Penyakit kardiovaskular (CVD), gangguan pada jantung dan pembuluh darah, disebut sebagai penyebab kematian nomor satu di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, pada 2016 setidaknya 17, 9 juta orang meninggal karena CVD, 85 persen di antaranya akibat serangan jantung dan stroke.
Lebih dari 75 persen kematian terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Penyebab CVD antara lain merokok, diabetes, tekanan darah tinggi, dan obesitas, hingga polusi udara.
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menyatakan, setidaknya 15 dari 1.000 orang atau 2.784.064 orang di Indonesia menderita penyakit jantung.
Tanggal 29 September diperingati sebagai Hari Jantung Sedunia. Tema kampanye tahun ini adalah "UseHeart to Beat Cardiovascular Disease" atau gunakan hati untuk melawan penyakit kardiovaskular, sekaligus gunakan hati untuk melawan Covid-19.
Pandemi meresahkan penderita gangguan jantung, mengingat mereka rentan mengalami gejala klinis parah jika tertular virus. Situasi ini juga membuat serba salah. Kalau tidak kontrol rutin atau mendapat perawatan, kondisi jantung bisa memburuk, di sisi lain pergi ke rumah sakit di masa pandemi juga bukan pilihan yang baik.
Pandemi juga berpotensi meningkatkan jumlah penderita gangguan jantung. Sebagian besar penderita Covid-19 bisa sembuh total tanpa dampak apa pun. Namun, sebagian lain mengalami gangguan lanjutan, antara lain, pada paru, ginjal, otak, serta jantung. Laporan dari berbagai rumah sakit di dunia, Covid-19 bisa menyebabkan radang otot jantung (miokarditis) pada sebagian pasien.
Saurabh Rajpal dari Ohio State University dan kolega di JAMA (the Journal of the American Medical Association) Cardiology, 11 September 2020, melaporkan hasil penelitian terhadap 26 atlet sejumlah cabang olahraga dari kampus itu seusai menjalani isolasi karena positif Covid-19. Tidak seorang pun perlu dirawat di rumah sakit. Mereka hanya diberi obat antivirus karena hanya menunjukkan gejala ringan seperti demam, nyeri otot, tenggorokan sakit, dan sedikit gangguan pernapasan. Bahkan, sebagian lain tidak ada gejala.
Empat orang menderita miokarditis. Dua di antaranya, saat positif Covid-19, mengalami gejala ringan, sedangkan dua lainnya tanpa gejala.
Hasil pemeriksaan lewat pencitraan resonansi magnetik jantung (cardiac magnetic resonance/CMR), elektrokardiogram, pemeriksaan serum troponin I, dan ekokardiogram menunjukkan, empat orang menderita miokarditis. Dua di antaranya, saat positif Covid-19, mengalami gejala ringan, sedangkan dua lainnya tanpa gejala. Sebelumnya, mereka sehat dan tak ada gangguan jantung.
Sejumlah liga olahraga profesional di Amerika Serikat (AS) mengharuskan pemeriksaan jantung atlet yang pernah terkena Covid-19. Mereka yang menderita miokarditis tidak diizinkan berlaga untuk waktu tertentu. Alasannya, miokarditis dapat menyebabkan kematian mendadak pada aktivitas berat. Seperti yang terjadi pada Michael Ojo, mantan pemain basket AS yang meninggal akibat komplikasi jantung saat berlaga di Serbia, setelah sembuh dari Covid-19.
Penelitian Valentina Püntmann, ahli jantung dari Rumah Sakit Universitas Frankfurt, Jerman, dan kolega, yang dimuat dalam JAMA Cardiology terbit daring 27 Juli 2020, memperlihatkan risiko miokarditis pada pasien Covid-19. Tim peneliti memindai jantung dengan CMR pada 100 pasien Covid-19, rata-rata 71 hari setelah dinyatakan positif lewat tes reaksi rantai polimerase (PCR), sepanjang April-Juni. Pemindaian menunjukkan kelainan jantung pada 78 orang, dengan 60 orang mengalami peradangan aktif. Kebanyakan pasien masih merasakan gejala seperti mudah lelah dan sesak napas ringan.
Hasil otopsi
Dalam The Lancet, 20 Agustus 2020, Marisa Dolhnikoff dari Fakultas Kedokteran Universitas Sao Paulo, Brasil, dan kolega, melaporkan kasus pasien anak usia 11 tahun dengan penyakit langka, sindrom inflamasi multisistem (MIS-C), yang meninggal karena miokarditis dan gagal jantung sehari setelah masuk rumah sakit. Pasien datang dengan keluhan demam selama tujuh hari sulit menelan karena gangguan saluran pencernaan (odinofagia), nyeri otot (myalgia), dan sakit perut. Pada otopsi, ahli patologi mengidentifikasi adanya partikel virus korona baru di jaringan jantung anak.
Peneliti lain melaporkan penemuan protein SARS-CoV-2 di otot jantung enam pasien yang meninggal. Para pasien Covid-19 itu dilaporkan meninggal karena gagal paru, tidak memiliki tanda-tanda klinis gangguan jantung atau riwayat penyakit jantung sebelumnya.
Dolhnikoff dan tim menyimpulkan, infeksi SARS-CoV-2 pada jaringan jantung merupakan kontributor utama miokarditis dan gagal jantung pada kasus tersebut.
Sebenarnya miokarditis akibat infeksi bukan hal asing. Miokarditis juga bisa dialami orang setelah terjangkit influenza atau infeksi lain serta kemoterapi. Namun, belum jelas, apakah SARS-CoV-2 memicu miokarditis lebih sering atau lebih parah dibandingkan dengan virus lain.
Yang pasti, SARS-CoV-2 dapat memicu respons imun berupa peradangan hebat di seluruh tubuh. Karena itu, orang yang selamat berisiko tinggi mengalami radang otot jantung.
Dugaan lain, hal itu karena virus memasuki sel dengan mengikat reseptor enzim pengubah angiotensin 2 (angiotensin-converting enzyme 2/ACE2) yang juga banyak terdapat di sel otot jantung.
Perlu penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan gangguan kardiovaskular jangka panjang dari Covid-19. Hal itu mengingat, meski telah sembuh, jaringan parut akibat miokarditis menyebabkan jantung lebih rentan mengalami gangguan di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar