Gelombang kedatangan orang-orang China ke negeri yang kini bernama Indonesia telah berlangsung dari waktu ke waktu.
Bukti arkeologis yang ditemukan di China, misalnya, menunjukkan adanya kapal-kapal dagang dari masa Dinasti Song (abad ke-10 hingga abad ke-13) yang berisi hasil alam dari Nusantara, seperti lada dan pinang.
Dalam naskah kuno Desawarnana atau kelak lebih dikenal sebagai Negarakertagama yang ditulis Dang Acarya Nadendra alias Mpu Prapanca pun terekam peristiwa kedatangan tamu-tamu asing ke Majapahit. Salah satunya tamu dari China.
Namun, peristiwa yang paling monumental terjadi pada 11 Juli 1405 atau 615 tahun lalu ketika Laksamana Cheng Ho memimpin ekspedisi perdananya ke Samudra Hindia yang melibatkan sekitar 30.000 orang, yang terdiri dari marinir, pelaut, tenaga ahli, dan tabib, dalam lebih dari 300 kapal.
Cheng Ho menjabat Kepala Dinas Rahasia Istana Ming dan panglima perang di masa Kaisar Yongle dan di masa cucu Yongle, Kaisar Xuande. Ia seorang minoritas Hui, orang kebiri, dan Muslim bermazhab Hanafi.
Armada ini bergerak ke selatan, menuju Champa, Siam, hingga tiba di Sumatera dan Jawa. Tujuan ekspedisi yang disponsori Kaisar Yongle ini ada dua. Pertama, menyebarluaskan keagungan Dinasti Ming dan kaisar yang berkuasa adalah Kaisar Yongle. Kedua, memburu pelarian politik, yaitu Kaisar Jianwen yang dikudeta Yongle dan diperkirakan lari ke selatan. Nasib Jianwen tidak diketahui sampai kini, apalagi kuburannya, mirip korban penculikan di masa Orde Baru.
Melalui ekspedisinya, Cheng Ho berjasa membagi pengetahuan tentang obat-obatan, pembuatan keramik, ilmu beternak, dan berkebun. Arsitektur di Jawa turut merekam pengaruhnya. Masjid dengan menara berbentuk pagoda dan atap bertingkat dua atau tiga adalah khas China Ming, yang terlihat pada Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Cirebon. Jung raksasa komando Kekaisaran Demak yang dipimpin Adipati Unus selama dua kali menggempur Portugis di Malaka (1512 dan 1520) adalah jung raksasa berteknologi Ming.
Di masa Kaisar Yongle, China tidak berambisi menguasai wilayah di seberang lautan, berbeda dengan China hari ini yang melakukan tindakan agresi terhadap Filipina, India, dan Vietnam; ingin merebut Pulau Natuna milik Indonesia; serta mematok sebagian besar Laut China Selatan menjadi miliknya.
Jika Cheng Ho datang untuk sebuah misi kekaisaran, para pendahulu dalam keluarga saya datang untuk bermukim.
Nenek saya lahir di Mentok, Pulau Bangka, sebagai orang Hakka dari pasangan perantau asal China dan meninggal dunia di Pangkalpinang sebagai orang Tionghoa, salah satu etnis dalam bangsa Indonesia. Nama lahirnya Liong Koei Fa, lalu berubah menjadi Fanawati di masa Orde Baru ketika Jawanisme menguat di segala lini.
Kedua orangtuanya bermigrasi ke Hindia Belanda saat kaum bumiputra tengah melawan kolonialisme Barat. Setelah kemerdekaan Indonesia akhirnya terwujud, orang asing harus menaati hukum dan aturan di negara yang baru berdiri. Salah satu kenangan paling membekas adalah saat berada di pengadilan untuk memperoleh Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Rumah nenek berada di Jalan Tony Wen. Nama jalan ini untuk mengenang sosok yang berjuang di pihak Indonesia. Tony Wen tidak wajib mengurus SBKRI karena ia menyatakan mendukung Indonesia sejak masa revolusi kemerdekaan. Laksamana John Lie juga tidak dikenai wajib SBKRI karena ia turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dari penjajahan. Ia pahlawan nasional.
Nasib para perantau dari China tidak jarang dirumuskan oleh politik dan kekuasaan, juga keberpihakan. Di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, akibat akumulasi dari kolonialisme, mereka menjadi sasaran kebencian.
John Richard Wharton Smail, sejarawan dan profesor emeritus dari University of Wisconsin, Amerika Serikat, menulis buku Bandung in the Early Revolution, 1945-1946: A Study in the Social History of the Indonesian Revolution, turut mengungkap situasi itu. Pasukan Sekutu melancarkan operasi khusus pada 25 Desember 1945 untuk "mengamankan kepindahan sejumlah 5.000 orang China" ke Bandung Utara.
Di lain pihak, sekitar 125.000 rakyat Indonesia dipaksa pasukan Sekutu dan Nederlandsch Indiƫ Civil Administratie (NICA) atau Pemerintah Hindia Belanda meninggalkan rumah dan tanah mereka di Bandung Utara. Meski Indonesia telah mengumumkan kedaulatannya pada 17 Agustus 1945, Belanda datang kembali untuk menjajah dengan bantuan Sekutu. Smail menulis, "Kota Bandung semakin terpecah menjadi dua bagian dengan rakyat Indonesia di satu sisi serta rakyat Eropa, Eurasia, dan China di sisi lain."
Berseberangan dengan Tony Wen, sejumlah orang China di Pulau Bangka membentuk milisi yang didukung NICA dan menjadi mata-mata. Akibatnya orang-orang China di Distrik Merawang, Baturusa, dibunuh dan diusir. Dua pemuda Melayu yang memimpin aksi ini, Akub dan Tumek, ditangkap NICA dan mati dalam interogasi.
Penyebab kerusuhan "anti-China" menjelang akhir Orde Baru yang berpuncak pada pemerkosaan keji itu belum sepenuhnya terjawab, tetapi sering dikaitkan dengan sentimen dari masa lalu dan ulah para cukong yang menjadi kroni kekuasaan. Kata "China" yang merujuk pada nama suatu bangsa atau negeri kadang kala menjadi ujaran kebencian. Pada 2014, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan keputusan presiden yang menetapkan kata "Tionghoa" untuk mengganti kata "China" dalam administrasi pemerintahan. Penetapan ini tidak berlaku untuk penggunaan sehari-hari.
Setelah Indonesia merdeka, setiap etnis atau suku bangsa berproses untuk berintegrasi dalam bangsa Indonesia, termasuk etnis Tionghoa. Populasi etnis ini terus berkembang dan tidak lagi menjadi minoritas. Berdasarkan data sensus penduduk pada 2010, populasi etnis Tionghoa menduduki peringkat ke-15 terbesar dari sekitar 600 etnis di Indonesia. Predikat "minoritas" tidak sesuai lagi untuk etnis Tionghoa.
Berbeda dengan nenek yang menutup mata di negeri tercintanya Indonesia, Cheng Ho kembali ke hadirat Ilahi dalam pelayaran pulang ke Tiongkok setelah ekspedisi terakhirnya pada 1433. Jenazahnya dikubur di laut dekat Calicut (kini Kozhikode), India Selatan. Hanya sepasang sepatu dan seikat rambutnya yang tiba dan dikubur di kota Nanjing.
Selama tiga dekade, Cheng Ho memimpin armada laut China hingga akhir hayatnya melayari Asia Tenggara, India, Sri Lanka, Teluk Persia, Arab, dan Afrika. Menurut Brian Haughton dalam bukunya, Ancient Treasures: The Discovery of Lost Hoards, Sunken Ships, Buried Vaults, and Other Long-Forgotten Artifacts, kematian Cheng Ho menutup zaman keemasan ekspedisi China.
Linda Christanty
Tidak ada komentar:
Posting Komentar