Isu diskriminasi mengemuka dalam ulasan di berbagai media di banyak negara terkait meninggalnya George Floyd, warga kulit hitam di Minneapolis. Minneapolis adalah ibu kota Negara Bagian Minnesota, yang disebut sebagai salah satu kawasan metropolitan terbesar di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya, selama hampir dua pekan terakhir, isu kesenjangan sosial terkait kemiskinan, pendidikan, hingga soal keamanan dan permukiman padat perkotaan turut dikaitkan dalam analisis mengenai kasus Floyd.
Kasus ini bisa menjadi refleksi atas isu serupa di tingkat lokal, termasuk di kota-kota di Indonesia. Terlebih di tengah guncangan wabah global, ketika pencarian solusi atas masalah perkotaan berpotensi melemah karena segala daya tersedot untuk menanggulangi pandemi Covid-19 dan pada saat bersamaan menjaga agar ekonomi tetap bergulir. Kala masa transisi menuju normal baru dimulai pun, ada kekhawatiran upaya mengatasi isu perkotaan tersebut tetap akan terpinggirkan.
Sebagai gambaran, bisa dicermati situasi yang kini berkembang. Awal Juni ini, sejumlah kota di dunia mulai melepaskan diri dari kebijakan pembatasan sosial yang sebelumnya dijalankan untuk memutus rantai penularan Covid-10. Di DKI Jakarta, misalnya, mulai 5 Juni diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi.
Sebagaimana dipaparkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat mengumumkan PSBB transisi secara langsung via saluran resmi Youtube Pemerintah Prov DKI Jakarta, Kamis (4/6/2020) siang, Ibu Kota dikatakan telah mencapai tingkat penularan 0,99 atau satu orang positif Covid-19 menularkan ke kurang dari satu orang lainnya. Kurva kasus positif penyakit yang dipicu oleh infeksi virus korona baru, SARS-CoV-2, itu juga telah melandai. Atas dasar argumen tersebut, pelonggaran dengan menerapkan protokol ketat kesehatan pun dilakukan.
Kebijakan serupa diterapkan daerah tetangga Jakarta, yaitu Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang. Bahkan, kota-kota di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Pulau Sumatera.
Pemprov DKI Jakarta menyatakan kawasan merah atau dengan tingkat penularan Covid-19 tinggi terdeteksi di 66 rukun warga atau RW dari total 2.741 RW di Ibu Kota. "Ini hanya 2,4 persen saja dari jumlah total RW di Jakarta," kata Anies.
Data yang disebutkan Anies itu tidak jauh berbeda dengan hasil riset Center of Metropolitan Studies (Centropolis), lembaga di bawah Program Studi Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara, Jakarta. Hasil riset Centropolis hingga akhir Mei 2020 menyebut penyebaran Covid-19 sudah merata di semua kelurahan di Jakarta. Ada kecenderungan terjadi peningkatan kasus di pusat kota, meskipun di lokasi lain tetap ada kasus Covid-19 dan kemungkinan untuk kembali bertambah juga tetap ada.
Rata-rata di 15 kelurahan tersebut, atau 66 RW jika memakai data DKI, adalah kawasan padat penduduk. Sebagian di antaranya masuk kategori kantong kemiskinan di Ibu Kota.
Hingga 25 Mei 2020, Centropolis mencatat 15 kelurahan masih memiliki kasus positif Covid-19 mendekati 50 kasus hingga 146 kasus. Ke-15 kelurahan tersebut, yaitu Sunter Agung, Petamburan, Pademangan, Kebon Kacang, Penjaringan, Kebon Melati, Pondok Bambu, Maphar, Kebon Jeruk, Kelapa Gading, Kramat, Pondok Kelapa, Pegadungan, Palmerah, dan Cempaka Putih.
Rata-rata di 15 kelurahan itu, atau 66 RW jika memakai data DKI, adalah kawasan padat penduduk. Sebagian di antaranya masuk kategori kantong kemiskinan di Ibu Kota. Persentase wilayah zona merah itu memang kecil dibanding keseluruhan wilayah Jakarta. Namun, patut diingat bahwa tiga bulan terakhir sepanjang PSBB, jumlah warga miskin Ibu Kota dan secara umum di Indonesia, telah bertambah pesat.
Data Pemprov DKI Jakarta menyebutkan, sebelum pandemi telah ada 1,1 juta warga miskin di Jakarta. Selama PSBB, diperkirakan ada penambahan lebih dari 2,5 juta jiwa warga rentan miskin menjadi miskin karena kehilangan nafkah. Penyebabnya karena dirumahkan sementara, pemutusan hubungan kerja karena tempat usahanya tutup, hingga tidak lagi bisa bekerja karena mata pencahariannya mati, seperti warung-warung yang gulung tikar.
Pada saat PSBB transisi diberlakukan, tidak ada jaminan mereka yang kehilangan pekerjaan bisa kembali ke pekerjaan awal, mendapat pekerjaan pengganti, apalagi jaminan mendapat penghasilan memadai. Itu disebabkan fasilitas publik dan kegiatan usaha yang dibuka kembali terbentur aturan hanya boleh beroperasi dengan kapasitas pekerja maupun konsumen sekitar 50 persen dari semula. Aturan tersebut memungkinkan kegiatan ekonomi bergulir terbatas dengan tetap menghindari kerumunan dan mencegah potensi penularan penyakit yang dipicu infeksi virus korona baru.
Pelambatan ekonomi diyakini masih akan terus terjadi ketika hampir semua kegiatan usaha tidak bisa beroperasi penuh. Pembagian sif kerja mau tak mau harus diikuti pola baru layanan publik, seperti jaringan transportasi umum. Kondisi ini juga bisa berdampak pada kebutuhan fasilitas baru di tempat usaha dan fasilitas publik.
Bagaimana dampak perubahan tersebut pada anggaran keuangan negara, daerah, perusahaan hingga ke tiap individu? Masih butuh penelitian lebih dalam. Yang pasti, rongrongan terhadap ekonomi belum akan berakhir.
Akses ke pekerjaan dan pendidikan
Di sisi lain, informasi tentang syarat untuk bisa kembali bekerja di masa pelonggaran, antara lain yang bersangkutan harus sehat atau tidak teridentifikasi tertular Covid-19, memicu munculnya bisnis tes kesehatan dan surat keterangan sehat.
Berselancar di internet, muncul informasi tentang beberapa fasilitas kesehatan yang mematok sedikitnya Rp 300.000 per orang untuk tes cepat. Untuk yang lebih akurat menentukan positif Covid-19 atau tidak, yaitu tes usap atau tes PCR (polymerase chain reaction), biayanya bisa tembus di atas Rp 2 juta per individu.
Biaya tinggi ini rasanya sulit dipenuhi oleh warga miskin dan mereka yang kini tak berpendapatan lagi untuk dapat terjun dalam persaingan mencari pekerjaan baru. Ironisnya, sampai sekarang pun, distribusi bantuan sosial bagi warga terdampak pandemi masih bermasalah.
Tak luput, akses ke pendidikan ikut terkendala. Akses internet, yang berarti tambahan biaya, menjadi salah satu syarat utama untuk dipenuhi dalam kebijakan sekolah daring di rumah. Selain itu, sekolah daring mengharuskan orangtua aktif mendampingi anaknya.
Dengan berbagai masalahnya, seperti orangtua tanpa pekerjaan, tekanan ekonomi, beban kerja di rumah sama besar seperti saat masih bekerja di kantor, orangtua tidak terbiasa menjadi guru bagi anaknya, sampai ke persoalan teknis keterbatasan akses internet, membuat sekolah daring tidak semudah tatap muka di ruang nyata. Ini belum bicara soal mutu yang dihasilkan.
Usai ujian kelulusan dan kenaikan kelas tengah tahun ini, diharapkan ada data riil yang menunjukkan kualitas pendidikan tiga bulan terakhir. Ada prediksi publik yang meyakini kualitas pendidikan formal bakal anjlok. Padahal, sekolah daring ini kemungkinan besar masih akan berlangsung bahkan setelah PSBB transisi dinyatakan selesai dan normal baru dimulai.
Anak-anak, kata Anies Baswedan, terhitung usia 0 hingga 18 tahun masuk kategori golongan rentan bersama lansia dan dan orang dengan penyakit bawaan. Mereka menjadi kelompok terakhir yang diperbolehkan mengikuti program pelonggaran PSBB.
"Kalau pusat belanja sudah bisa dibuka di masa PSBB transisi, maka kelompok rentan ini belum boleh ikut datang ke pusat belanja itu. Karena ada potensi mereka terpapar Covid-19 di sana. Jadi ke sekolah pun anak-anak juga belum boleh," demikian Gubernur Anies saat wawancara khusus dengan HarianKompas, Jumat (29/5/2020) lalu.
Melihat kendala atas akses ke pekerjaan dan pendidikan saja terbayang bahwa hanya keluarga-keluarga dengan kondisi lebih stabil, termasuk dalam hal ekonomi, yang lebih bisa mengatasi hambatan-hambatan pada masa pandemi dan transisi ini. Potensi kesenjangan pun semakin menganga.
Tersekat dan disekat
Arthur O'Sullivan dalam buku Urban Economics (2012) memaparkan bahwa minimnya akses ke pendidikan dan pekerjaan yang layak menyumbang dorongan terjadinya tindak kriminal.
Analisis O'Sullivan atas data Biro Investigasi Federal (FBI) kurun 1960-2003 menunjukkan bahwa orang-orang dengan penghasilan rutin makin besar makin tidak berpotensi terlibat kriminalitas. Selain itu, kejahatan seperti pencurian, perampokan, sampai pemerkosaan dan pembunuhan, lebih banyak terjadi di kawasan padat perkotaan dibandingkan di desa.
Khusus di Amerika Serikat, kejahatan juga lebih banyak dikaitkan dengan pelaku dan korban orang kulit hitam. Terkait yang terakhir ini, O'Sullivan menyebutkan kondisi ini dampak dari masalah yang sama selama bertahun-tahun dibiarkan tanpa solusi. Pemerintah alpa dan membiarkan diskriminasi terjadi, membiarkan isu ketimpangan akses pendidikan dan pekerjaan, juga isu tempat tinggal layak bagi warga kulit hitam, tak selesai. Meskipun kini isu yang sama sebenarnya menghinggapi banyak warga AS lain lintas ras.
Semakin tidak mengentaskan suatu masalah, masalah itu justru makin membesar dan berkembangbiak menjadi persoalan-persoalan baru. Yang terjadi, antarwarga tersekat dan disekat menjadi kelompok-kelompok berbeda, berseberangan. Begitu ada pemicu, seperti kematian Floyd di tangan polisi berkulit putih, ledakan tak tertahankan terjadi di negeri adidaya tersebut.
Kemurkaan publik AS tak lepas dari kebijakan pemerintah di sana yang dinilai tak becus menangani diskriminasi ras, kesenjangan ekonomi, termasuk yang terkini, tidak mampu membendung pandemi yang memporakporandakan kondisi dalam negeri. Sejumlah pengamat menyebut, unjuk rasa berhari-hari dan meluas, yang diwarnai penjarahan -yang selama ini menjadi stereotipe hanya terjadi di negara-negara miskin dan berkembang- terkait dengan kepemimpinan Donald Trump.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar