Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan DPR mendapat reaksi penolakan dari publik. Salah satu sebabnya materi RUU HIP ini diduga hendak menurunkan derajat Pancasila dalam undang-undang (UU) karena memuat tafsir sila-sila Pancasila.
Tak lama berselang muncul gagasan RUU HIP diganti dengan Rancangan Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU PIP). Penggantian tidak hanya dari segi judul semata, tetapi substansinya juga berbeda.
RUU PIP atau RUU BPIP
Sesungguhnya penolakan publik terhadap RUU HIP ini bukan terhadap upaya internalisasi nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, melainkan karena materi RUU HIP belum mengarah pada tujuan internalisasi nilai Pancasila. Membaca realitas itu, maka pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengusulkan penggantian RUU HIP menjadi RUU PIP dengan materi baru, fokusnya mengatur tentang tugas, fungsi, dan struktur Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Usulan RUU PIP yang akan menjadi payung hukum bagi upaya internalisasi nilai Pancasila mendapatkan respons positif dari sejumlah kalangan, antara lain Wapres ke-6 RI Try Sutrisno, rektor dari sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN), dan berbagai ormas. Dalam perspektif lain, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bersama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merekomendasikan RUU yang akan menjadi payung hukum keberadaan BPIP tersebut sebaiknya langsung diberi judul RUU BPIP.
Pada dasarnya antara RUU PIP dan RUU BPIP mengandung persamaan karena di dalam RUU PIP akan mengatur bagaimana penyelenggaraan pembinaan ideologi Pancasila oleh semua lembaga negara, baik di pusat maupun daerah, dengan BPIP berperan sebagai lembaga yang mengoordinasikan dan menyinkronisasikan. Begitu juga dengan RUU BPIP yang mengatur mengenai tugas, fungsi, dan struktur organisasi BPIP di dalamnya juga memuat materi bagaimana BPIP mengoordinasikan dan menyinkronisasikan penyelenggaraan pembinaan ideologi Pancasila.
Banyak contoh RUU dengan nomenklatur kelembagaan yang di dalamnya juga mengatur pelaksanaan urusan tertentu, seperti UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia, UU No 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial. Sebaliknya, banyak juga contoh RUU dengan nomenklatur urusan tertentu yang di dalamnya mengatur aspek kelembagaan, seperti UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No 12/2010 tentang Gerakan Pramuka, UU No 43/2007 tentang Perpustakaan, dan UU No 43/2009 tentang Kearsipan.
Lemahnya payung hukum BPIP
Kebijakan pemerintah dengan mendirikan BPIP melalui Perpres No 7/2018 tentang BPIP sesungguhya adalah kebijakan yang dianggap responsif dimaksudkan agar ideologi Pancasila menjadi panduan bagi seluruh penyelenggara negara dan komponen bangsa sekaligus upaya sistematif agar nilai-nilai Pancasila tak mudah tergerus di tengah impitan ideologi lain, seperti komunisme, marxisme, leninisme, liberalisme, dan khilafahisme.
Melalui Perpres No 7/2018 BPIP ditugaskan membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila; melaksanakan koordinasi, sinkronisasi pembinaan ideologi Pancasila; serta penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan. Poin penting hadirnya BPIP, menurut perpres ini, adalah pembinaan ideologi Pancasila akan efektif jika dilakukan melalui program yang disusun secara terencana, sistematis, dan terpadu sehingga menjadi panduan bagi seluruh penyelenggara negara dan komponen bangsa.
Survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 22-23 Mei 2019 terhadap 649 responden di 17 kota besar di Indonesia menghasilkan temuan bahwa 84,3 persen responden menjawab penting keberadaan badan nasional untuk pembinaan ideologi Pancasila (Kompas, 3/6/2019). Pada survei tersebut, 54,4 persen responden khawatir dan 23,9 persen sangat khawatir dengan kelompok yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain.
Mengingat tugas berat yang diemban BPIP sebagai leading sector utama negara dalam pembinaan ideologi Pancasila dan juga melihat ekspektasi publik yang besar terhadap pentingnya badan nasional untuk pembinaan ideologi Pancasila, maka menempatkan BPIP melalui perpres adalah kurang tepat.
Terdapat sejumlah kelemahan pengaturan BPIP melalui perpres, yaitu pertama, hambatan koordinasi dan sinkronisasi pembinaan ideologi Pancasila dengan lembaga-lembaga lain yang kewenangannya diatur dengan UU. Perbedaan instrumen hukum di mana perpres kedudukannya di bawah UU, bahkan di bawah peraturan pemerintah (PP), akan menyulitkan BPIP dalam melaksanakan tugasnya.
Kedua, payung hukum perpres bagi BPIP justru dikhawatirkan menjadi alat kekuasaan rezim penguasa sebagaimana pernah terjadi pada era sebelum reformasi. Jika hanya dengan perpres eksistensi BPIP sangat terkait dengan penguasa, di mana setiap saat BPIP dapat diancam dibubarkan jika tidak "melayani" kepentingan penguasa.
Ketiga, perpres adalah produk hukum yang dibentuk tanpa pelibatan DPR dan partisipasi masyarakat luas. Dengan diatur UU, maka sejak awal saat pembahasan RUU masyarakat bisa terlibat memberikan masukan bagaimana model pembinaan ideologi Pancasila dalam suasana negara hukum demokratis. Selain itu, jika sudah jadi UU DPR bisa optimal mengawasi pelaksanaannya. Apabila hanya berdasarkan perpres, BPIP hanya bersifat diskresi presiden dan tidak bisa diawasi optimal oleh DPR dan masyarakat.
Pentingnya payung hukum UU
Dukungan dan respons positif terhadap keberadaan undang-undang sebagai payung hukum pembinaan ideologi Pancasila merupakan angin segar (oase) dalam rangka untuk tetap semangat menginternalisasikan nilai Pancasila sebagai panduan berbangsa dan bernegara ke dalam pengaturan yang lebih sistematis dan kokoh. Dengan demikian, Pancasila akan dapat diyakini rasionalititas kebenarannya, diketahui, dipahami, dihayati, serta dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa oleh seluruh penyelenggara negara dan warga negara.
Untuk menghindari implikasi negatif pengaturan BPIP hanya dalam perpres itulah maka diperlukan kebijakan untuk mengatur BPIP melalui UU. Tujuan utamanya agar dapat menghindarkan diri dari praktik pembinaan ideologi Pancasila seperti pada era Orde Baru yang lebih bersifat elitis, indoktrinatif, dan tanpa ruang partisipasi masyarakat. Melalui pengaturan kelembagaan BPIP ke dalam UU, maka secara otomatis publik bisa terlibat merumuskan metode pembinaan Ideologi Pancasila yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar nomokrasi atau negara hukum yang demokratis.
Pengaturan pembinaan Pancasila melalui UU juga akan menepis anggapan bahwa urusan pembinaan Pancasila adalah urusan penguasa periode tertentu yang jika berganti penguasa, pembinaan Pancasila bisa ditiadakan. Pancasila pada dasarnya adalah milik seluruh bangsa dan negara sehingga siapa pun penguasanya, pembinaan Pancasila harus tetap dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar