Winata selama ratusan tahun menjadi budak Kadru. Hari-hari ia habiskan untuk mengurus ribuan ekor naga, anak-anak madunya itu.
Tak jarang nyawanya terancam karena para naga memiliki sifat buas dan pemangsa yang serakah.
Perempuan lemah seperti dirinya tak memiliki pertahanan yang cukup untuk menghadapi ribuan naga yang liar. Sewaktu-waktu lidah api para naga bisa saja menelannya hidup-hidup.
Bahkan setelah 500 tahun, ketika kedua anaknya, Aruna dan Garuda, lahir, perbudakan itu tak pernah berakhir. Tanpa sepengetahuan Rsi Kasyapa, Kadru selalu memperlakukan Winata secara hina. Suami kedua perempuan ini selalu khusyuk dalam tapa semadinya untuk menyelamatkan dunia yang sedang terancam kehancuran.
Garuda yang saat lahirnya membuat panik para dewa karena kesaktiannya, juga tak berdaya di hadapan perbudakan. Ia turut membantu ibundanya mengasuh para naga. Walaupun secara diam-diam, terkadang ia memangsa beberapa ekor naga yang ketahuan berbuat di luar batas-batas peri kedewataan.
Suatu hari, Garuda bertanya kepada para naga, apa yang harus ia lakukan untuk membebaskan ibundanya dari perbudakan Kadru. Secara serentak para naga menjawab,"Ambilkan Tirtha Amertha yang disimpan di Kahyangan, hanya dengan cara itu kami bebas dari kematian."
Tanpa berpikir panjang, Garuda pamit kepada ibundanya. Winata berpesan, dalam perjalanan ke sebuah pulau di mana Tirtha Amertha disimpan para dewa, ia akan bertemu dengan makhluk-makhluk nista yang menyukai kekerasan. "Silakan kau mangsa, kecuali para brahmana," kata Winata.
"Mengapa aku tidak boleh memangsa brahmana?" tanya Garuda.
"Mereka seperti ayahmu, orang suci yang khusyuk dalam doa keharmonian dunia," jawab Winata.
"Bagaimana aku bisa membedakannya?"
"Lidahmu akan terasa panas kalau memangsa brahmana, anakku."
"Selain ayahku, siapa mereka?" Garuda bertanya lagi.
"Brahmana itu percikan dari Dewa Brahma, brahmananda. Telur penciptaan, seperti dirimu," jawab Winata.
"Aku berasal dari telur yang mana?"
"Kau berasal dari telur Tuhan yang menetas setelah 500 tahun!"
Dalam kisah yang dinukilkan dalam kitab Adi Parwa itu, setelah mengalahkan para dewa, Garuda akhirnya berkompromi dengan Dewa Wisnu agar Tirtha Amertha tidak jatuh ke tangan para begundal seperti naga.
Garuda bersedia menjadi kendaraan Dewa Wisnu untuk mengawal air kehidupan agar tak dimangsa oleh para naga. Kisah itu kemudian menceritakan, para naga cuma berhasil menjilati air kehidupan yang tumpah di atas daun-daun ilalang.
Saking bernafsunya merebut air kehidupan, lidah para naga akhirnya terbelah dua akibat ketajaman ilalang. Fakta ini mengandung kisahan yang mistis bahwa semua lidah ular (naga) selalu bercabang dua, sedangkan ilalang adalah rumput suci yang menjadi salah satu sarana ritual.
Ilalang juga dikenal sebagai rumput abadi, yang sulit ditaklukkan oleh para petani. Tak ada rumput yang bisa tumbuh menghadapi ketajaman ilalang.
Kau tahu, perbudakan bermula dari pragmatisme, superioritas, congkak, dan perendahan martabat orang lain. Sejarah mencatat, perbudakan di Benua Amerika, yang resmi dimulai 1607 terhadap orang-orang Afrika, bermula dari keserakahan dan perendahan derajat kemanusiaan.
Selama berbulan-bulan, budak-budak dari Afrika yang diangkut dengan kapal-kapal menuju Amerika hidup dalam ketercekaman. Jika ada yang sakit dan mati, mereka dilemparkan begitu saja ke lautan luas seperti bangkai anjing.
Bahkan ketika mencapai pelabuhan-pelabuhan di Amerika Selatan, mereka dihargai berdasarkan bentuk fisik. Orientasi para pembeli budak tak lebih menjadikannya sebagai mesin produksi pertanian, yang akan menghasilkan kapas-kapas berkualitas.
Hak-hak individu para budak dirampas oleh para majikan, yang kemudian dikonversi ke dalam bentuk kerja paksa dengan target-target produksi. Dalam hal produksi meleset, bukan para mandor dan majikan yang salah, para budaklah yang harus menanggung akibatnya. Hukuman-hukuman seperti penghentian jatah makan atau siksaan fisik telah menanti mereka.
Ketika Abraham Lincoln menjadi Presiden Amerika Serikat ke-16, ia mengeluarkan apa yang disebut Proclamation of Emancipation tahun 1863 dan menambahkan Pasal Ke-13 dalam Undang-Undang Dasar AS tahun 1865.
Intinya, seluruh perbudakan di Negara Konfederasi, yang ingin memisahkan diri dengan AS, harus dihapuskan. Walau perbudakan tak berhenti dengan sendirinya dan bahkan proklamasi emansipasi Lincoln menyulut perang sipil di Amerika Selatan, kau bisa hitung perbudakan di AS telah berlangsung selama 258 tahun!
Artinya lebih dari 2,5 abad orang-orang Afrika harus hidup bukan selayaknya manusia. Mereka tak lebih dari sekawanan mesin, yang jika tidak berfungsi apalagi bisa berproduksi, tinggal dijual atau dibuang.
Penistaan derajat kemanusiaan itu sebenarnya sudah berlangsung jutaan tahun. Adi Parwa mengisahkan bagaimana hari-hari sengsara dan nista harus dijalani oleh Winata sebelum akhirya dibebaskan oleh Garuda.
Jika Amerika mencapai momentum pembebasan dengan penghapusan undang-undang perbudakan secara resmi lewat Proclamation of Emancipation, Garuda menjadi simbol pembebasan bagi Winata.
Secara nyata kemudian negara-negara di Asia Tenggara yang memperoleh pengaruh dari kebudayaan India, menjadikan burung garuda sebagai lambang negara mereka.
Sebut saja Thailand, Kamboja, dan kemudian Indonesia terkenal dengan Garuda Pancasila. Secara spiritual, Garuda sebenarnya simbol pembebasan dari perbudakan material dan spiritual.
Kisah Adi Parwa adalah kisah penuh metafora, yang mengumpamakan perjalanan spiritual manusia dalam mencapai pembebasan sejati, yakni mencapai jalan moksa, bebas dari ikatan-ikatan duniawi.
Kisah ini kemudian diterjemahkan seniman Nyoman Nuarta dengan menciptakan patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bukit Ungasan, Jimbaran, Bali. Walau harus diakui bahwa Garuda Wisnu yang ikonik telah dipakai sejak masa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042) di Kerajaan Kediri.
Kakawin Arjuna Wiwaha memuat, Airlangga dikaitkan dengan penjelmaan Dewa Wisnu yang sedang mengendarai burung garuda. Museum Purbakala Mojokerto juga menyimpan patung Garuda tengah menginjak para naga yang bersiap untuk bertarung. Diduga patung itu berasal dari masa pemerintahan raja Airlangga.
Ketika mengukuhkan selesainya pembangunan GWK 4 Agustus 2018, Nyoman Nuarta bersama sutradara Wawan Sofwan mementaskan teaterSwadharma Ning Pertiwi, sebuah repertoar yang mengisahkan peperangan antara Garuda melawan para naga. Mitologi itu, kata Nuarta, menjadi semacam pengukuhan pembebasan manusia dari perbudakan material dan spiritual.
"GWK adalah simbol, bahasa keindahan yang membebaskan kita dari rasa cemas dan ketakutan akan perbudakan," kata Nyoman Nuarta, akhir pekan lalu dari Bandung.
Ketika GWK digagas, masyarakat Bali terbelah. Mereka yang setuju menaruh harapan agar patung ini menjadi berkah "baru" bagi kebudayaan dari Timur, khususnya Bali.
Sementara mereka yang tidak setuju menggunakan dalil-dalil agama sebagai cara untuk menggagalkan megaproyek ini. Umumnya, kelompok ini tidak yakin bahwa GWK akan membawa kebaruan dalam cara masyarakat menghayati kebudayaannya sendiri.
Lepas dari keterbelahan itu, GWK telah menjelma menjadi ikonografi "baru", di mana masyarakat modern membebaskan diri dari perbudakan yang menyusup dalam berbagai bentuk.
Bentuk perbudakan sejak masa-masa klasik sampai pada abad modern sesungguhnya tak pernah bersalin rupa. Ia selalu dipenuhi oleh nafsu serakah, yang didorong oleh keinginan untuk berkuasa, jika perlu berkuasa selama mungkin agar keuntungan material bisa makin berlimpah.
Kekuasaan selalu menggelapkan mata. Kata seorang penyair, justru karena mata tak mau melihat manusia meledak-ledak melampiaskan nafsu serakahnya.
Burung Garuda yang kini menjadi lambang negara kita mencengkeram pita bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" yang berasal dari teks asli berbahasa Jawa Kuna dalam kitabSutasoma: "Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa". Artinya, kebenaran itu tunggal tiada duanya.
Kita kemudian menerjemahkannya berbeda-beda, tetapi hakikatnya adalah satu. Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, bahasa, dan ras, tetapi dipersatukan dalam satu negara bernama Indonesia.
Burung elang botak dalam lambang negara Amerika pun menggigit pita bertuliskan kalimat Latin "E pluribus Unum", artinya dari banyak, satu. Bisa dielaborasi bahwa negara itu terdiri dari banyak negara bagian, yang kemudian disatukan dalam bentuk "serikat".
Amerika Serikat secara resmi menyatakan kemerdekaan dari Inggris, pada 4 Juli 1776. Kemerdekaan itu terjadi jauh setelah masa-masa perbudakan dimulai di negara itu.
Walau setelah kemerdekaan, perbudakan terus terjadi dan bahkan disahkan oleh negara, makna E pluribus Unum bisa menjadi titik bagi kebangkitan kebersamaan derajat sebagai sesama manusia.
Indonesia memiliki sejarah yang lebih lurus dibandingkan Amerika. Kita mengadopsi burung garuda sebagai lambang negara, yang menjadi simbol pembebasan dari perbudakan kolonialisme.
Jika Garuda membebaskan Winata dari perbudakan para naga, maka para pendiri bangsa ini membebaskan kita dari penindasan dan keterjajahan oleh kolonialisme yang berjalan berabad-abad.
Nilai-nilai kebebasan itulah yang diagungkan oleh Nyoman Nuarta, ketika mendirikan patung setinggi 121 meter dan bentang sayap Garuda 64 meter, serta berat 4.000 ton di Bukit Ungasan, Jimbaran, Bali.
Bukan soal besarnya, kata Nuarta, melainkan ini akan jadi landmark Bali yang selalu mendukung pembebasan diri dari tragedi perbudakan. "Terutama perbudakan diri sendiri oleh nafsu serakah," kata seniman kelahiran Tabanan, Bali, ini.
Jika Garuda menjadi simbol pembebasan material dan spiritual, maka Proclamation of Emancipation menjadi tonggak penghapusan tragedi perbudakan terhadap orang-orang kulit berwarna di Amerika. Maka, seharusnya kematian George Floyd, seorang lelaki kulit hitam keturunan Afrika pada 25 Mei 2020, tak perlu terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar