan tidak akan terganggu pihak luar, seperti diberitakan kantor berita Xinhua, 24 Mei.
Hanya saja, China menilai Trump akan menyeret isu Laut China Selatan. Soal ini jubir Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, pada 7 April 2020, seperti diberitakan CGTN (China Global Television Network), China dan ASEAN juga memiliki mekanisme tersendiri untuk membahasnya.
Semakin berisik
Meski demikian Trump semakin berisik. Dalam pernyataannya, Jumat (29/5/2020) di Washington, dia kembali menyudutkan China lewat berbagai alasan. Dia ungkapkan lagi soal China yang merampas kemakmuran AS, soal pencurian teknologi AS oleh China, hingga isu Hong Kong.
Soal Hong Kong, Trump berang karena parlemen China menyetujui draf keamanan nasional terkait soal tuntutan demokrasi di Hong Kong yang heboh. Draf tersebut mengancam pencabutan status semi otonomi Hong Kong jika terus kisruh. Bagi China, tindakan ini bukan hendak menindas Hong Kong tetapi bertujuan melawan AS, yang mencampuri urusan China dan segala wilayahnya.
Atas draf itu, Trump mengatakan AS akan mengambil langkah termasuk melarang warga dari China memasuki AS dan memberikan sanksi pada para pejabat China dan Hong Kong jika memiliki peran melemahkan demokrasi di Hongkong.
"AS-China sedang dalam krisis penuh," kata Richard Fontaine, CEO Center for a New American Security mengomentari serangan terbaru Trump atas China. "Kita telah membanting fondasi," katanya. Akan tetapi, Fontaine mengatakan China akan membalas setiap langkah AS.
Hongkong adalah urusan China dan tidak banyak yang bisa dilakukan AS, termasuk Inggris soal itu. Chad Bown, peneliti senior dari The Peterson Institute for International Economics mengatakan, langkah Trump soal Hongkong tidak memiliki efek besar.
Sebelum pernyataan Trump soal Hong Kong ini, jubir Kementerian Luar Negeri China, Zhao mengatakan AS sangat berkepentingan dengan ketenangan Hongkong. Zhao mengatakan ada 85.000 warga AS di Hongkong. AS juga memiliki 1.300 perusahaan, dan 300 perusahaan AS memiliki markas di Hongkong, serta 400 perusahaan AS memiliki kantor regional di Hongkong.
Zhao mengingatkan, kepentingan AS di Hong Kong ini akan menjadi taruhan jika AS mencampuri urusan Hongkong.
Trump "mainkan" China
Mengapa semua ini? Mengapa Trump terus memainkan isu China, yang tidak pernah berhenti sejak 2016? Susan E Rice, Penasihat Keamanan Nasional AS (2013 – 2017) dan mantan Dubes AS di PBB memberikan penjelasan lewat tulisannya di harian di The New York Times, 19 Mei.
"Trump akan memanfaatkan isu China dengan alasan pemilu 2020 sudah mendekat," kata Rice. Hal ini merupakan pengulangan dari apa yang juga pernah dilakukan Bill Clinton pada 1992 saat menyerang Presiden George HW Bush dengan memanfaatkan isu China.
Hal serupa dimanfaatkan Trump pada 2016 dengan menyerang Presiden Obama terkait kebijakan China. Isu ini akan semakin digaungkan oleh Trump. Dengan kegagalan domestik termasuk soal penanganan Covid-19, strategi Republikan, paling manjur adalah memainkan isu China. "Tetapi siapa yang mempercayai dia?" demikian Rice mempertanyakan strategi Trump, yang Republikan.
Rice mempertanyakan itu terkait sikap Trump yang menyudutkan media domestik, menjauhkan AS dari sekutu Eropa dan Asia, menjauhkan AS dari lembaga internasional, terbaru, WHO.
Uni Eropa juga tidak tertarik dengan kartu China yang dimainkan Trump. Ketua Komisi Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, mengatakan sanksi pada China tidak akan efektif terkait isu Hong Kong. Kanselir Jerman Angela Merkel secara implisit juga tidak mendukung teriakan Trump.UE memilih dialog dan konstruktif.
Pukulan dari Merkel lebih telak lagi. Pada hari Jumat (29/5/2020), Merkel menolak undangan Trump untuk menghadiri pertemuan kelompok G-7 di AS di akhir Juni. "Terima kasih atas undangannya," kata Merkel. Akan tetapi dia katakan lebih memilih mengamati perkembangan global termasuk Covid-19. Ini menjadi alasannya menolak undangan Trump.
Masalah domestik
Daripada ribut soal China, Trump sebaiknya memikirkan jeritan petani AS yang terpukul retaliasi dagang oleh China, membalas sanksi tarif dari Trump terhadap impor asal China. Bagaimana menyerang China tanpa berefek pada kepentingan petani AS yang mengekspor ke pasar China,demikian gugatan CNN, 22 Mei lalu.
Trump juga pasti dikecam dengan kematian warga kulit hitam AS, George Floyd, yang tewas akibat disiksa polisi kulit putih AS. Isu ini diteriakkan Joe Biden, yang akan menghadapi Trump pada pemilu 2020 ini. Masalah ketimpangan dan rasisme di AS tidak membaik.
Lebih jauh, China tentu tidak akan diam dan nyatanya selalu membahas setiap serangan AS bagaimanapun kerasnya teriakan AS. Jika perlu, China tidak akan segan bertindak lebih keras di Hong Kong jika itu terkait kedaulatan negara China.
Sebagaimana diketahui, parlemen China, Kamis (28/5/2020), telah menyusun draf keamanan nasional terkait Hong Kong, termasuk potensi pencabutan status semi otonomi Hong Kong. "China ingin memperihatkan sikapnya soal kedaulatan dan ini menjadi alasan mengapa draf itu disetujui," kata Christopher Johnson, dari China Studies di the Center for Strategic and International Studies.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar