Ana Fathul Janah belingsatan ketika mengendus bau harum di Bandara Internasional Juanda Surabaya. Hari itu untuk pertama kalinya ia punya kesempatan melihat bandara dari dekat. Selama ini dari Dusun Bunder Timur, Desa Bunder, Pademawu, Pamekasan, ia cuma bisa melihat pesawat-pesawat di ketinggian yang jauh. Bukan soal pesawat yang ia risaukan, tetapi aroma harum itu telah membuatnya gelisah.
Perasaan gundah itu ia simpan sampai adiknya, yang ia antarkan ke bandara untuk keberangkatan ke Jakarta, berkata, "Sudah nanti saya belikan". Ana kaget bukan main, mengapa adiknya bisa menebak perasaannya. "Biasanya kalau pulang dari bandara orang-orang suka beli roti," kata adiknya lagi.
Ana sedikit paham, aroma harum yang menusuk hidungnya berasal dari sepotong roti. Benar saja, ketika berpamitan pulang, adiknya membelikannya dua potong roti ber-topping kopi. Saking ingin menikmati aroma harumnya, Ana tak langsung menyeruputnya. Selain itu, ia juga ingin mengajak suami dan anaknya untuk menikmati "keindahan" yang hari itu ia rasakan.
Benar saja, suaminya, Kusnan Alani, dan Jourdan Falani, anaknya, serasa ingin berteriak-teriak girang setelah merasakan roti beroma kopi moka yang baru pertama kali dilihatnya itu. Sayang memang, kata Ana, ia cuma membawa dua potong untuk disantap bertiga.
Sebagai pembuat jajanan pasar, yang kadang ia serahkan ke warung-warung terdekat, Ana berpikir keras bagaimana caranya membuat roti "kota" seperti yang dibelikan adiknya. Kejadian tahun 2013 itu membawa Ana ke Perpustakaan Desa Bunder, untuk mengakses resep roti lewat internet. Selama setahun ia menyimpan dalam-dalam ingatannya tentang roti di bandara itu.
Tahun 2014, ia mulai mencoba membuat roti yang mirip dengan roti "kota" tadi. Setelah melalui serangkaian percobaan dan menuai kesalahan, Ana menemukan komposisi yang pas untuk mengadon tepung terigu, ragi, telur, mentega, dantopping kopi moka. Kusnan dan Jourdan menjadi pencicip pertama roti "kampung" buatan Ana. Tanpa diduga, keduanya serempak berkata, rasanya sama dengan roti "kota" yang dibawa Ana dari bandara.
Pada percobaan kedua, Ana sudah membuat 50 roti "kampung". Ia mencoba menitipkannya di warung terdekat seharga Rp 2.500 per potong. Harga ini jauh lebih murah daripada harga roti "kota" yang bergerak dari Rp 9.000 kemudian menjadi Rp 15.000 sepotong. Ukuran roti "kampung" yang dibuat Ana memang jauh lebih kecil daripada roti "kota". Bukan apa-apa, ia mempertimbangkan daya beli masyarakat di kampung halamannya.
Tak berapa lama, Ana merasa roti bisa menjadi mata jualan alternatif penopang ekonomi rumah tangganya yang kembang kempis. Kusnan selama ini hanya membuka bengkel motor yang penghasilannya sangat tidak menentu. Berkat pertemuannya dengan roti, kini Ana bisa membuat 500 riti setiap hari, terutama saat hari Minggu. Ia berjualan di acara bebas kendaraan bermotor (car free day) Kota Pamekasan.
Sebagai ibu rumah tangga di kampung, Ana punya pikiran sederhana. "Kalau roti bisa menghidupi kenapa tidak?" katanya. Ia tak pernah berpikir bahwa roti, dahulu kala, menjadi makanan utama penjajah seperti Belanda. Makanan, tak mengenal kasta, asal mulanya selalu dari kemurahan alam.
Apalagi roti, yang konon dalam sejarahnya justru ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang budak dari Mesir, sekitar 2600 SM. Ketika tungku apinya mati, budak itu secara tak sengaja menyimpan adonan tepung gandum dan air selama semalam suntuk. Perlu kau tahu, makanan utama di zaman itu "baru" adonan gandum dan air yang kemudian dipanaskan.
Keesokan hari, ketika budak itu memanggang adonan gandum yang telah mengendap selama semalam, terasa jauh lebih empuk. Kejadian itulah yang sampai kini dianggap sebagai penemuan roti pertama kalinya. Bahkan, roti dianggap sebagai makanan olahan tertua di dunia yang berasal dari gandum.
Sumber lain menyebutkan, pada akhir zaman batu, bangsa Mesir sudah dikenal sebagai bangsa pemakan roti dan pembuat ragi. Adonan roti dibuat dari campuran gandum dan air, yang menyerupai bubur, kemudian dibakar di atas tungku. Roti yang dianggap mirip dengan roti purba itu, saat ini berupa roti chapati dari Asia selatan dan roti tortilla yang berbentuk datar dan tipis. Di Mesir, sejak dulu dikenal roti bernama ful medames yang menjadi makanan pokok sejak zaman Firaun. Cara memasaknya mirip dengan piza yang dipanggang, cuma ful medames diletakkan di dalam panci yang kemudian dikubur di tengah bara.
Sebelum roti-roti mengembang atau kembung seperti sekarang, roti purba sebagaimana yang ditemukan oleh arkeolog Amaia Arranz Otaegui dari University of Copenhagen, Denmark, berupa sereal berbumbu parutan umbi. Otaegui menemukan fosil sisa roti di situs Shubayqa, Jordania, yang diperkirakan berusia 14.500 tahun. Bahkan, Otaegui bersama tim penggali situs Shubayqa, sebagaimana dimuat dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, pembuatan roti purba ini telah memotivasi manusia untuk mulai membudidayakan sereal.
Pemimpin penggalian itu, Tobias Ritcher, mengatakan, pada masa berburu dan meramu makanan, terdapat transisi perubahan pola hidup manusia purba. Mereka mulai menetap dan memiliki perubahan dalam pola makanan. Bersama dengan fosil roti ditemukan pola artefak-artefak arkeologis yang mendukung pengolahan roti. Diperkirakan saat itu manusia purba telah memanen gandum liar, memisahkan biji dari kulit, lalu membuat adonan, dan kemudian memanggangnya. Roti, kemungkinan, kata Ritcher, telah digunakan sebagai makanan penjamu tamu-tamu istimewa, justru untuk meraih gengsi sebagai tuan rumah.
Temuan ini kemudian mengundang banyak pendapat, tetapi pendapat-pendapat itu umumnya menyetujui bahwa manusia yang hidup di masa 14.500 tahun lalu telah menempatkan makanan tak sekadar sebagai pemenuh kebutuhan kalori. Makanan telah menempati posisi sosial dan kultural yang penting dalam pola relasi antarmanusia. Pola hidup seperti inilah yang justru telah memicu manusia untuk kemudian mulai membudidayakan tanaman sejenis serealia, termasuk gandum. Maka, terdapat spekulasi yang mengatakan bahwa budaya pertanian kemudian perlahan-lahan lahir karena keinginan manusia untuk memperoleh makanan secara lebih terjamin dan teratur.
Seperti kau tahu, roti juga telah menjadi begitu populer di zaman Romawi, 100 tahun SM. Selain memiliki beratus-ratus pembuat roti, Kaisar Trajan (98-117 SM) telah membangun sekolah khusus pembuatan roti. Kita juga tahu pada akhirnya ratu Perancis yang cantik, Marie Antoinette (1755-1793), sangat menyukai roti croissant, yang pertama kali dibuat di Budapest tahun 1686.
Jadi, sejarah penemuan dan pembuatan roti, yang kemudian menjadi makanan pokok orang-orang di sekitar Timur Tengah, Afrika, dan Eropa, telah berjalan demikian panjang. Kalau kau perpanjang, kita bisa menderetkan penemuan-penemuan berikutnya bagaimana roti berubah menjadi piza, menjadi burger, menjadi sandwich atau menjadi varian-varian lain.
Roti bahkan memasuki tatanan liturgi dalam gereja saat perayaan Ekaristi yang dikenal dengan sebutan hosti. Hosti berakar dari kata Latin, yaknihostia, yang berarti kurban. Dalam tradisi gereja, hosti yang terbuat dari tepung gandum, ragi, air, dan garam itu, adalah representasi liturgis dari kurban Kristus. Pengorbanan dengan hewan dan darah sebagaimana dalam tradisi Kenisah Yerusalem, diakhiri dengan persembahan hosti.
Menurut catatan peneliti sejarah JJ Rizal, ketika orang-orang Belanda berlayar menjelajah Nusantara, kapal-kapalnya selalu membawa tepung gandum, babi, bebek, dan ayam. Tidak lupa juga puluhan pembuat roti. "Itu terjadi pada akhir abad ke-16. Mereka memperlakukan roti sebagai makanan utama sekelas kentang," kata JJ Rizal.
Ketika Belanda benar-benar menguasai Nunsatara, terdapat beberapa peraturan yang terkait dengan roti. Sejumlah peraturan di kawasan benteng Batavia, yang didirikan Jan Pieterzoon Coen tahun 1619, misalnya, pengantaran roti kepada pelanggan tidak boleh melebihi pukul 08.00. "Jika lewat dikenakan denda," kata Rizal. Selain itu, toko roti jug tidak boleh mempekerjakan para budak untuk menjualnya di pinggir jalan. Jika toko roti tidak berhasil menjual semua roti sampai pukul 14.00, roti tidak boleh diperjualbelikan. "Jika kedapatan melanggar akan didenda 6 riksdalders," tambah Rizal.
Semua aturan yang dibikin pemerintah kolonial itu, tutur Rizal, menandakan bahwa roti menjadi makanan pokok "kaum" penjajah yang harus diproteksi. Roti harus dikonsumsi dengan kualitas terbaik untuk menjamin ketersediaan kalori dan karbohidrat yang cukup bagi tubuh. Oh ya, berdasarkan catatan JJ Rizal, pembuat roti juga tidak boleh merangkap kerja lainnya karena dianggap bisa menurunkan kualitas roti.
Kini kau bisa menemukan jejak-jejak roti di masa Belanda hampir pada setiap kota urban di Indonesia, terutama Jakarta. Roti-roti "jadul", seperti Roti Lauw dan Tan Ek Tjoan, misalnya, telah mewarnai pasar roti sejak awal tahun 1930-an di Jakarta dan Bogor. Kedua merek roti dari keluarga Tionghoa ini berdampingan dengan roti-roti yang diproduksi oleh keluarga-keluarga Belanda di Batavia.
Dulu ketika masa revolusi, bahkan setelah Belanda angkat kaki, muncul stigma makan roti sama dengan berpihak kepada penjajah. Apakah stigma itu yang melekat sampai kini dalam benak dan hati rakyat pribumi sehingga tidak serta-merta menjadikan roti sebagai makanan utama. Pasti untuk mengetahui hal itu, kau butuh penelitian dan pengkajian lebih jauh.
Hal yang aku pahami, bahan roti umumnya berasal dari tepung gandum, yang kebetulan membutuhkan iklim tertentu untuk dibudidayakan. Di tanah dan air kita pernah beberapa kali terdapat percobaan pembudidayaan gandum, tetapi selalu menemui kegagalan. Akhirnya rakyat Indonesia balik kembali membudidayakan padi.
Pada akhirnya, posisi roti di wilayah kaya beras, seperti China, Vietnam, Myanmar, Jepang, Thailand, dan Indonesia, hampir selalu menjadi penganan jeda di antara makan nasi. Singkatnya, roti diposisikan sama dengan kue lainnya, seperti ongol-ongol, getuk, tiwul, celorot, putu mayang, atau jajanan pasar lainnya. Meski harus juga diakui, roti sebagai makanan "impor" selalu dianggap "berkelas", lebih tinggi ketimbang jajanan pasar. Mungkin juga karena merepresentasikan makanan orang Eropa.
Sampai kemudian, Ana Fathul Janah di Dusun Bunder Timur membuat roti bermerek "Kacong", yang rasanya mirip dengan roti yang dijual di gerai-gerai dalam mal dan bandara, roti tetap dianggap penganan. Ia tak kunjung bergerak menjadi makanan pokok rakyat sebagaimana menjadi kebiasaan di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Meski begitu, Ana justru memperoleh berkah dari sejarah panjang perjalanan roti. Ia kini merasa roti Kacong (sebutan anak lelaki di Madura) telah menjadi penawar nasibnya yang dulu tidak menentu.
"Biasanya orang sini habis makan nasi, makan roti lagi, ya, roti Kacong ini," kata Ana Fathul Janah. Kebiasaan menganggap roti sebagai kue atau jajan inilah yang dimanfaatkan Ana dan seluruh keluarganya yang kini terlibat penuh dalam pembuatan roti, mendesain rotinya lebih kecil dari roti yang ia lihat di bandara. Cukup cerdas, bukan? Selain lebih murah, sekali suap bisa dua tiga potong roti terlewati...
Kompas, 9 September 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar