"Partir c'est mourir un peu… Mais mourir... c'est une grande perte" (Pergi itu kematian kecil… Namun meninggal adalah satu kehilangan besar)
(Paruh awal kutipan sering diucapkan oleh Jakob Oetama yang senang dengan ungkapan Latin dan Perancis)
Pergi sudah kedua pendiri dan perintis harian Kompas dan Kompas Gramedia (KG), Petrus Kanisius (PK) Ojong dan Jakob Oetama. Pak Jakob pergi tatkala negeri yang ia cintai sepenuh hati sedang bergelut melawan wabah virus korona.
Kami, warga Palmerah, dan di kota lain tempat Kompas Gramedia berkiprah dalam dunia usaha, tertunduk penuh rasa kehilangan. Dalam hati penuh duka, terbayang sosok Pak Jakob, yang lebih dari sebagai pemimpin umum, adalah juga seorang bapak.
Oleh pembawaannya, Pak Jakob—kami semua juga akrab menyebut beliau Pak JO—lebih kami anggap sebagai guru dan empu dalam bidang komunikasi dan jurnalistik, dan cendekiawan dalam pemikiran, khususnya bidang humaniora, sosial, kebudayaan, dan politik.
Setelah Pak Ojong tiada, Pak JO secara alamiah identik dengan Kompas. Pak JO itu Kompas dan Kompas itu Pak JO. Kehadirannya amat dirasakan. Jika obituari ini mengambil judul "Manusia dan Indonesia, Itulah Pergulatannya", memang dua hal itu kiranya yang dapat menyimpulkan sosok jurnalispar excellence yang baru meninggalkan kita.
Saat aktif hadir dalam rapat redaksi dan rapat pimpinan, Pak JO acap berudar rasa, yang menggugah pergulatan pemikiran dan menambah wawasan para cantrik—begitu kami sering membawakan diri saat berkarier di "Pedepokan Palmerah".
Kadang yang jadi topik adalah ranah ideologis tinggi, seperti tentang "Jalan Ketiga" yang digaungkan Anthony Giddens. Meski setelah Perang Dingin usai tahun 1989 dengan robohnya simbol komunisme dan ide Francis Fukuyama populer (dalam buku The End of History, 1992), Pak JO mempertanyakan, "Apa iya kapitalisme pasar bebas merupakan ideologi yang sempurna dan mampu menyelesaikan permasalahan dunia? Kok, masih banyak kemelaratan di negara kapitalis makmur. Apakah demokrasi liberal cocok untuk semua bangsa? Bagaimana di Indonesia yang bermusyawarah untuk mufakat? Mestinya ada Jalan Ketiga seperti dimajukan Giddens."
Apa iya kapitalisme pasar bebas merupakan ideologi yang sempurna dan mampu menyelesaikan permasalahan dunia?
Di luar Giddens, tahun 1980-an, Pak JO senang mengajak wartawan mewacanakan masa depan. Futurolog Alvin Toffler yang saat itu sedang hit dengan Third Wave dan sebelumnya masyhur dengan karyanya, Future Shock, datang ke Indonesia awal September 1988, dan Pak JO antusias menanyakan masa depan seperti apa yang dilihat oleh seorang Toffler.
Terasa ada semacam kegelisahan pada diri seorang JO saat kepengapan semakin dirasakan dalam alam kehidupan di bawah rezim otoritarian. Ia seperti ingin melihat tren apa saja yang kira-kira bisa digali untuk menyegarkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ketika saat itu perubahan yang dinanti seperti tak kunjung mewujud dan pemikiran seperti Toffler terlalu teknikal, Pak JO sempat menoleh pada "Ramalan Langit" (The Celestine Prophecy) karya James Redfield yang bergenre new age. "Ah, saya sekadar senang membaca," ujar Pak JO satu saat di paruh pertama dekade 1990-an.
Pergulatan ide Pak JO berakhir di bukuCulture Matters-How Values Shape Human Progress (penyunting Lawrence E Harrison dan Samuel P Huntington, 2000). Pak Jakob gencar menyosialisasikan pesan penting ide ini, antara lain, tentang peran penting pendidikan, sikap disiplin, dan berhemat untuk kemajuan satu bangsa. Perbedaan kemajuan yang nyata di antara dua negara—Ghana dan Korea Selatan—tampaknya memukau Pak Jakob.
Baca juga: Saya adalah Wartawan
Setelah itu, kami jarang mendengar Pak JO mewacanakan konsep baru. Namun, ia mendorong wartawan mendalami kemajuan China yang fenomenal seiring dengan beredarnya karya Kishore Mahbubani, The New Asian Hemisphere-The Irresistible Shift of Global Power to the East(2008).
Pak JO tumbuh menjadi sosok karismatik karena mempunyai tradisi literasi yang sangat tinggi, membuatnya jadi individu yang gemar gagasan, dan punya kepekaan instingtif terhadap masalah politik, tanpa sedikit pun tergiur untuk terjun dalam politik praktis.
Profesi wartawan, yang ia ikuti atas anjuran Pastor JW Oudejans OFM, yang pada tahun 1950-an menjadi Pemimpin Umum Majalah Penabur, tak menghilangkan nalurinya untuk terus menjadi guru, profesi yang semula ia inginkan.
Sebenarnya, dengan sukses mengembangkan Kompas yang ia dirikan, tujuan pendidikan masyarakat pun sudah ia tunaikan karena media massa adalah juga institusi pendidikan dalam skala luas. Sementara visinya tentang pendidikan ia wujudkan dengan mendirikan Universitas Multimedia Nusantara.
Pijakannya tetap manusia
Kesenangan pada ide besar dunia di atas sebenarnya bukan semata inklinasi intelektual seorang JO, tetapi hal itu sebenarnya juga merupakan bagian dari upaya pencarian untuk menghadirkan solusi atas persoalan yang dihadapi oleh bangsanya. Sebagai wartawan dan pemimpin media, tugas utamanya memang menghadirkan ide segar untuk menginspirasi masyarakat.
Di lingkungan Palmerah, jargon "Indonesia Mini" dihayati oleh karyawan, yang berasal dari berbagai suku, agama, dan latar belakang lain. Konsep itu pula yang Pak JO idamkan bisa lahir dan mekar di lembaga dan komunitas lain, hingga lahir Indonesia yang setiap anak bangsanya bisa melampaui (transcend) identitas primordialnya. Mengutip perbincangannya dengan seorang jenderal, Pak JO pun yakin bahwa jati dirinya, impiannya, tujuan darma baktinya adalah satu untuk Indonesia, dua untuk Indonesia, dan tiga untuk Indonesia.
Di Palmerah, jargon 'Indonesia Mini' dihayati oleh karyawan, yang berasal dari berbagai suku, agama, dan latar belakang lain.
Pak JO bahkan memvisikan Indonesia sampai ke apa yang diimpikan oleh pemerintah masa kini, dengan sering bertanya, Tanah Air, tanahnya sudah (dibangun), tetapi mana airnya?
Meski memiliki kecondongan terhadap pembangunan ekonomi, seperti dirancang mendiang Prof Widjojo Nitisastro, Pak JO membuka diri terhadap pemanfaatan teknologi yang digalakkan oleh mendiang Prof BJ Habibie untuk membangun Indonesia yang maju, karena Kompas adalah lembaga yang terbuka bagi pertukaran ide.
Alas dari seluruh pergulatan Pak JO tak lain adalah manusia—kesejahteraan dan keselamatannya. Jika dahulu tahun 1980-an Pak JO sering meminta wartawannya menulis tentang lomba senjata nuklir, itu juga karena kerisauannya yang besar tentang ancaman perang nuklir bagi umat manusia. Demikian pula saat Pak JO berulang minta liputan tentang perubahan iklim, itu juga karena ia menyadari betapa akan menderitanya nasib umat manusia karena perubahan iklim.
Baca juga: Jakob Oetama yang Peduli Isu Perekonomian
Dari lingkup dunia, Pak JO juga memikirkan warga sekitar Palmerah, yang menurut hematnya perlu diberi pekerjaan oleh KG. Saat ada argumen bahwa penerimaan karyawan berdasarkan tes, Pak JO menukas, KG tak berada di ruang vakum. Tetangga dekat harus diberi kuota walau hasil tes kurang memenuhi.
Contoh kecil ini menjadi bagian dari komitmen dan semangat belarasa untuk memperjuangkan amanat yang ia ikut menggemakannya, yaitu "Menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan", slogan yang ia angkat dari ujaran humoris dan penulis Amerika, Finley Peter Dunne, "Comfort the afflicted, afflict the comfortable". Semangat merengkuh inilah yang lalu dikenali sebagai semangat ngewongke (harfiah "memanusiakan"), menghargai eksistensi manusia, mulai dari terhadap karyawan hingga masyarakat sekitar, hingga sesama warga bangsa, bahkan umat manusia.
Pak JO mendorong liputan ekonomi modern, pasar modal, dan rintisan digital (dengan menyetujui pendirian Kompas Cyber Media), tetapi hatinya terus risau dengan nasib petani dan nelayan. Ia banyak terkenang pada sosok seperti mendiang Prof Mubyarto dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang banyak menggagas sistem ekonomi Pancasila.
Jauh sebelum program pembangunan sumber daya manusia digaungkan, Pak JO sudah ambil bagian dalam upaya mencerdaskan insan bangsa, antara lain, dengan memberi beasiswa bagi intelektual muda Indonesia untuk melanjutkan belajar pascasarjana di luar negeri. Menurut karyawan, Pak JO sosok yang murah hati. Namun, ia sendiri merasa bahwa apa yang ia berikan belum memadai karena ia belum memenuhi ujaran Ibu Teresa yang mengatakan, kalau memberi, "Give, but give until it hurts".
Bapak Pendiri, Guru, dan Pencerah kini telah meninggalkan kami. Sepatu Bapak terlalu besar untuk kaki kami. Seiring dengan doa, kami mohon pula restu agar kami terus kuat melangkah di zaman serba sulit sekarang ini. Ya Allah Yang Maha Pengasih, terimalah amal ibadah Pak Jakob, dan berilah tempat yang terindah di surga.
Dalam momen kehilangan, kami berjanji untuk melanjutkan pergulatan pemikiran dan karya Bapak untuk Indonesia maju. Hormat kami selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar