Pak Jakob Oetama, salah satu pendiri Kompas Gramedia, dahulu di muka rapat redaksi kerap memberi dorongan, "wartawan harusgumunan". Maknanya, wartawan harus terheran-heran atau tak habis mengerti begitu melihat gejala, peristiwa, atau ide yang aneh, berbeda, dan menyimpang. Entah sesuatu itu baik atau buruk.
"Jika wartawan tidak gumunan, semua peristiwa akan dianggap biasa. Wartawan tidak punya antusiasme lagi karena menurut dia itu hal yang biasa," seperti ditulis Ninok Leksono dalam buku Yuk, Simak Pak Jakob Berujaryang dikeluarkan Penerbit Buku Kompas (2016).
Memang pandangan ayo gumunan itu berlawanan dengan ojo gumunan, bagian dari adagium kejawen yang bertutur "ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh". Makna yang ingin disampaikan Ki Semar kepada tiga putranya itu adalah "jangan gampang terkejut, jangan mudah heran, jangan sok" menyaksikan atau menghadapi apa yang terjadi.
Tujuannya baik, khusus ojo gumunanbermaksud agar orang tetap tenang dan tak mudah terkesima, apalagi takjub, dalam melihat suatu fenomena atau kejadian. Siapa tahu itu hanyalah "sulapan" atau tipu daya.
Pandangan ayo gumunan, sebaliknya, mengajak orang agar tak hanya berdiam diri, melainkan bertanya, meneliti, membongkar, atau bahkan kalau perlu menggugat apa saja yang tak biasa. Agaknya ini berlaku bukan saja untuk wartawan, tetapi juga bagi para cendekiawan, pejabat, dan warga yang merasa terpanggil melakukan perbaikan demi kemajuan negaranya.
Hemat saya, pandangan ini lebih relevan dengan zaman ketika partisipasi dan kolaborasi telah menjadi norma baru kehidupan. Keheranan yang cuma terpendam di batin bukan saja tak menguntungkan, bahkan dapat merugikan diri sendiri.
Misalnya, seorang pemuda yang pindah dari desa yang asri dan bebas dari polusi ke Ibu Kota, lalu menetap di daerah dekat bantaran sungai yang airnya kotor, hitam, dan berbau comberan menyengat.
Dalam hal ini, ia sebenarnya mempunyai tiga pilihan. Pertama, protes kepada pengurus RT, RW, dinas kebersihan, sampai ke gubernur perihal lingkungannya yang tercemar. Kedua, memilih hengkang ke tempat yang lebih baik walaupun uang sewanya lebih mahal dan lokasinya lebih jauh dari tempat kerja. Ketiga, membiasakan menerima apa pun keadaannya. Pasrah.
Baca juga : Jakob Oetama, Bekerja dengan Hati
Jika alternatif terakhir yang dipilih, setelah bertahun-tahun, apa yang semula terlihat (kasamata) atau seen menjadi unseen (tak kasatmata). Air kotor sudah tak dilihatnya kotor. Begitu pula bau busuk, sudah tak tercium lagi. Panca inderanya menjadi tumpul, kepekaannya berangsur hilang. Sama seperti orang yang melihat korupsi setiap hari. Karena sudah terbiasa, menjadi ora gumunan lagi.
Sebenarnya frasa ayo gumunan itu dekat dengan rasa ingin tahu (curiosity). Terdorong oleh rasagumunan, orang kepengin tahu, mencari tahu, atau meneliti lebih jauh. Maka, terbukalah kemungkinan terjadinya penemuan-penemuan baru berupa benda-benda, ide, sistem, atau tersibaknya sisi-sisi tersembunyi, baik yang buruk maupun yang baik.
Senantiasa manusia pemula
Dalam ajaran Zen ditekankan agar kita senantiasa bersikap sebagai manusia pemula, betapapun kita sudah berpengalaman ataupun menjadi "pakar" dalam suatu bidang. Jadi, dengan merasa sebagai pemula, rasagumuman itu akan terpelihara terus, seperti anak kecil yang polos. Dalilnya yang terkenal seperti termuat dalam buku Zen Mind, Beginner's Mind atauAkalbudi Zen, Akalbudi Pemula yang disebarluaskan oleh Shunryu Suzuki.
Sebagai contoh, sekalipun telah ribuan kali melihat tanaman kembang sepatu, sewaktu menatapnya kembali, timbul rasa tergelitik karena melihat sesuatu yang baru atau keindahan yang selama ini terlewatkan, seperti teksturnya, warna merahnya, ataupun bentuknya yang unik. Demikian pula tatkala membaca ulang karya novel Dostoyevsky ataupun nonfiksi Viktor Frankl, senantiasa muncul makna baru yang berlapis.
Dalam kata-kata Shunryu Suzuki, "Akal budi seorang pemula itu selalu kosong, bebas dari kebiasaan para pakar, siap untuk menerima, meragukan, dan terbuka dengan segala kemungkinan." Inilah pendekatan pikiran yang melihat segala sesuatu seperti apa adanya, tanpa penambahan, tanpa pengurangan.
Kalau "tiga" katakan "tiga", jangan dipersepsikan sebagai "delapan", ataupun sebaliknya angka "delapan" jangan dikurangi menjadi "tiga". Terimalah kenyataan dahulu, setelah itu pantang menyerah untuk menjelajahi segala macam kemungkinan.
Masih kata Suzuki, "Dalam benak pemula terdapat banyak sekali kemungkinan, tetapi dalam pikiran pakar hanya ada beberapa." Sebuah pernyataan yang kontradiktif atau malah paradoks kebenaran. Seorang pemula gumunan melihat dari luar kotak (out of the box) dan karena polos tak melihat ada limitasi. Sebaliknya seorang pakar dapat terlalu asyik terbenam dalam kotaknya (inside the box).
Akan menjadi lain kalau si pakar itu cukup rendah hati dan terbuka melihat dirinya sebagai pemula. Sekalipun orang luar menyebutnya "pakar", diam-diam ia menyadari bahwa ilmunya sebenarnya sudah ketinggalan oleh laju perubahan. Sementara untuk sejumlah hal, ia juga menyadari, pendekatan keilmuan tak bisa lagi tunggal, tetapi perlu multidisipliner.
Guncangan zaman
Hari-hari ini, apalagi setelah pandemi Covid-19, kita merasakan situasi serba tak menentu, rumit, mudah guncang, dan kurang jelas mana yang bisa dijadikan pegangan. Itulah intensitas zaman VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).
Sebagian orang berpaling, mendekat ke Tuhan. Betul, tidak salah. Hanya saja, sebagai insan yang dikaruniai akal budi hebat, ada tuntutan untuk proaktif, mencari jalan keluar, dan tidak menunggu.
Dalam hal ini, apa yang pernah diutarakan begawan manajemen Peter Drucker kerap menjadi rujukan, yakni "Bahaya terbesar saat turbulensi bukanlah turbulensi itu sendiri, melainkan bertindak dengan logika hari kemarin." Apa kira-kira yang dimaksud Drucker dengan "logika hari kemarin"?
Hemat saya, agaknya itu adalah logika abad industri (pabrik) yang melihat sesuatu secara linier; hubungan sebab akibat yang bersifat sederhana dan langsung; semua (manusia, organisasi) dilihat sebagai "mesin" demi efektivitas dan efisiensi; bersikap apriori dengan berpikir secara terbalik (reverse thinking); dan percaya segala sesuatu telah tersedia jawabannya.
Tatkala "logika hari kemarin" itu tak berjalan dan satu per satu manusia, institusi, dan perusahaan mulai merosot dan bertumbangan, sikap terbaik adalah kembali ke "petak pertama" (square one), yakni pemula yang gumunan. Nilai-nilai luhur, kearifan manusia bijak, seperti integritas, kerja tuntas, disiplin, dan memanusiakan manusia, tetap menjadi pegangan.
Namun, beberapa pola pikir, model bisnis, strategi unggulan, dan taktik sepertinya sudah kedaluwarsa sehingga perlu perubahan segera. Sayup-sayup seperti terdengar lagi nasihat paling pas, yakni menemukan dirimu lagi dan lagi (reinventing yourself again and again). Kita tentu tak ingin mandek, berhenti di jalan yang begitu akrab dikenali.
Salah satu bidang yang banyak melakukan eksperimentasi, inovasi, dan terobosan niscaya adalah kegiatan yang bertautan dengan digital (abad digital). Kita mungkin takjub dengan berbagai penemuannya. Menelaah profil para perintisnya bahkan akan membuat kita semakin terkesima.
Ambil contoh, Jack Ma yang "bodoh" di sekolah. Ia sama sekali tak paham teknologi informasi (TI) kecuali bahwa ia gumunan dengan cara kerja internet. Ia kemudian berhasil membangun Alibaba, satu dari dua imperium e-commerce terbesar di dunia.
Contoh lain, Steve Jobs yang putus sekolah setelah enam bulan kuliah, yang mungkin lebih mengerti kaligrafi ketimbang teknologi. Ia kemudian berhasil membangun kerajaan Apple. Mark Zuckerberg, pendiri Facebook yang studinya di bidang psikologi, tetapi tertarik mempelajari codingdengan prestasi sekelas tingkat tiga saja. Juga Elon Musk yang kerap dipandang sebagai expert generalist saja. Ia seorang yang meramu prinsip-prinsip pokok dari berbagai keilmuan.
Watak mereka satu sama lain jauh berbeda. Namun, ada sejumlah kesamaan di antara para perintis itu, yakni gumunan, pembelajar sejati, memiliki daya lenting tinggi atau cepat bangkit begitu menemui kegagalan. Dan yang paling utama adalah integrator atau orang yang suka menyambung yang tak tersambungkan (connect the unconnected) atau dalam istilah Steve Jobs connecting the dots, menyambung titik-titik yang bagi orang luar tak ada relevansinya, tetapi justru dari sanalah dimulai penemuannya.
Ada benarnya apa yang diutarakan Einstein bahwa imagination is more important than knowledgeatau imajinasi itu lebih penting dari ilmu pengetahuan. Tentunya, imajinasi yang tadinya melayang-layang kemudian berhasil "dibumikan"; dicoba berkali-kali melalui kegagalan dan akhirnya bisa diterima sebagai inovasi; atau dalam konteks zaman kekinian berupa terobosan inovasi yang disruptif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar