Obesitas tidak hanya persoalan penampilan, tapi sudah menjadi masalah kesehatan. Selain merupakan jalan masuk berbagai penyakit degeneratif, seperti tekanan darah tinggi, diabetes, penyakit jantung, stroke, dan kanker, obesitas juga ditengarai bisa memperparah gejala Covid-19.
Penelitian David Kass dan kolega dari Universitas Johns Hopkins yang dimuat di the Lancet, 16 Mei 2020, menyatakan, semula dunia dan juga warga AS mengira, yang rentan terkena Covid-19 adalah orang lanjut usia dengan penyakit degeneratif. Karena itu, saat pandemi merambah ke AS, kaum muda tidak terlalu peduli terhadap protokol kesehatan dan menjaga jarak.
Akhir Maret, sejumlah kaum muda mulai masuk unit perawatan intensif (ICU) Rumah Sakit Johns Hopkins. Banyak di antara mereka mengalami obesitas. Survei informal yang dilakukan ke para dokter ICU sejumlah rumah sakit di AS menunjukkan hal sama. Padahal, orang-orang muda itu tidak memiliki riwayat penyakit degeneratif.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat memasukkan obesitas berat sebagai faktor risiko Covid-19 parah.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS kemudian memasukkan obesitas berat sebagai faktor risiko Covid-19 parah. Disebut obesitas berat jika memiliki indeks massa tubuh (BMI) 40 atau lebih.
Sejumlah negara lain juga melaporkan risiko penderita obesitas. Intinya, mereka yang BMI ataupun lingkar pinggangnya masuk kategori obesitas berisiko mengalami gejala Covid-19 parah, bahkan kematian.
Laman Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris menggolongkan orang dewasa dengan BMI 25 sampai 29,9 sebagai kegemukan, sedangkan mereka dengan BMI 30 sampai 39,9 dikategorikan mengalami obesitas. BMI dihitung dengan membagi berat badan (dalam kilogram) dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter).
Ukuran lain dari kelebihan lemak tubuh adalah lingkar pinggang. Laki-laki dan perempuan berlingkar pinggang masing-masing 94 cm dan 80 cm atau lebih berisiko mengalami masalah terkait obesitas. Tumpukan lemak di pinggang membuat orang mudah terkena gangguan jantung, diabetes, kanker, ataupun stroke.
Menghambat kerja paru
Menurut Kass dan kolega, semula obesitas kurang disadari sebagai faktor risiko untuk Covid-19. Di AS, prevalensi obesitas sekitar 40 persen. Sebagai perbandingan, prevalensi di China 6,2 persen, Italia 20 persen, dan Spanyol 24 persen.
Berdasarkan data dari 265 pasien didapatkan korelasi terbalik yang signifikan antara usia dan BMI. Kaum muda yang dirawat di rumah sakit umumnya mengalami obesitas. Rata-rata BMI 29,3, bahkan 25 persen pasien BMI-nya lebih dari 34,7.
Menurut peneliti, obesitas bisa menghambat kerja paru, mengganggu respons kekebalan tubuh terhadap infeksi virus, memudahkan terjadinya peradangan, serta memicu diabetes dan stres oksidatif (jumlah radikal bebas melebihi kemampuan tubuh untuk menetralkan).
Hal itu berdampak buruk pada fungsi kardiovaskular. Karena itu, mereka yang mengalami obesitas, meski masih muda dan tidak menunjukkan gejala penyakit degeneratif, perlu mewaspadai penularan virus penyebab Covid-19.
Hal senada mengemuka dalam opini Naveed Sattar dan kolega dari Universitas Glasgow, Inggris, di jurnalCirculation, 7 Juli 2020. Jumlah pasien Covid-19 di Perancis yang perlu ventilator tujuh kali lipat lebih banyak yang BMI-nya lebih dari 35 dibandingkan yang BMI-nya kurang dari 25.
Sementara itu, di New York, AS, orang dengan BMI 30-34 dan BMI lebih dari 35 masing-masing 1,8 dan 3,6 kali lebih banyak dirawat di ICU dibandingkan yang BMI-nya kurang dari 30.
Nature Reviews Endocrinology, Juli 2020, juga memuat paparan Norbert Stefan dari Lembaga Riset Diabetes dan Penyakit Metabolik Jerman serta kolega mengenai hal serupa.
Sel lemak
Hal lain, virus SARS-CoV-2 masuk ke inang lewat enzim pengubah angiotensin 2 (ACE2) di sel lemak. Orang yang kegemukan (overweight) atau sangat gemuk (obese) memiliki banyak sel lemak sehingga menyediakan lebih banyak pintu masuk bagi virus.
Kajian Monique Tan dan dua guru besar pembimbingnya dari Universitas Queen Mary, London, di British Medical Journal (BMJ), edisi 10 Juni 2020, menyebutkan hal itu.
Penelitian terhadap catatan medik pasien Covid-19 di Inggris menunjukkan, obesitas merupakan faktor risiko independen untuk keparahan dan kematian akibat Covid-19. Risiko relatif keparahan Covid-19 meningkat 44 persen pada orang kegemukan dan hampir dua kali lipat pada penderita obesitas. Hal sama didapatkan penelitian lain di Inggris serta di wilayah Asia Pasifik, Eropa, dan AS.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Eropa (ECDC) menyatakan, 73 persen pasien Covid-19 kritis di Italia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Belanda adalah mereka yang mengalami obesitas.
Hal itu, menurut Tan, menyangkut pandemi lain, yakni obesitas sebagai akibat hidup di lingkungan yang mendorong untuk mengonsumsi kalori secara berlebihan.
Industri makanan global memproduksi dan secara ekstensif mempromosikan minuman mengandung gula dan makanan yang diproses dengan kandungan garam, gula, dan lemak jenuh tinggi, tetapi hanya sebentar memberi rasa kenyang.
Karena itu, industri makanan di seluruh dunia harus segera berhenti mempromosikan makanan tidak sehat, yang mengandung gula, lemak, dan garam berlebihan. Adapun pemerintah harus membuat aturan untuk membatasi serta mereformulasi makanan dan minuman yang tidak sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar