Judul tulisan ini tampak seperti judul film yang populer pada tahun 2002,Ada Apa dengan Cinta? Sebuah film yang mengisahkan awal kasih Cinta dan Rangga yang kerap jatuh bangun karena Alya beserta teman gengnya. Cinta selalu mengalami kebingungan menentukan pilihan untuk lebih dekat dengan Rangga atau teman-teman gengnya. Sesuai dengan judul tulisan ini, tokoh Cinta digantikan oleh sesosok profesi bernama guru.
Pandemi Covid-19 mengukir kisah nyata yang membingungkan bagi sebagian guru. Mereka bingung mengambil sikap dalam pembelajaran secara dalam jaringan atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Di satu sisi mereka mendapat mandat kebijakan dari pemerintah, sedangkan di sisi lain mendapat kritik tajam dari murid, orangtua, dan bahkan tokoh serta lembaga pemerhati pendidikan. Dari relung hati terdalam, bisa jadi para guru juga bersungut-sungut karena keterbatasan penguasaan teknologi informasi.
Pandemi Covid-19 mengukir kisah nyata yang membingungkan bagi sebagian guru.
Guru terdoktrinasi
Ada rumusan genetika bahwa F = G + L. Fenotip (sifat yang tampak) pada individu dihasilkan dari genotip (warisan sifat orangtua) dan faktor lingkungan dari pengalaman keseharian. Dalam publikasi ilmiahnya, Westwell (2009) mengatakan bahwa pengalaman mampu mengalahkan pengaruh genetis yang diwariskan orangtua. Karakteristik seseorang ditentukan oleh 20 persen genetis dan 80 persen lingkungan.
Patut disadari bahwa situasi yang membingungkan guru berawal dari pembiasaan berpuluh tahun lamanya. Seorang guru yang cerdas secara genetis pun mengalami kebingungan akibat pengalaman keseharian. Paling tidak ada dua pengalaman yang membentuk para guru.
Pertama, adanya ujian nasional (UN). Perangkat uji dengan berbagai kamuflase nama ini telah menjadi algojo nasib murid dan mengerdilkan cara berpikir guru. Tuntutan harus lulus 100 persen dan pertaruhan peringkat sekolah menjadi akar masalahnya.
Selama bertahun-tahun, indoktrinasi ini diwujudkan dengan kegiatan mengajar yang melulu materi dan latihan soal. Isi materi dalam kurikulum harus diberikan semuanya secara tuntas dan lebih mendalam. Guru menjadi tekstual, bukan kontekstual karena buku ajar dan lembar kegiatan siswa (LKS) telah menjadi kitab sucinya.
Kedua, administrasi mengajar guru. Sisi yang satu ini tidak bisa dimungkiri lagi telah menjadi momok bagi guru selama puluhan tahun. Proses cuci otak telah terjadi untuk taat terhadap format administrasi sampai pada detail titik dan komanya.
Kaul ketaatan administratif telah diikrarkan guru sejak menjalani profesi ini. Esensi mengajar bukan lagi pada interaksi belajar, melainkan pada bertumpuk administrasi. Diskusi guru bukan lagi pada cara mendampingi murid, melainkan sekadar boleh tidaknya menggunakan huruf kapital pada lembaran rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Merdeka mengajar
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim ternyata mampu mencabut kedua akar masalah tersebut melalui Program Merdeka Belajar. Berbekal Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2020 dan Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2019, UN telah dihapuskan dan administrasi dibuat sederhana bahkan hanya selembar RPP.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim ternyata mampu mencabut kedua akar masalah tersebut melalui Program Merdeka Belajar.
Lepas dari polemik hak cipta Merdeka Belajar, esensi slogan tersebut telah menjadi obat penenang yang manjur. Harapannya, guru tidak lagi menjejalkan materi ajar dan men-drilling latihan soal. Guru tidak akan tersita waktunya hanya untuk memikirkan laporan administrasi mengajar.
Meskipun demikian, seperti rumusan genetika tadi, pengalaman pahit dan luka batin guru telah mendarah daging. Guru masih saja ragu menjalankannya.
Meskipun situasi darurat, guru tetap bergeming dan mentransfer semua materi kurikulum seperti biasanya. Mereka takut salah jika tidak sesuai dengan format yang sudah ada sebelumnya, terlebih adanya raja-raja kecil yang sering punya kebijakan sendiri. Akibatnya, beban luar biasa bagi murid dan pembiayaan kuota internet semakin menggila.
Akhirnya, mungkin dengan gundah-gulana, Mas Menteri harus turun tangan lagi melalui Keputusan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Nomor 018/H/KR/2020 setebal 1.680 halaman yang secara eksplisit "mengajari" guru berani memangkas materi ajar.
Pertanyaan reflektifnya adalah di mana kreativitas para guru? Mengapa guru menjadi pribadi yang tidak berdaya, tidak punya kemerdekaan diri dalam mendidik karena harus menunggu petunjuk detail atasan? Mungkinkah Merdeka Belajar tidak dimaknai sekaligus sebagai Merdeka Mengajar?
Dua pengalaman tadi telah menyebabkan daya mati, bukan daya hidup yang kreatif. Padahal, guru harus mengajarkan kreativitas kepada murid sebagai bekal kecakapan abad ke-21. Mungkinkah seseorang mampu memberi jika tidak memiliki terlebih dulu? Jangan-jangan kreativitas yang dikenalkan hanyalah timbunan teori belaka.
Dalam keterpaksaan revolusi pendidikan saat ini, daya hidup nan kreatif guru bisa diwujudkan. Guru bukanlah robot penganut dogma suci kurikulum yang tidak boleh nyeleneh(berbeda dari kebiasaan) dan berpikir lateral. Guru harus menyadari bahwa subyek pembelajaran adalah murid.
Guru bukanlah robot penganut dogma suci kurikulum yang tidak boleh nyeleneh (berbeda dari kebiasaan) dan berpikir lateral.
Membuat murid bahagia, terdampingi, dan terasah talentanya menjadi hal yang lebih mulia sesuai jumlah materi yang ada, format kesesuaian administrasi, dan pemenuhan jam mengajar. Guru seharusnya tidak perlu bingung menghadapi pembelajaran secara berani ( online ) karena inti pembelajaran online tetap pada pembelajaran, bukan online -nya.
Terima kasih telah berkenan mengapresiasi tulisan saya. Salam kenal & salam hormat.
BalasHapus