Perjalanan singkat melintasi Afsluitdijk pada 2 Juli 2019 memperkaya memori tentang bagaimana Belanda mengelola air. Bendungan tersebut sekaligus jalan raya sepanjang 32 kilometer yang menghubungkan Den Oever di Holland Utara dan Kornwerderzand di Friesland. Afsluitdijk mengubah Zuiderzee, semacam teluk bagian dari Laut Wadden, menjadi danau air tawar Ijsselmeer.
Berdasarkan informasi yang tertera di monumen sekaligus tempat peristirahatan di tengah bentangan jalan itu, diketahui Afsluitdijk selesai dibangun dan mulai difungsikan pada tahun 1932. Proses panjang mengiringi sebelum akhirnya jalan-bendungan-tanggul itu terwujud.
Kala masih bercokol menjajah Nusantara, Belanda menghadapi masalah-masalahnya sendiri di dalam negeri. Salah satunya adalah sebagian daratan "Negeri Tulip" berada setara atau lebih rendah dari permukaan air laut. Banjir rutin menyerbu permukiman dan pusat kegiatan ekonomi. Korban jiwa dan materiil tak terkira banyaknya. Menemukan cara menghalau banjir sudah jadi target mereka sejak lama.
Di Zuiderzee, misalnya, rencana menangkal banjir muncul sejak abad ke 17. Insinyur Cornelis Lely menggagas ide awal untuk menutup laut dengan tanggul pada 1892. Namun, banjir besar kembali melanda pada 1916 yang menyebabkan kerusakan masif di wilayah daratan.
Peristiwa tersebut mendorong arsitek Willem Dudok menyempurnakan Afsluitdijk. Konstruksi dimulai tahun 1927 dan berlangsung hingga lima tahun berikutnya. Afsluitdijk dilengkapi pintu air yang bisa mengatur volume air Danau Ijsselmeer. Saat air berlebih, bisa segera dibuang ke Laut Wadden.
Bendungan ini tidak berdiri sendiri. Di daratan, dibangun polder-polder, stasiun-stasiun pompa air, serta pemadatan atau penimbunan sebagian daerah rawa untuk menjadi area pertanian dan pengembangan hunian. Sepanjang seabad terakhir, kota-kota di tepi Ijsselmeer tumbuh tertata apik dengan perekonomian yang baik pula.
Afsluitdijk kini menjadi cagar budaya dunia. Pada abad ke-21 ini, konstruksinya diperbarui dan dikembangkan lebih modern dengan mempertahankan fungsi sebagai penangkal banjir sekaligus jalan penghubung utama. Keberadaannya disebut termasuk sedikit dari sejumlah bangunan buatan manusia yang terlihat dari pesawat antariksa.
Afsluitdijk kini menjadi cagar budaya dunia. Keberadaannya disebut termasuk sedikit dari bangunan buatan manusia yang terlihat dari pesawat antariksa.
Ruang air
Kisah-kisah serupa Afsluitdijk ditemukan di banyak lokasi di Belanda. Rotterdam, seperti diulas oleh Michael Kimmelman dalam artikelnya berjudul "The Dutch Have Solutions to Rising Seas. The World Is Watching" diThe New York Times, disebut sebagai kota yang diselamatkan dari kubangan berkat keahlian negara itu mengelola air dengan pendekatan teknologi infrastruktur.
Harold van Waveren, penasihat senior pemerintah Belanda yang dikutip Michael menyatakan, sebagai daerah dataran rendah yang dibatasi Laut Utara tempat sungai-sungai besar Eropa seperti Rhine dan Meuse bermuara, dulu banjir selalu menghantui Belanda. Mereka berpikir untuk terus membuat tanggul dan bendungan guna menahan air. Infrastruktur yang sama ditemui di berbagai pelosok negeri yang terkenal dengan clog alias sepatu kayu tradisionalnya itu.
"Namun, kita tidak bisa terus membangun tanggul yang lebih tinggi karena kita akan berakhir hidup di balik tembok setinggi 10 meter," kata Harold.
Pada masa kini, perlindungan terhadap perubahan iklim tidak lagi hanya gerbang besar dan bendungan di laut, tetapi juga mencakup seluruh perencanaan tata ruang, manajemen krisis, pendidikan anak-anak, penerapan teknologi aplikasi daring, dan penyediaan fasilitas publik yang memadai.
Pada perkembanannya, muncul program ruang untuk sungai. Program tersebut adalah upaya adaptasi baru dari strategi yang telah mereka gunakan sebelumnya selama berpuluh tahun untuk merebut wilayah dari sungai dan kanal dengan membangun bendungan dan tanggul. "Ini adalah seruan untuk memberikan kembali ruang kepada sungai yang telah kami ambil," kata Harold.
Ruang untuk sungai diterjemahkan hingga ke tingkat kota. Di Rotterdam, Kepala Iklim Kota Arnoud Molenaar mengatakan, semuanya dimulai dengan hal-hal kecil, seperti membuat orang menghapus trotoar beton dari kebun mereka sehingga tanah di bawahnya menyerap air hujan. Banyak fasilitas publik seperti taman kota, danau buatan, dan lainnya yang merangkap sebagai lahan parkir air saat sungai meluap di waktu-waktu tertentu.
"Itu semua lantas dilengkapi dengan infrastruktur yang lebih besar, seperti penghalang gelombang badai raksasa di Laut Utara," kata Arnoud.
Pola pikir Belanda pun semakin berkembang. Bagi mereka, tulis Michael, perubahan iklim bukanlah hambatan pada ekonomi, melainkan sebuah peluang. Peluang itu tidak sekadar agar hidup warga di sana selamat, tetapi juga sebuah potensi bisnis yang turut menghidupi dan membiayai kebutuhan negara tersebut.
Bagi mereka, tulis Michael, perubahan iklim bukanlah hambatan pada ekonomi, melainkan sebuah peluang.
Bantuan ke perdagangan
Guru Besar Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, Simon Richter, yang hadir dalam diskusi "Urban Water and Resilience" di Universitas Tarumanagara, Jakarta, 7 Maret 2018, mengungkapkan sejumlah hal di balik proyek penanggulangan banjir oleh Belanda di Indonesia dan negara-negara lain.
Dalam poin "The Dutch Dilemma", ia memaparkan bagaimana Belanda aktif menginisiasi sejumlah proyek pengelolaan air seperti tanggul raksasa di Jakarta dan Mekong Delta Plan di Vietnam. Proyek-proyek itu menempatkan Belanda sebagai penyedia jasa mulai dari perencanaan hingga pendampingan pelaksanaan megaproyek yang semuanya bernilai besar secara keuangan. Sebagian dana itu menjadi pendapatan bagi Belanda (Lintas Disiplin dan Rangkul Warga Demi Jakarta, Kompas, 8 Maret 2018).
Simon menjelaskan, selama ini Belanda mengesankan sebagai negara yang berhasil merekayasa daerahnya dengan teknologi dan mengatasi persoalan sebagian besar wilayahnya yang berada di bawah permukaan laut. Pada kenyataannya, data resmi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan, hanya 26 persen dari total luas wilayah Belanda berada di bawah permukaan laut dan 29 persen lagi berpotensi banjir.
"Memang penurunan muka tanah di sebagian wilayah Belanda sampai 2,5 sentimeter per tahun dan membuatnya membutuhkan sejumlah adaptasi lingkungan. Namun, apakah harus ditangani dengan berbagai infrastruktur raksasa bernilai amat besar?" kata Simon.
Memang penurunan muka tanah di sebagian wilayah Belanda sampai 2,5 sentimeter per tahun dan membuatnya membutuhkan sejumlah adaptasi lingkungan. Namun, apakah harus ditangani dengan berbagai infrastruktur raksasa bernilai amat besar? (Simon Richter).
Lontaran guru besar bidang linguistik yang aktif di The Institute of Urban Research, Environmental Humanities, dan di The Penn Water Center itu mengusik siapa saja yang selama ini mengamini betapa tak terbantahkannya Belanda di bidang rekayasa pengelolaan air raksasa.
Artikel laporan hasil riset berjudul "Making waves in the Mekong Delta: recognizing the work and the actors behind the transfer of Dutch delta planning expertise" dari Shahnoor Hasan yang terbit di Journal of Environmental Planning and Management pada 30 April 2019, sedikit banyak mengonfirmasi pendapat Simon.
Khususnya dalam proyek Mekong Delta Plan, Shahnoor yang menempuh doktoralnya di IHE Delft Belanda, institut yang mengkhususkan diri pada bidang riset air ini, menegaskan perlu dipahami dahulu bahwa ada konteks agenda kerja sama pembangunan antara Vietnam dan Belanda. Pada perkembangannya, ini menghasilkan bentuk kerja sama pembangunan hibrid. Pemerintah Belanda secara lebih terbuka mengaitkan tujuan sosial atau bantuan dengan tujuan ekonomi atau perdagangan.
Operasionalisasi agenda hibrida ini terjadi melalui penetapan prioritas empat tema, sebagian dipilih karena kesesuaiannya untuk menggabungkan promosi kepentingan bisnis Belanda dengan tujuan kerja sama pembangunan. Keempat tema tersebut adalah keamanan dan ketertiban hukum; air; ketahanan pangan; serta kesehatan dan hak seksual dan reproduksi. Secara khusus, tema keamanan air dan pangan diutamakan dalam mendasari kerja sama antarnegara karena cocok dengan sektor ekonomi di mana Belanda unggul.
"Di air, strateginya adalah untuk membangun reputasi Belanda yang ada sebagai pemimpin pengelolaan air global. Pemerintah Belanda mengidentifikasi ruang lingkup untuk lebih lanjut mempromosikan kepentingan bisnis Belanda, khususnya di bidang air minum yang aman dan sanitasi, produktivitas air di pertanian, dan peningkatan pengelolaan wilayah sungai dan delta-delta yang aman. Strateginya menyoroti pentingnya melibatkan lembaga pengetahuan Belanda dalam proyek air di tempat lain," papar Shahnoor dalam jurnal ilmiahnya.
Beda cerita
Pendekatan pembangunan delta Belanda, menurut Shahnoor, sebagai solusi teruji untuk membantu mencapai terwujudnya pembangunan kawasan muara sungai yang tangguh dan makmur jelas merupakan konstruksi yang khusus diciptakan. Hal ini untuk membantu menciptakan antusiasme bagi keahlian Belanda mengelola air di bagian lain dunia. Meskipun demikian, Shahnoor mengatakan, pro-kontra terkait agenda hibrida Belanda ini selalu ada dan belum ada titik temu.
Michael Kimmelman dalam ulasannya pun menjelaskan, adalah hal biasa bagi para delegasi negara lain melihat langsung dan belajar tentang pengelolaan air di Rotterdam. Lantas menjadi biasa pula ketika berakhir dengan kontrak kerja sama pengelolaan air atau pembangunan infrastruktur pengelolaan air di negara bersangkutan dengan melibatkan pemerintah dan perusahaan Belanda.
Apakah itu sesuatu yang buruk atau hal baik bagi Belanda dan bagi negara bersangkutan? Sepertinya mesti dikembalikan lagi kepada negara bersangkutan yang memutuskan mengambil kebijakan pengelolaan air dengan menerapkan teknologi Belanda.
Sejauh mana negara seperti Indonesia, misalnya, paham dan tahu bahwa mengelola air adalah dengan membangun sistem terpadu disertai penekanan harus menyediakan tempat seluas-luasnya bagi air itu sendiri. Bukan sekadar membangun kanal, tanggul, atau mereklamasi laut.
Salah satu pijakan yang bisa dipakai dalam berlogika adalah adanya data jelas terkait kondisi Jakarta yang bisa diuji publik. Dari data itu lantas kita bisa melihat lagi apakah rencana proyek tanggul raksasa dan pulau-pulau buatan, misalnya, memang diperlukan? Demikian juga dengan yang viral baru-baru ini reklamasi tempat wisata di Ancol, Jakarta Utara, yang ternyata lokasinya tidak jauh berbeda dengan rencana pulau-pulau buatan sebelumnya.
Di sisi lain, dari kekuatan keuangan pun bisa diukur. Seabad silam, Belanda masih mendapat keuntungan besar atas kekuasaannya di Indonesia. Dana segar dari berbagai bisnis perkebunan dan perdagangan di Nusantara mengalir ke "Negeri Kincir Angin" yang pasti bisa menyumbang dana pembangunan di sana.
Seabad silam, Belanda masih mendapat keuntungan besar atas kekuasaannya di Indonesia. Dana segar dari berbagai bisnis perkebunan dan perdagangan di Nusantara mengalir ke "Negeri Kincir Angin" yang pasti bisa menyumbang dana pembangunan di sana.
Kini, Belanda termasuk jajaran negara-negara mapan di Eropa. Berbagai penerapan teknologi mahal untuk memodernisasi Afsluitdijk atau memperbarui sistem pengelolaan air di Rotterdam mungkin tidak menjadikan mereka terjebak dalam jeratan utang berpuluh atau beratus tahun lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar