Sebelum berulang tahun ke-77, pada 10 Agustus 2020 lalu, penyair Umbu Landu Paranggi menelepon dari Denpasar. Kalimat pertama yang ia ucapkan senantiasa, "Apa ada angin di Jakarta?" Aku tahu pasti, ini judul puisi yang ditulisnya pada masa-masa awalnya menjadi manusia urban di Yogyakarta, setelah mengembara dari pedalaman Sumba Timur.
Selengkapnya puisi itu berbunyi: //Apa ada angin di Jakarta/Seperti dilepas desa Melati/Apa cintaku bisa lagi cari/Akar bukit Wonosari/Yang diam di dasar jiwaku/Terlontar jauh ke sudut kota/Kenanganlah jua yang celaka/Orang usiran kota raya/Pulanglah ke desa/Membangun esok hari/Kembali ke huma berhati//. Murid terdekat Umbu, Emha Ainun Nadjib, pernah menulis esai dengan judul sama, yang tergabung dalam buku Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya (1983).
Cak Nun, demikian Emha disapa, memberi konteks pada puisi Umbu, sehingga menemukan korelasinya dengan situasi Jakarta, sebagai titik urban paling genting. Sementara Mlati dan Wonosari diposisikan sebagai kota (kecil) dengan segala simbol keudikannya. Jakarta, dalam esai itu, disebut sebagai simpul segala peristiwa, bahkan situs penting bagi keglamoran kehidupan kelas menengah kota.
Mobilitas persilangan orang-orang "desa" dan orang-orang "kota", sehingga disebut urban, terjadi di ganglion kota, seperti terminal, stasiun, pasar, mal, pabrik, dan bahkan perkantoran. Mobilitas yang tinggi itulah yang kini jadi masalah terbesar di saat pendemi. DKI Jakarta tak pernah beranjak dari posisi teratas dalam "menyumbang" angka positif Covid-19.
Angka statistik pada 28 Agustus 2020, di DKJ Jakarta ditemukan 869 kasus baru, sehingga menjadi 37.082 kasus, sedangkan di Jawa Timur 417 kasus baru, sehingga total menjadi 32.113 kasus. Secara keseluruhan angka harian di Indonesia, pertambahan positif Covid-19 pada 29 Agustus 2020 meledak ke angka tertinggi, yakni 3.308 kasus!
Kepada Umbu, sebelum ledakan kasus positif Covid-19 ini terjadi, aku bilang, "Angin yang deras selalu menampar stasiun, terminal, mal, dan gedung-gedung tinggi di Jakarta, Bung."
"Kalau begitu tetaplah berumah," kata Umbu.
Bercakap dengan Umbu selalu penuh simbol sehingga harus pandai-pandai memberi tafsir. Ia tak pernah langsung mengatakan keinginan sesungguhnya. "Berumah" telah mengingatkan aku pada puisi Umbu yang lain: //dengan mata pena kugali gali seluruh diriku/dengan helai-helai kertas kututup nganga luka lukaku/kupancing udara di dalam dengan angin tanganku/begitulah, kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku// ("Seremoni", 1978).
Sudah lama Umbu berumah di unggun kata-kata. Ia tak punya alamat dalam pengertian sesungguhnya. Jika suatu kali kau menemukannya sedang jalan malam-malam, dan mencoba mengantarkannya pulang, Umbu selalu bersedia, tetapi aku yakin tak akan sampai di rumah. Ia akan selalu bilang, "Saya turun di dekat gardu saja. Nanti kau terus ya…." Begitu selalu, sehingga tak seorang pun tahu di mana Umbu menetap.
Puisi bagi Umbu, sangkan paraning dumadi, semacam jalan menuju ke asal muasal dari hidup dan ke mana tujuan dari hidup ini berlayar. Kata Umbu, hidup selalu menuju pada keesaan Tuhan untuk menyelami nilai-nilai kemanusiaan sejati. "Puisi itulah tujuan hidup…," katanya suatu hari di Pantai Sindhu, Sanur, Bali.
Angin berembus dari Selat Badung mengantarkan aroma asin. Kami berempat, bersama penyair Warih Wisatsana dan sutradara Agus Noor, menyesap botol terakhir sebelum tengah malam benar-benar menyungkup pantai. Sanur selalu menguarkan aura mistis di malam hari. Debur ombak, siulan angin, dan lolong anjing menambah dingin hati kami masing-masing.
Umbu masih mengoceh tentang masa lalunya yang berani menyeberangi sepi sebelum tiba di Yogyakarta sebagai anak desa ingusan. Maunya, kata dia, bersekolah di Tamansiswa, tetapi karena terlambat mendaftar, ia terdampar di SMA Bopkri, Kotabaru, Yogyakarta. "Tetapi di situ malah ketemu Ibu Lasiyah Soetanto, guru Bahasa Inggris yang tidak menggurui," tutur Umbu.
Lasiyah Soetanto sampai sekarang dianggap sebagai guru sejati. Ia membiarkan Umbu asyik menulis sajak di dalam kelas, justru saat-saat jam pelajaran berlangsung. "Itu kemewahan," ujar Umbu. Benar saja, ketika sajak-sajak Umbu diterbitkan di koran-koran terbitan Yogyakarta pada tahun-tahun 1960-an, Lasiyah mengapresiasinya. Lantaran itu, Umbu pelan-pelan merasa bahwa jalan hidupnya adalah puisi, tak ada lainnya. Sesungguhnya ia kemudian berkuliah di dua fakultas di Kota Yogyakarta, tetapi keduanya ia tinggalkan untuk "mengabdi" pada puisi.
Awal tahun 2020, aku bertemu Sutardji Calzoum Bachri dalam satu perhelatan bernama Tegal Mas Island International Poetry Festival 2020, yang digagas penyair Isbedy Stiawan ZS. Bang Tardji, demikian ia selalu disapa, tak merasa canggung bergaul dengan para penyair pemula. Ia bahkan menunggu di bibir pantai saat-saat para penyair bermain air.
Dalam percakapan di bawah pohon waru denganku, Bang Tardji bilang, "Puisi ini seperti jalan hidupku, sudah kucoba berbagai jalan, ketemu puisi selalu." Bang Tardji pernah berkuliah di Bandung, dan anehnya mengambil fakultas yang sama dengan Umbu, tetapi juga tidak selesai. Ia kemudian asyik masyuk ke dalam sajak dan menebarkannya ke berbagai media di Bandung.
Dalam satu sajak, Bang Tardji pernah menulis begini: //Walau penyair besar/takkan sampai sebatas allah/dulu pernah kuminta tuhan/dalam diri/sekarang tak/kalau mati/mungkin matiku bagai batu bagai pasir tamat/jiwa membumbung dalam baris sajak/tujuh puncak membilang-bilang/nyeri hari mengucap-ucap/di butir pasir kutulis rindu rindu/walau huruf habislah sudah/alif bataku belum sebatas allah// ("Walau", 1970).
Tentu tidaklah menjadi pembenaran bahwa penyair selalu harus putus sekolah karena alasan totalitas bersama puisi. Banyak juga penyair yang secara akademis mumpuni. Sebut saja salah satunya Sapardi Djoko Damono, yang bahkan bergelar profesor doktor. Ada juga sastrawan beken, seperti Budi Darma dan Maman S Mahayana. Bukan soal putus berkuliah yang ingin kubahas bersamamu, tetapi ikhwal beralamat di baris sajak. Coba saja kembali baca larik sajak Bang Tardji ini, "mungkin matiku bagai batu bagai pasir tamat/jiwa membumbung dalam baris sajak."
Begitu pula yang ditulis Umbu, setelah menggali-gali diri lewat pena dan helai-helai kertas, ia bilang, "begitulah, kutulis nyawa-Mu senyawa dengan nyawaku." Keduanya memiliki kesadaran besar bahwa puisi menjadi bahasa pencaharian menujumanunggaling kawulo lan Gusti, penyatuan diri dengan zat Mahasuci bernama sifat-sifat ketuhanan. Puisi menjadi jalan sunyi yang sufi, bukan dalam pengertian wadag, bersatunya ruh setelah mengembara di jagat fana, tetapi bersenyawanya sifat-sifat ketuhanan ke diri (manusia).
Ketika senyawa diri dengan ruh ketuhanan terjadi lewat puisi, Tuhan akan bekerja sesuai kehendak-Nya. Ajaran sufi memberi contoh, jika seseorang sedang kesulitan keuangan di masa pandemi ini, padahal ia sedang membutuhkan biaya untuk bayar sekolah anak-anaknya, tiba-tiba saja seorang teman memberinya pekerjaan. Tuhan selalu bekerja tanpa pemberitahuan, tetapi melalui pertanda. Pekerjaan yang diperoleh seseorang yang tadinya kesulitan, jika ia menghayati sifat-sifat ketuhanan, seharusnya secara spontan akan terdorong melakukan hal yang sama, ketika mendengar seseorang lainnya mengalami kesulitan.
Dorongan spontan untuk memberi dalam sufi tidak boleh disertai dengan keinginan untuk menerima sebaliknya. Di situlah puisi menjadi pertanda yang paling sufi dari seluruh inti kebudayaan. Puisi tak pernah meminta, tetapi telah begitu banyak memberi. Ia memberi imajinasi, ketajaman intuisi, dan kedalaman filosofi. Toh begitu, puisi tak pernah menuntut kesetiaan, apalagi pengabdian yang membabi buta. Banyak penyair keluar masuk rumah puisi; kadang datang atau seterusnya menghilang….
Dalam satu sajak lain, Umbu menulis://Jadi/sajak bilang apa saja pada kau/jadi buang diri kau/alhamdulilah begitu rupa kau/jadi pengembara//("Upacara XXXIII, 1980). Pengembaraan seseorang tak hanya berarti perjalanan fisik, tetapi lebih-lebih adalah pencariannya ke inti dari kata. Kau bisa terlunta-lunta karena kata, bisa pula membara karena kata.
Jadi, apa masih ada angin di Jakarta? Itu artinya Umbu bertanya tentang seberapa jauh kau telah berbuat, bukan semata menghasilkan buku-buku puisi, tetapi lebih-lebih adalah penghayatanmu pada nilai kemanusiaan yang sufistik. Sebuah nilai kemanusiaan, yang menginternalisasi sifat-sifat ketuhanan ke dalam diri. Bukankah itu inti dari semua pencarian sains, ilmu, sastra, dan filsafat? Kalaulah ia harus sampai pada titik paling jauh dari pengembaraan keilmuan, maka ia selalu berhasrat menemukan kebenaran hakikat, yakni kesempurnaan.
Kau mungkin bertanya, mengapa kita mengejar kesempurnaan? Aku bisa saja bertanya balik, untuk apa setiap hari kau bersembahyang, bukankah untuk menuju kesempurnaan hidupmu sebagia manusia? Selain menumpuk harta benda untuk kepuasaan duniawimu, bukankah pada titik tertentu kau harus menyeimbangkannya dengan kepuasaan batiniah?
Puisi adalah peristiwa batiniah. Larik-lariknya mengantarkanmu pada kedalaman imajinasi, yang akan menjadi bahan bakar bagi seluruh kreativitas yang tumbuh di dalam dirimu. Di situ, puisi akan menjadi jalan lain untuk mencapai kemanunggalan dirimu dengan zat Mahasuci, bernama "kesejatian".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar