Pandemi Covid-19 menimbulkan tantangan luar biasa bagi perekonomian dan institusi dalam masyarakat.
Semua negara menghadapi persoalan ganda, yaitu mengontrol penyebaran dan mencegah resesi ekonomi yang lebih dalam. Hingga kini, para ahli di seluruh dunia tidak dapat memastikan kapan pandemi dapat dikontrol.
Pandemi yang kini berlangsung adalahunchartered waters (wilayah yang penuh ketidakpastian). Setiap negara seperti kapal yang harus siap melakukan penyesuaian besar jika tidak ingin karam: tingkat kematian yang tinggi, jatuh dalam situasi kemiskinan luas, bahkan ketidakstabilan sosial.
Hingga kini, wacana penanganan pandemi masih berkisar pada mencari keseimbangan antara mengontrol pandemi dan mencegah kehancuran ekonomi. Pembahasan seperti ini tidak memadai lagi untuk menghadapi situasi ke depan. Berbagai instrumen dan asumsi kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial tidak dapat menghadapi pandemi.
Hingga kini, wacana penanganan pandemi masih berkisar pada mencari keseimbangan antara mengontrol pandemi dan mencegah kehancuran ekonomi.
Banyak hal yang harus direkonstruksi lagi. Dari segi ekonomi, perubahan bukan hanya tentang "ekonomi dari rumah" atau "kecakapan digital". Struktur, institusi, dan pengorganisasian ekonomi itu sendiri harus diubah ke arah yang inklusif (Meuthia Ganie-Rochman, Kompas, 26/5/2020).
Satu hal yang juga penting untuk diubah adalah manajemen publik. Sejauh ini, wacana baru sampai pada bagaimana membuat birokrasi lebih tanggap mendeteksi kasus dan menyalurkan bantuan. Perubahan harus jauh melampaui itu.
Perubahan manajemen publik pandemi tidak hanya mengubah tata cara berdasarkan logika organisasi yang sudah ada di birokrasi ataupun di masyarakat saat ini. Dia juga harus membangun pengorganisasian baru.
Kerangka saat ini
Manajemen publik baru bekerja berdasarkan pemikiran bahwa bentuk pelayanan publik yang ada saat ini untuk mengatasi kesehatan maupun kebangkitan ekonomi. Organisasi pemerintah, masyarakat, dan sektor bisnis harus bekerja dengan cara ataupun bentuk yang berbeda. Untuk membedakannya dengan new public management yang sudah cukup lama berkembang, kita namakan saja yang baru ini sebagai "manajemen publik performatif" (MPP).
Dalam ilmu manajemen publik saat ini ada dua pendekatan utama, yaitu new public management (NPM) dan new public administration (NPA). NPM menekankan efisiensi, standar, danoutput. Birokrasi harus menghasilkan kinerja yang terukur berdasarkan sumber daya tertentu. NPA menekankan partisipasi, kesamaan, demokrasi, budidaya, dan emosi sosial.
Seperti juga ilmu apa pun, pendekatan muncul karena merespons kelemahan sebelumnya. Kedua pendekatan itu masih mengandung berbagai prinsip yang dibutuhkan, tetapi bagaimana menerapkannya tentu harus sesuai konteks saat ini.
Kekuatan NPM adalah selalu menekankan kepastian berdasarkan perencanaan untuk hasil tertentu. Keterbatasan NPM setelah pandemi adalah didasarkan pada perhitungan situasi yang sudah stabil. Prinsip efisiensi, misalnya, bekerja berdasarkan sistem perencanaan dan alokasi sumber daya tertentu. Banyak situasi baru yang dihadapi pada masa pandemi, seperti besaran luas dan karakter pandemi yang harus ditanggapi oleh pelayanan publik.
NPA mempunyai kekuatan karena berusaha melibatkan masyarakat. Standar keberhasilan birokrasi diukur dari keterlibatan organisasi masyarakat. Organisasi masyarakat terlibat dalam perencanaan dan banyak pelaksanaan kegiatan pemerintah. Pendekatan ini mengembangkan bekerja dalam jaringan, yang dinamika dalam jaringan menentukan ukuran kinerja (termasuk kontrol kolektif).
Organisasi masyarakat terlibat dalam perencanaan dan banyak pelaksanaan kegiatan pemerintah.
Dengan bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat, birokrasi dianggap dapat lebih relevan dalam melayani masyarakat, selain dukungan yang lebih luas. Kelemahan NPA dalam masa pandemi ini adalah terlalu lama dalam pengambilan keputusan strategis dan sering muncul masalah batasan akuntabilitas para pihak.
Wilayah penguatan komunitas
Pemerintah berusaha menangani dampak pandemi dengan kebijakan bantuan sosial, bantuan ekonomi dunia usaha, dan fasilitas kesehatan.
Seperti semua negara, Indonesia mencari keseimbangan antara pencegahan pandemi dan menjaga aktivitas ekonomi. Saat ini angka penularan menunjukkan peningkatan. Indonesia, di beberapa media asing, masuk negara yang dikhawatirkan akan menjadi sumber ledakan pandemi baru.
Hal ini, antara lain, karena cara penanganan pandemi yang sangat kurang (seperti rendahnya angka tes dan lemahnya metode penelusuran) di tengah kepadatan dan besarnya jumlah penduduk. Dalam kondisi seperti ini, tidak boleh menutup mata pada kemungkinan akan besarnya jumlah orang yang terinfeksi.
Dari aspek kesehatan, tindakan pencegahan pandemi memiliki banyak aspek, bukan saja masalah fasilitas kesehatan formal. Pandemi pasti sangat menekan laboratorium dan rumah sakit jauh di atas kemampuannya. Selain itu, ada masalah serius menanamkan kultur baru menjalankan protokol kesehatan.
Pemerintah sudah melakukan beberapa upaya sosialisasi. Namun, jelas bahwa banyak masyarakat belum menjalankan protokol kesehatan dengan baik karena berbagai alasan, misalnya pemahaman, penanaman kedisiplinan, ataupun fasilitas yang tidak dimiliki.
Di pihak lain, organisasi kemasyarakatan bergerak sendiri untuk mengatasi masalah. Organisasi kemasyarakatan melakukan upaya pencegahan penularan di komunitasnya, melakukan program bantuan sosial, atau menjadi jembatan ekonomi bagi pelaku ekonomi kecil.
Sebagian melakukan upaya yang berskala cukup luas dan melibatkan dana yang cukup besar. Namun, sebagian besar bentuknya sangat terbatas. Menjadi kekhawatiran, berapa lama upaya mereka dapat berlangsung.
Komunitas sesungguhnya harus dapat dijadikan sebagai basis penanganan pandemi. Selama ini sebagian komunitas sudah menjadi wadah sosialisasi tentang bahaya dan penanganan virus Covid-19.
Komunitas sesungguhnya harus dapat dijadikan sebagai basis penanganan pandemi.
Keberhasilan sosialisasi bergantung pada kedekatan komunitas, kepemimpinan lokal, dan ketersediaan mekanisme sosial untuk melakukan sosialisasi secara mendalam dan berkelanjutan. Seperti diketahui, pemahaman tentang mencegah penularan bukan hanya masalah virusnya, melainkan banyak hal lain, misalnya tata cara penggunaan dan penanganan masker atau bagaimana menjaga ketahanan tubuh.
Komunitas juga harus disiapkan untuk peran yang lebih luas seandainya pandemi meluas. Jika rumah sakit hanya untuk pasien yang sudah parah karena keterbatasan fasilitas kesehatan yang ada, komunitas harus dapat dijadikan perawatan untuk tingkat infeksi yang lebih rendah.
Jika ada warga yang terkena, komunitas tersebut harus dapat membantu pengadaan obat dan makanan bagi orang tersebut. Akan tetapi, keadaan ini harus dibantu oleh perangkat pemerintah daerah yang seharusnya menjadi pusat pengadaan informasi dan penyaluran bantuan obat dan makanan.
Pemerintah daerah harus dapat membuat sistem kerja sama yang dapat menjangkau masyarakat. Akan tetapi, ini bukan hanya mengenai kemampuan pemerintah daerah merancang sistem.
Untuk membuat sistem kerja sama yang baik, harus terbangun kesepakatan, komitmen, dan kapasitas kedua belah pihak—atau tiga empat pihak—untuk menjalankan sistem penanganan pandemi. Tiap wilayah mungkin sekali akan mempunyai tingkat dan bentuk kerja sama yang berbeda. Namun, tiga elemen di atas adalah prinsip yang harus ada.
Peningkatan kerja sama untuk penanganan juga harus melalui evaluasi ketiga elemen tadi. Lalu, berdasarkan itu dibangun tata cara pengelolaan yang berisi norma dan standar baru. Inilah yang disebut pendekatan performatif.
Wilayah penguatan di atas hanya sebuah contoh. Wilayah penguatan juga bisa mengenai banyak hal lain, seperti penguatan UMKM.
Manajemen publik performatif
Disebut performatif karena fokus pada hasil berdasarkan aksi. MPP tidak dapat terpaku pada perencanaan jangka panjang karena dasar situasi dan instrumen sosial ekonomi yang ada saat ini banyak yang tidak memadai.
Para perencana akan sukar membuat suatu trajektori dengan kepastian seperti sebelum pandemi. Birokrasi ataupun organisasi masyarakat dipaksa untuk membuat tata cara baru.
MPP juga sangat menekankan kerja sama erat antara pemerintah dan birokrasinya, organisasi masyarakat dan bisnis. Kerja sama dalam bentuk baru sangat krusial untuk menghadapi tantangan sosial dan ekonomi yang sangat besar.
Disebut performatif karena fokus pada hasil berdasarkan aksi.
Perbedaannya dengan NPA yang juga menekankan kerja sama ada tiga. Pertama, NPA fokus pada organisasi masyarakat sebagai bagian dari perspektif demokrasi partisipatoris. MPP membuka kerja sama multipihak, termasuk pihak bisnis.
Perbedaan yang paling pokok adalah NPP penekanan kesepakatan, komitmen, dan tanggung jawab. Tiap pihak harus siap berubah, bukan hanya saling melengkapi. Prinsip siap berubah ini merupakan perbedaan kedua. Perbedaan ketiga, semua pihak bekerja pada tujuan yang baru, sama-sama mengatasi air yang tidakterpetakan , yang situasinya sangat tidak pasti sehingga butuh penanganan tahap demi tahap.
(Meuthia Ganie-Rochman, Sosiolog Organisasi, Universitas Indonesia)
Kompas, 8 Agustus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar