Judul Buku: Dua Dekade Musik Indonesia (1998-2008)
Penulis: Kelik M Nugroho
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: Cetakan pertama, 2020
Tebal: ix + 355 halaman
ISBN: 978-602-481-309-3
Pada saat resensi ini ditulis, tersiar kabar ironik di akun Instagram @iramanusantara. Mereka sendiri yang mengumumkan berita buruk itu, diikuti swa-ultimatum yang terasa ngilu. Inti siarannya begini: "Kami tutup, atau lanjut?"
Sebagai informasi, Irama Nusantara telah tujuh tahun berkontribusi mengarsipkan musik populer Indonesia, salah satunya dengan jalan penyimpanan, perawatan, digitalisasi, dan penyiaran arsip melalui website.
Semenjak pandemi korona menyergap dan menyeret banyak organ ke "lubang hitam", Irama Nusantara ikut keok, atau setidaknya hampir keok. Maka mereka berinisiatif mengadakan galang dana untuk menyelamatkan diri. Nanti kita lihat, jika tak ada hasil signifikan, maka pada September 2020 mereka akan memilih jalan terakhir: gulung tikar.
Semenjak pandemi korona menyergap dan menyeret banyak organ ke 'lubang hitam', Irama Nusantara ikut keok, atau setidaknya hampir keok.
Pengantar di atas menurut saya sangat pas dengan momen meluncurnya buku Dua Dekade Musik Indonesiaini. Ada makna sekaligus penegasan bahwa kerja pengarsipan musik di Indonesia masih terus dilangsungkan, bahkan makin semarak, terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi.
Setidaknya tiga buku serupa sebelumnya, yaitu 100 Tahun Musik Indonesia (Denny Sakrie, 2015),Almanak Musik Indonesia (Kelik M Nugroho, 2015), dan 100 Konser Musik di Indonesia (Muhidin M Dahlan, Anas Syahrul Alimi, 2018), menjadi sangat menarik jika diestafetkan dengan buku ini. Semuanya sama-sama berusaha memadatkan musik yang tadinya "seni waktu" (yang bersifat sementara, didengarkan dan hilang/einmalig), menjadi "seni data dan informasi" yang memicu terciptanya pengetahuan dan manfaat.
Kelik M Nugroho, penulis buku ini, berlatar belakang seorang jurnalis yang menggemari musik dan memiliki perhatian besar terhadap pendokumentasian kronik dan leksikonik. Buku ini adalah kontribusinya yang kedua, setelahAlmanak Musik Indonesia. Niatnya sama-sama ingin membaca jejak aktivitas-kekaryaan musik di Indonesia secara periodik.
Diakui Kelik bahwa sebetulnya masih sulit untuk menemukan gambaran perkembangan musik pop Indonesia secara periodik. Generasi demi generasi bermunculan, kemudian tenggelam meninggalkan batas-batas yang tidak jelas.
Misalnya jika kita melihat bentangan tersebut berdasarkan kurun dekade, nyaris tidak ada simpulan-simpulan yang signifikan dari tiap perkembangannya, data yang dominan hanyalah berupa identifikasi atas corak-corak musik yang tengah tren pada tiap dekade. Misalnya tren rock dan eklektik yang begitu luar bisa di dekade 1970-1980-an.
Sebab itu, selain mendata, sebetulnya buku ini juga mengetengahkan wacana, justru dengan pertanyaan lebih kritis: Apakah memang perlu sejarah musik Indonesia kemudian dibingkai ke dalam periodisasi semacam ini? Bukankah lebih cocok (sepertinya), berangkat dari momentum-momentum saja?
Misalnya hadirnya perusahaan-perusahaan rekaman lawas, termasuk Lokananta, kemudian munculnya Bintang Radio dan Televisi, gugurnya sentralisasi industri musik, dan seterusnya. Semua itu memberi pengaruh apa, ada kemajuan dan kemunduran seperti apa? Belum tahu, sepertinya menarik untuk didiskusikan kembali.
Diakui Kelik bahwa sebetulnya masih sulit untuk menemukan gambaran perkembangan musik pop Indonesia secara periodik.
Substansi
Buku ini memang tampil "berani". Ada proses kreatif yang sebetulnya tidak sederhana, yaitu pergulatan ide untuk mengetengahkan baris nama-nama yang paling berpengaruh dalam perjalanan musik di Indonesia. Misalnya buku ini menampilkan data yang sejujurnya "riskan" untuk diketengahkan, yaitu "10 Besar Band Indonesia" yang dipilah dalam dua rentang waktu (1945-1997 dan 1998-2018). Riskan karena memakai kata "10 Besar" pada judul babnya.
Ada kemungkinan memicu "cuitan" hingga kontroversi. Misalnya: Band apa saja yang (dianggap) terlewat dari amatan? Apa parameter logisnya sehingga yang ini disebut besar, yang itu tidak? Dan seterusnya. Sudah terasa rumitnya jika diperdebatkan, dan sejauh kita tahu, musik bukanlah lomba; eksistensi sebuah band rasanya juga bukan demi tujuan dirankingkan seperti itu. Pada sisi lain, "keberanian" ini juga menarik sebagai pemantik diskusi-diskusi lebih detail sesudahnya.
Bab "10 Besar Band Indonesia" kemudian diikuti dengan "Daftar 100 Band Indonesia (1998-2018)" dan "Daftar Penyanyi Indonesia (1998-2018)". Kedua bab tersebut bermanfaat untuk memantau kembali "siapa-siapa yang ada" dan "apa saja contoh karya-karya mereka". Isinya sekadar daftar pada umumnya yang berhasil menjadi etalase dari sekian banyak "produk-produk". Sangat memudahkan kita membacanya tanpa harus selancar mencari tahu ke sana-kemari melalui banyak sumber.
Memang terasa ada yang lebih bisa didiskusikan selain hanya menyimak riwayat masing-masing band/penyanyi itu.
Begini, dua dekade untuk ukuran usia manusia adalah rentang waktu yang pendek, beda halnya dengan perjalanan musik, itu kurun yang melelahkan. Tapi sayangnya, industri musik di Indonesia pada faktanya lebih banyak menghadapi nasib buruk, di tengah segala kegairahan, kesuksesan, dan glamoritasnya. Sejujurnya kita juga masih belum berhasil menemukan orientasi dan kontribusinya bagi banyak hal, entah kebudayaan, ekonomi, maupun sosial-kemanusiaan. Penekanan ini agaknya juga menjadi penting.
Dua riset terkini: (1) Memetakan Ekosistem Musik Indonesia (Dina Dellyana, 2020), dan Pemetaan Ekologi Sektor Musik Indonesia (Idhar Resmadi, 2020), agaknya jadinyambung dan mesti terhubung dengan kerja pendataan semacam buku ini. Mengingat, dari 12 rekomendasi yang mencuat di forum Konferensi Musik Indonesia (KAMI), tahun 2018 dan 2019, ada tiga hal yang menjadi pengerucutan dan perhatian penting: Sistem pendataan dan pengarsipan terpadu, infrastruktur musik, dan pendidikan musik.
Semua itu masih berupa pemetaan, masih terasa "angan-angan", masih menjadi harapan, bahkan beberapa terasa klise: "Ah, apa mungkin mewujudkan semua itu?" Realisasi dan problematikanya akan menjadi soal berikutnya. Ada pertarungan antara optimisme dan pesimisme yang luar biasa.
Pada intinya, bagi para pembaca, pembacaan riwayat seperti ini memang perlu diikuti dengan aktivitas/benang merah yang lain, setidaknya ada tiga:pertama, mendengarkan secara langsung karya-karya mereka; kedua, melihat kemungkinan hubungannya dalam berbagai konteks: ekonomi, kebudayaan, sosial, dll, salah satunya dengan cara menyimak misi karier band/penyanyi, melengkapi perhatian kita pada produksi dan distribusi karya mereka. Dari situ akan tergambar medan perjuangan band/penyanyi di luar uang dan popularitas.
Persis seperti yang dikatakan penyusunnya: "Musik tak mungkin berkembang sendirian." Ketiga, meneruskannya menjadi dialog-dialog terbuka dengan topik yang lebih luas, dan rasanya harus makin berlangsung intensif, supaya musik dapat terus berkembang dalam wacana dan kritik.
Persis seperti yang dikatakan penyusunnya: "Musik tak mungkin berkembang sendirian."
Penutup
Bagian kronik musik 1998-2018 di buku ini (hlm 181-354) adalah yang paling menarik pada sisi keseimbangan pada penyajian, artinya tidak sebatas industri musik yang moncer. Ada ratusan informasi cukup detail mengenai momentum-momentum di dunia musik Indonesia berdasarkan berita-berita di media massa, antara lain momen konser, festival, penerimaan penghargaan, meninggalnya musisi, rilisan album, dan seterusnya.
Buku Dua Dekade Musik Indonesiaselayaknya membuat kita semakin optimistis bahwa Indonesia adalah ruang besar dengan segala aktivitas kebudayaan musik yang beragam. Keberagaman yang ada di dunia musik Indonesia, khususnya di lanskap industri musik, memang sudah selayaknya diikuti dengan pemikiran-pemikirannya. Hal ini supaya musik juga bisa dimaknai tidak sekadar sebagai gaya hidup atau tren semata.
Keadaan pada masa kini misalnya, musik populer lebih sering dilihat sebagai pencitraan dan uang, musisi makin berlomba untuk eksis cari tenar dan pundi-pundi melalui internet. Visual lebih menonjol ketimbang musik. Kita juga sudah jarang sekali berdiskusi soal kualitas musik secara intim, seperti pembicaraan-pembicaraan pada setidaknya dekade 1970-1980-an. Nyaris saat ini semua terasa "rata-rata".
Kita juga sudah jarang sekali berdiskusi soal kualitas musik secara intim, seperti pembicaraan-pembicaraan pada setidaknya dekade 1970-1980-an.
Buku ini selayaknya memancing diskusi dan mengangkat derajat pengetahuan kita tentang musik. Dan tentu saja, pengarsipan musik harus tetap jalan terus. Bahkan, kalau perlu meluas dengan pengarsipan genre musik dangdut, tradisional, pop religius, dan klasik yang dalam kenyataan juga menjadi bagian sehari-hari kehidupan masyarakat Indonesia.
Sebab tak lengkap rasanya jika Dua Dekade Musik Indonesia tak mencatat eksistensi musik campur sari dan kehadiran The God Father of Broken Heart alias Didi Kempot yang sangat fenomenal dalam belantika musik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar