Sejak dirilis pada awal 1990-an, lagu "Yogyakarta" oleh KLa Project masih sering terdengar hingga hari ini. Lagu itu ditulis berdasarkan kenangan akan Yogyakarta.
Rupanya, orang bisa terkenang akan sebuah kota lewat lagu. Orang juga bisa mengenal suatu tempat dari lagu-lagu. Sebut saja sejumlah lagu tentang kota, sungai, dan pantai, yang pernah populer di negeri ini. Sebuah tamasya menjelajah negeri lewat lagu.
Pada pertengahan era 1960-an, penyanyi Alfian membuat "hattrick" dengan menyanyikan lagu yang bertema kota, sungai, dan pantai. Kota Bogor, Cianjur, dan Kaimana dinyanyikannya. Ia juga berlagu tentang sungai Musi, sungai Kahayan, serta pantai Sanur.
Hampir semua tempat yang disebut dalam lagu tersebut berperan sebagai lanskap atau latar romantisisme kisah cinta. Apa boleh buat, tema cinta memang sangat dominan dalam lagu pop. Tema itu terbagi dalam dua sub tema, yaitu jatuh cinta dan putus cinta. Itu mengapa kota atau tempat-tempat lain dalam lagu tersebut menjadisetting atau panggung kisah romantis.
Lagu "Semalam di Kota Bogor" ciptaan Jessy Wenas yang dinyanyikan Alfian, berkisah tentang pertemuan. Kota Bogor dalam lagu itu telah menghentikan pengembaraan seseorang karena telah menemukan sosok idaman.
Adapun "Semalam di Cianjur" karya Surni Warkiman, bertutur tentang indahnya pertemuan sekaligus beratnya perpisahan. Untungnya ada pengharapan karena ada janji untuk bertemu lagi. Untuk menambah dramatika, kisah cinta pada dua lagu itu berlangsung hanya semalam.
Alfian juga menyanyikan "Senja di Kaimana" yang kini merupakan Kabupaten di Provinsi Papua Barat. Lagu karya Surni Warkiman ini berupa kenangan akan kisah cinta, dengan setting waktu dan tempat suatu senja di Kaimana.
Dikisahkan, bagaimana suatu pertemuan yang membuat hati berdebar. Terlebih saat ada tangan lembut mengusap luka seseorang. "Kau usapkan tangan halus mulus/ Di luka nan parah penuh debu..."
Melompat 30 tahun kemudian ke era akhir 1990-an, Rita Effendy memopulerkan "Januari di Kota Dili" yang saat itu masih berada dalam wilayah Provinsi Timor Timur, Republik Indonesia, dan kini menjadi wilayah negara Timor Leste.
Lagu ini bertutur tentang dua orang dari dua wilayah berbeda, yang bertemu dan harus berpisah. Akan tetapi, seperti terjadi di "Cianjur"-nya Alfian, ada pula harapan akan pertemuan Kembali. "Januari di kota Dili/ Kian hangat dalam ingatan/ Nantikanlah aku Kembali/ tuk menjemput cintamu.
Kisah kota
Di luar tema cinta, ada pula lagu pop yang berisi penggambaran suatu kota, lengkap dengan kenangan yang melekat atas kota tersebut. Isi lagu ada yang berupa deskripsi panoramik atau ada juga yang berisi romantisisme kenangan suatu tempat. Misalnya, kenangan akan Bandung dalam "Bandung Selatan di Waktu Malam" karya Ismail Marzuki.
Lagu itu mencatat keindahan Bandung yang digambarkan sebagai "putri lenggang kencana/ duduk termenung ingat kekasih." Ada pula kesan auditif tentang suara suling. "Terdengar suara seruling bambu/Gita malam nan merdu merayu."
Keindahan Bandung dengan bukit, pucuk cemara, dan panorama senja dan malamnya dicatat Bimbo dalam "Bandung" dan "Senja Jatuh di Bandung Utara". Keindahan alam Pasundan dilantunkan Bimbo dalam "Bandung" dengan ungkapan puitik: "Waktu Tuhan tersenyum lahirlah Pasundan".
Bandung dalam romantisisme kenangan dinyanyikan Tetty Kadi dalam "Kota Kembang" karya A Riyanto. Begitu pula Christine, penyanyi asal Solo itu terkenang Bandung dalam "Bandung di Waktu Malam" karya Jessy Wenas.
Dua lagu itu mencatat keindahan, kesejukan udara Bandung, dan kecantikan penghuninya yang lemah gemulai. Seperti dalam "Halo-Halo Bandung"-nya Ismail Marzuki, dalam lagu tadi Bandung disebut sebagai kota kenangan yang tak akan terlupakan. Sebagai catatan, A Riyanto dan Jessy Wenas sama-sama pernah bermukim di Bandung sebagai mahasiswa.
Begitu pula kota Solo atau Surakarta yang tercatat dalam sejumlah lagu. Di antaranya adalah "Solo di Waktu Malam" karya Maladi, dan "Kota Solo" gubahan Samsidi, keduanya seniman asal Solo. Kedua lagu itu mendeskripsikan tempat-tempat dan kesan tentang kota Solo.
Keduanya menyebut sungai ataubengawan sebagai tempat penanda kota. Sungai yang dimaksud adalah Bengsawan Solo yang secara khusus ditulis Gesang dalam "Bengawan Solo". Samsidi menyebut Kota Solo sebagai kota seni. Maladi lebih spesifik menggambarkan seni tersebut, yaitu suara gamelan yang terdengar kala malam. "Gamelan penuh irama" yang sayup-sayup terdengar. Terdengar pula "suara seniman yang merayu-rayu."
Lagu tentang kota dibuat dari masa ke masa, antara lain Kota Ambon yang dalam album Song from the Moluccas tertulis sebagai karya Broery Syaranamual. Juga lagu "Kembali ke Jakarta" oleh Koes Plus, "Mutiara Palembang (Golden Wing), "Bukittinggi" (D'Lloyds), "Selamat Tinggal Sukabumi," (Deddy Damhudi), dan "Surabaya" (Dara Puspita), serta "Surakarta" (Christine)
Sungai dan pantai
"Bengawan Solo" terbukti mengalir sampai jauh. Ditulis oleh Gesang pada tahun 1942, lagu itu masih terdengar hingga hari ini. Ada beberapa sungai lain yang juga tercatat dalam lagu. Di antaranya yang terkenal adalah "Di Tepinya Sungai Serayu", "Sebiduk di Sungai Musi", "Sungai Kahayan", dan "Kali Mas"
Gesang dalam lagu "Bengawan Solo" menggambarlan kondisi sungai itu pada musim kemarau dan saat musim hujan. Dia bertutur sepintas tentang riwayat masa lalu, saat sungai itu menjadi jalur penting transportasi niaga.
Gesang (1917-2010) tampak menghayati benar keberadaan sungai yang melintas di pinggiran kota Solo, Jawa Tengah, hingga Gresik, Jawa Timur itu. Dia sering datang ke Jurug dan Langenharjo, dua taman yang berada di tepi Bengawan Solo.
Dalam lagu "Di Tepinya Sungai Serayu", Sutedja (1909-1960) sang komponis bertutur tentang panorama sungai yang melintas di wilayah Banyumas, Jawa Tengah. Cara bertuturnya mengingatkan pada gayamooi Indie, Hindia Belanda yang indah.
Bayangkan sungai bening saat fajar menyingsing, dengan lengkung pelangi di langit dan dibayangi Gunung Slamet sebagai latar. Sebuah deskripsi yang mengingatkan pada lukisan pemandangan alam.
Soetedja yang lahir di Banyumas pernah menyusuri sungai itu saat diajak orangtuanya menengok perkebunan milik keluarga. Di kedua lagu itu, terasa sekali interaksi personal dari sang komponis dengan sungai, membuat orang yang mendengarnya ikut membayangkan mengalirnya sungai.
Berbeda dengan Alfian dalam "Sebiduk di Sungai Musi" dan "Sungai Kahayan". Alfian dalam kedua lagu ini menempatkan sungai sebagai lokus, lanskap, dan latar kisah cinta sesaat. "Sebiduk di Sungai Musi" adalah romantisme penumpang biduk atau perahu yang menyeberangkan orang di sungai Musi. Dua penumpang duduk berdekatan, ingin berkenalan, akan tetapi malu-malu dan hanya saling curi-curi pandang.
Kesempatan berkenalan datang ketika ombak menerpa biduk dan oleng. Pada saat itulah mereka saling bersentuhan karena ketidaksengajaan, dan terjadilah perkenalan. "Terkejut tiba-tiba dia menolehku/ Kugenggam tangannya yang halus mulus". Akan tetapi, pada saat itu sang biduk telah merapat ke pantai. Dan kisah "cinta" berakhirlah di tepi sungai.
Jika "Sebiduk di Sungai Musi" baru "embrio" cerita cinta, "Sungai Kahayan" sudah berupa kisah cinta di atas sungai Kahayan. Sungai sepanjang 600 kilometer yang melintasi Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ini menjadi lokasi kisah cinta.
Panggung persisnya, seperti ditulis dalam lagu adalah di tengah sungai Kahayan. "Dua hati bertemu dan saling berjanji/ Menjalin kasih yang abadi/ Tak pernah ku impikan/ Kasih kan terjalin di tengah sungai Kahayan."
Sungai lain yang dibuat lagu adalah Kali Mas, yaitu "Ballada Kalimas" dari The Gembell's pada awal 1970-an. Kalimas yang melintasi kota Surabaya, dikatakan dalam lagu adalah "saksi dalam perang dan damai." Band asal Surabaya ini menyebut legenda ikan sura dan buaya yang bertarung memperebutkan Kalimas. Disebut juga, Kalimas pernah menampung darah pahlawan.
Seperti diketahui, Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan, dan pernah terjadi pertempuran 10 November. Dalam lagu tertulis "memerah jembatan, memerah pula airmu." Seperti diketahui, Jembatan Merah merupakan jembatan yang melintasi Kalimas. Jembatan Merah sendiri ditulis sebagai lagu oleh Gesang. Secara ringkas, The Gembell's merangkum sosok kota Surabaya dalam "Ballada Kalimas."
Sanur dan Kuta
Pantai-pantai di Bali tampaknya disukai penulis lagu sebagai lokasi indah untuk lagu. Koes Bersaudara menulis "Di Pantai Bali" pada awal 1960-an. Ketika berubah menjadi Koes Plus pada awal 1970-an menulis "Terang Bulan di Pantai Bali." Di antara pantai-pantai di Bali, pantai Sanur tercatat dalam 5 lagu.
Salah satunya karya Alfian yang ia nyanyikan sendiri, yaitu "Senja di Pantai Sanur". Musisi Maryono bersama orkesnya mengiringi, menggarap, dan memainkan saksofon dengan sentuhan nuansa gamelan Bali.
Pantai Sanur juga diperlakukan sebagai lanskap kisah cinta. Akan tetapi, itupun hanya kenangan. Tidak ada deskripsi tentang pantai, kecuali sekadar surya mulai tenggelam saat dua insan mengikat janji.
Begitu pula dalam "Kuta Bali" karya Andre Hehenusa, pantai Kuta menjadi latar kisah cinta. Andre Hehanusa juga menyebut matahari yang hampir tenggelam sebagai setting waktu, seperti juga disebut Alfian. Panorama senja ini memang menjadi "ritual" turisme pantai Kuta. "Di pasir putih kau genggam jemari tanganku/ Menatap mentari yang tenggelam .."
Sejumlah gunung juga ditulis dalam lagu, seperti "Di Gunung Agung" dan "Maha Meru". Begitu pula, danau, telaga, berikut tempat-tempat wisata di sekitarnya. Belakangan sejak era akhir 1990-an, Didi Kempot menulis tentang tempat yang lebih spesifik. Misalnya, Gunung Api Purba di Nglanggeran, Gunung Kidul, dalam lagu "Banyu Langit". Bahkan secara detil ia menyebut terminal, stasiun, dan pelabuhan dalam lagu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar