Kota Tangerang Selatan, Banten, beberapa waktu ini meriah. Spanduk besar dan kecil dengan foto-foto para calon wali kota dan wakil wali kota memasang senyum termanis mereka tersebar di banyak sudut kota. Saat pendaftaran calon pasangan pemimpin di Komisi Pemilihan Umum Daerah setempat, aturan agar massa pendukung tidak berkumpul, menjaga jarak, dan bermasker dilanggar beramai-ramai.
Kejadian serupa terjadi hampir merata di 270 kabupaten/kota peserta pilkada yang tersebar di sembilan provinsi. Ditindak karena melanggar protokol kesehatan Covid-19? Sejauh ini, tidak.
Padahal, itu baru tahap awal dari proses panjang pemilihan kepala daerah serentak tahun ini. Masa kampanye segera bergulir diikuti masa tenang sebelum pemilihan langsung pada 9 Desember 2020. Selanjutnya, secara garis besar, akan ada proses penghitungan suara sampai sidang pleno KPU penetapan perolehan suara. Kemudian akan ada pengukuhan para pemimpin terpilih secara resmi yang biasanya disertai perayaan di kota/kabupaten masing-masing.
Dalam semua tahap, pelibatan massa selalu berpotensi terjadi lagi meskipun di atas kertas larangan terkait hal itu tertulis. Ancaman sanksi tegas pun ada.
Ketika dihujat massa dan ditegur lembaga berwenang karena melanggar aturan, permintaan maaf bertaburan dari para calon pemimpin atas kerumunan dan potensi penularan Covid-19 yang mereka sebabkan. Itu dinilai sudah cukup.
Namun, maaf tinggal maaf. Nasi sudah menjadi bubur. Kluster pilkada penularan wabah sudah telanjur muncul. Tak kurang anggota KPU, Badan Pengawas Pemilu, para calon pemimpin, hingga orang-orang di lingkaran mereka dan tak tertutup kemungkinan masyarakat yang turut berada di kerumunan saat pendaftaran sudah ada yang tertular wabah.
Menuju tujuh bulan pandemi melanda Indonesia, laju penambahan kasus positif tak putus memecahkan rekor baru hampir setiap hari. Publik masih dirundung derita. Tak hanya ancaman dihinggapi virus korona baru yang bisa berujung sakit Covid-19 parah hingga kehilangan nyawa, tetapi ekonomi sebagian masyarakat berada di ujung tanduk karena terdampak pandemi. Indonesia juga sudah dekat, bahkan dekat sekali, masuk ke jurang resesi.
Tidak seperti proyek infrastruktur pembangunan jalan tol atau program-program pemerintah lainnya yang sangat terukur dan bisa dipastikan kapan proses berlangsung sampai berakhir, pandemi ini tidak diketahui kapan masa berakhirnya. Menangani pandemi butuh kepala jernih, napas panjang, dan strategi untuk mewadahi berbagai perubahan cepat yang tak bisa diperkirakan sebelumnya.
Menyadari seriusnya masalah di negeri ini akibat pandemi membuat banyak pihak bertanya apakah perhelatan demokrasi akbar pilkada secara serentak harus diadakan tahun ini juga.
Namun, pemerintah menegaskan, pilkada tetap berlangsung, antara lain karena tidak ada yang tahu kapan pandemi berakhir. Jadi, kalau ditunda, sulit ditentukan diundur sampai kapan. Selain itu, banyak digaungkan juga sebelumnya bahwa pilkada adalah wujud pemenuhan hak politik rakyat dalam negara penganut demokrasi. Menunda pilkada dianggap menodai demokrasi yang kelahirannya sekitar 22 tahun lalu membuka babak baru kehidupan bernegara selepas era Orde Baru yang sangat sentralistis.
Suara rakyat, suara Tuhan
Bicara demokrasi, kita perlu kembali ke masa lalu di saat pemikiran tentangnya digodok dan dilahirkan diikuti pengembangannya di berbagai negara di dunia. Bicara demokrasi juga tidak bisa lepas dari tumbuh pesatnya kota-kota di dunia sejak beribu tahun silam. Kota-kota dengan konsentrasi tinggi jumlah penduduk dengan berbagai macam latar belakang memunculkan desakan penataan yang lebih baik agar semua orang mendapat tempat memadai di sana.
Pada abad ke-4, filsuf Aristoteles melahirkan pemahaman tentang warga kota yang budiman. Dalam jurnal The Virtues of Urban Citizenship, Frank Cunningham dari University of Toronto, Kanada, mengutip dokumen pemikiran filsuf Yunani tersebut yang ditulis ulang pada abad ke-13 dan pada 1943.
Cunningham menyatakan, warga negara, mengutip Aristoteles, adalah orang yang berbagi dalam pemerintahan dan diperintah. Penerapan konsep warga negara ini bisa berbeda di bawah berbagai bentuk pemerintahan. Akan tetapi, dalam keadaan terbaik, dia adalah orang yang mampu dan bersedia untuk diperintah dan memerintah dengan suatu pandangan demi kehidupan penuh kebajikan.
Pada masa Aristoteles, warga kota mewakili orang-orang berpendidikan, berbudi baik, taat pada hukum yang berlaku, dan memiliki suara atau hak pilih. Konsep warga kota Aristoteles kala itu masih bias karena kaum perempuan dan budak tidak termasuk mereka yang bisa disebut sebagai warga kota terhormat.
Meskipun demikian, konsep dasarnya yang lantas diadopsi sampai di era modern sekarang adalah suara setiap penghuni kota amat penting, yang mempresentasikan suara publik. Konsep awalnya adalah menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ini sebagai kontrol terhadap para pemimpin daerah juga negara untuk tidak bertindak di luar wewenangnya, apalagi sampai merugikan dan mengorbankan nasib rakyatnya.
Dalam perkembangannya, seperti dijabarkan dalam "Cities and Citizenship" oleh James Holston dan Arjun Appadurai (Public Culture, 1996), kota dan demokrasi selalu menjadi panggung politik bagi penguasa, mereka yang berhasrat menjadi penguasa, juga mereka yang meyakini berjuang di jalan itu akan bisa memperbaiki nasibnya.
Selain itu, di era migrasi masal, globalisasi ekonomi, serta pemahaman dan pemenuhan akan hak konstitusional warga yang naik turun, kini kota-kota disebut makin condong mewakili lokalisasi kekuatan global, bukan lagi semata suara rakyat kebanyakan. Dengan demikian, suara publik menjadi semacam piala yang butuh direbut untuk mengantarkan seseorang memenangkan kursi pemimpin di tingkat kota/kabupaten. Selanjutnya, hal ini menjadi modal untuk menembus kursi jabatan di atasnya, bahkan sampai menjadi penguasa negeri.
Pergeseran, kalau bukan melencengnya, demokrasi saat ini dibandingkan dengan konsep awalnya dulu membuat kita bisa melihat kembali apakah pesta rakyat bernama pilkada tetap bisa digelar kala pandemi ini. Dengan segala keterbatasan, terguncangnya negeri akibat pandemi, apakah kita masih mampu menjamin pelaksanaan pilkada sesuai protokol kesehatan? Dan, bagaimanakah wujud jaminannya itu? Apakah bisa benar-benar dipegang dan dituntut pertanggungjawabannya jikalau ternyata meleset dari yang dijanjikan?
Yang kasatmata saat ini, warga masih butuh didampingi secara intensif agar bisa melewati shock akibat pandemi dan memahami dampak pandemi terhadap tiap individu ataupun negara sehingga bisa diajak untuk fokus menjalankan kebiasaan baru patuh pada protokol kesehatan. Pendampingan warga ini menuntut konsentrasi tingkat tinggi, tidak bisa dipecah dengan isu lain yang sama-sama butuh perhatian besar, seperti perhelatan pilkada di separuh lebih daerah dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia.
Pendampingan warga ini menuntut konsentrasi tingkat tinggi, tidak bisa dipecah dengan isu lain yang sama-sama butuh perhatian besar, seperti perhelatan pilkada di separuh lebih daerah dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia.
Penundaan pilkada selama enam bulan atau satu tahun ke depan bisa menjadi opsi baik. Dan, selama periode itu, secara disiplin dijalankan tahapan proses pengendalian pagebluk yang jelas dan terarah. Hal ini akan membuat siapa pun siap menyukseskan pesta demokrasi yang tertunda.
Demokrasi tidak akan mati
Kekhawatiran jika pilkada diundur akan ada kekosongan pemimpin resmi berkekuatan hukum sehingga penanggulangan pandemi di daerah terhambat masuk di akal. Akan tetapi, bukan berarti jawaban dari masalah ini hanya satu, yaitu pilkada tetap diselenggarakan. Ada usulan agar, jika pilkada tetap dilakukan, semua tahapan harus dilaksanakan secara virtual. Namun, apakah infrastruktur yang diperlukan serta publik kita saat ini juga sudah siap?
Pandemi ini bencana nasional. Sudah selayaknya penanganan satu komando dengan memperhatikan karakteristik khas daerah. Butuh pemerintah pusat dan daerah yang solid, satu kata, demi mengatasi masalah mendasar ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar