Judul : Agama Jawa: Setengah Abad Pasca-Clifford Geertz
Penulis : Amanah Nurish, PhD
Penerbit : LKiS
Cetakan : I, 2019
Tebal : xl + 192 halaman
ISBN : 978-623-7177-02-9
"Penelitian dan buku ini merupakan suatu intellectual event yang menggembirakan. Baik untuk Islamic studies maupun Java studies, karya ini dapat saja ditandai sebagai sebuah gejala pendewasaan Indonesian studies, dan sebuah era ketika sarjana Indonesia diakui naik ke tingkat internasional" (Prof Dr Robert W Hefner; hlm xix).
Pujian dari Prof Dr Robert W Hefner yang terdapat pada pengantar bukuAgama Jawa: Setengah Abad Pasca-Clifford Geertz ini tidaklah berlebihan karena penulis buku ini memang berani keluar dari bayang-bayang karya monumental Geertz yang berjudul The Religion of Java (1960). Penulis menggali dan menghasilkan temuan-temuan baru karena ia menulis tentang Agama Jawa dari perspektif insider dengan harapan dapat melengkapi apa-apa yang belum dituliskan oleh Geertz.
Sebagai penulis perempuan, ia menambahkan, pada bab enam, satu bab tentang peranan perempuan dalam kehidupan masyarakat di Modjokuto, meskipun tambahan tersebut belum berhasil menyatu dengan tema besar "Agama Jawa" yang ingin dibahas.
Meskipun ia mengagumi hasil karya Geertz yang legendaris itu, sehingga ia mengikuti jejak Geertz dengan tinggal di Modjokuto dan meneliti tempat-tempat dan daerah yang diteliti Geertz, ia tidak ingin "mengglorifikasi kembali pemikiran Geertz tentang agama dan budaya masyarakat Jawa, tetapi justru ingin melihat ulang letak 'pemikiran dan temuan' Geertz dalam menafsirkan pola keberagamaan dan kebudayaan masyarakat Jawa, termasuk melihat transformasi apa saja selama separo abad lebih setelah lahirnya trikotomi abangan, santri, dan priyayi" (hlm 7).
Penelitian dan buku ini merupakan suatu intellectual event yang menggembirakan.
Ia ingin "menyelidiki kembali kehidupan dan transformasi keagamaan, khususnya setelah separo abad lebih studi Geertz" dan "ingin mengetahui tentang bagaimana perkembangan keagamaan di kota ini (Modjokuto) termasuk perkembangan politik, sosial, dan budaya setelah peristiwa 1965" (hlm 10). Banyak hal yang cukup sensitif berkaitan dengan peristiwa 1965 dan juga relasi antara NU dan Muhammadiyah dapat dibaca dalam buku ini.
Memetakan ulang masyarakat Jawa
Kaum abangan yang dimaksud Geertz dalam penelitiannya pada tahun 1950-an praktis sudah habis pada akhir masa Orde Baru di tahun 1990-an. Sebagian besar dari mereka sudah menjadi Muslim, sebagian kecil menjadi Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Sebagian besar dari yang menjadi Muslim itu diterima masuk di Nahdlatul Ulama (NU) yang sejak didirikan tahun 1926 dikenal sebagai penganut Islam tradisionalis. Memang, kantong besar NU ada di Kediri dan Modjokuto, di samping Jombang. Pendekatan sosial kultural model NU lebih fleksibel untuk diterima masyarakat (hlm 95).
Muhammadiyah juga berkembang pesat di Kediri dan Modjokuto meskipun tidak sebesar NU. Dengan model dakwah modern, tablig akbar,Muhammadiyah menyasar kelompok-kelompok anak muda. Acara-acara tablig akbar, yang biasanya menghadirkan para tokoh agama alumni Timur Tengah, selalu dihadiri ribuan anak muda dan perempuan. Tidak sedikit dari anak muda ini yang cenderung mengikuti pemikiran konservatif dan cenderung tidak sepaham dengan pandangan yang dianggap terlalu liberal (hlm 68-72).
Pertumbuhan Islam yang amat pesat di Kediri dan Modjokuto disebabkan banyaknya pesantren. Terdapat 300-an pesantren di daerah Kediri dan Modjokuto yang menjadi wahana pembelajaran Islam secara intensif. Pesantren tertua dan ternama adalah Pesantren Lirboyo yang memiliki 17.000 santri.
Kaum abangan yang dimaksud Geertz dalam penelitiannya pada tahun 1950-an praktis sudah habis pada akhir masa Orde Baru di tahun 1990-an.
Terlepas dari kritik bahwa model pengajaran di pesantren sangat monolog dan membatasi ruang kreatif bagi para santri (hlm 82) model pendidikan pesantren berhasil membentuk karakter-karakter tangguh bagi para santri. Sufisme dan mistisisme yang menekankan kedalaman batin manusia berkembang melalui pendidikan pesantren.
Salah satu pesantren yang berpengaruh di Modjokuto adalah Pesantren Raudlatul Ulum. Kaum abangan di sekitar pesantren ini berubah menjadi santri-santri yang rajin beribadah (hlm 89). Pesantren ini memahami kaum abangan secara berbeda dengan Geertz. Kaum abangan bukanlah orang-orang yang tidak mempraktikkan syariat Islam, melainkan lebih inklusif, mencakup semua lapisan masyarakat yang bukan priayi.
Mereka, kaum abangan, mengamalkan nilai-nilai tasawuf yang diajarkan Syaikh Siti Jenar tentangmanunggaling kawula Gusti(menyatunya manusia dengan Tuhan). Mereka ini menjadi penggerak spiritual masyarakat kelas bawah di luar istana/kraton (hlm 89). Mereka ini yang amat dekat dengan Kejawen,khususnya Sapto Darmo yang sebelumnya sudah diikuti banyak orang.
Di samping Islam, agama Kristen dan Katolik pun dihayati selaras dengan budaya Jawa.
Kenyataan ini terbukti dengan tumbuh suburnya penghayatan agama yang menyatu dengan budaya setempat. Dalam hal ini, penulis tidak sependapat dengan Geertz bahwa agama memengaruhi budaya setempat, tetapi sebaliknya budaya setempat memengaruhi agama-agama sehingga agama-agama dihayati selaras dengan budaya lokal (hlm 21).
Di samping Islam, agama Kristen dan Katolik pun dihayati selaras dengan budaya Jawa. Adanya Goa Maria di Puhsarang, Kediri, yang menjadi tujuan ziarah umat beragama dari daerah-daerah menjadi salah satu bukti kecenderungan ini (hlm 56).
Rekonstruksi dan rekonsiliasi
Pemakaian istilah "abangan" di dalam trikotomi "abangan, santri, priayi" bukanlah otentik dari Geertz (hlm 5). Pada tahun 1869, seorang Belanda yang bernama Carel Poensen sudah menggunakan istilah "bangsa abangan" yang dilawankan dengan "bangsa putihan" atau kaum santri karena kaum santri selalu memakai pakaian putih.
Konflik antara abangan dan putihan juga sudah berlangsung lama. Kaum putihan sudah jelas berafiliasi dengan Islam dan menjadi pendukung NU dan Masyumi, sedangkan kaum abangan yang sebagian besar aktif di serikat Buruh Tani Indonesia (BTI) menjadi pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). "Benturan antara kelompok Masyumi yang militan dengan PNI dan PKI semakin meruncing setelah Pemilu 1955 (hlm xxvi).
Hasil Pemilu 1955 menunjukkan, di Kota Pare, PKI memenangi tiga perempat suara, sedangkan Partai NU mendapatkan tiga perempat suara di perdesaan. Padahal secara nasional, PKI hanya memperoleh 16,4 persen dan NU mendapatkan 18,4 persen. Artinya, PKI mendapat dukungan kuat di Kota Pare dan persaingan yang ketat terjadi dengan Partai NU (hlm x). Maka ada yang mengatakan bahwa itulah yang mungkin menjadi penyebab Geertz memakai nama samaran Modjokuto untuk Kota Pare. Demi alasan keamanan politis!
Buku ini membuat semacam rekonstruksi atas tragedi 1965-1966 berdasarkan saksi-saksi hidup yang ditemui oleh penulis.
Buku ini membuat semacam rekonstruksi atas tragedi 1965-1966 berdasarkan saksi-saksi hidup yang ditemui oleh penulis. Di sini, secara tersirat penulis buku ini menyarankan dilakukannya penyelesaian dan rekonsiliasi atas peristiwa tragis 1965-1966 itu agar trauma sejarah bisa disembuhkan. Kalau tidak diselesaikan, bibit-bibit dendam dari para korban terus akan menjadi duri dalam daging dari kehidupan bersama dalam masyarakat.
Sebagaimana ditulis oleh Hefner, penemuan-penemuan baru dalam buku ini merupakan "sebuah insightyang subur dan penting sekali" (hlm xviii). Meskipun demikian, penemuan-penemuan itu baru merupakan penemuan awal yang harus ditindaklanjuti oleh penelitian-penelitian selanjutnya. Kalau tidak ditindaklanjuti, penemuan-penemuan tersebut hanya akan menambah tanda tanya bagi pembaca tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Modjokuto pada tahun 1960-an hingga setengah abad sesudahnya.
Agus Tridiatno, Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar