"Ekonomi di era saya berkembang," demikian Presiden AS Donald Trump kerap membanggakan kinerjanya yang semu. Dikatakan semu, sebab pengeluaran Pemerintah AS didukung dengan timbunan utang. Konsumsi masyarakat AS sebesar 70 persen dari total aggregate demand juga ditopang utang dan penurunan pajak.
Bayangkan kita yang bisa berbelanja apa saja dengan topangan utang. Inilah penyebab keuangan negara Amerika Serikat tidak dalam kondisi sehat jika dilihat dari profil utang pemerintah. Total utang Pemerintah AS sudah mencapai 26 triliun dollar AS pada 2020. Hanya di era Trump satu periode, ada penambahan 7 triliun dollar AS dari total utang itu. Total utang itu sudah sebesar 126 persen jika dibandingkan dengan produksi domestik bruto (PDB) AS yang pada 2018 sebesar 20,5 triliun AS.
Porsi utang yang diangap relatif aman adalah maksimum 60 persen dari PDB. Dengan demikian, porsi utang Pemerintah AS sudah dalam posisi rawan. Jika semua utang dijumlah, yaitu utang konsumen, pebisnis, dan pemerintah, totalnya mencapai 64 triliun dollar AS (The Wall Street Journal, 1 Oktober 2020). Dengan demikian, utang AS sudah mencapai 300 persen terhadap PDB.
Mengapa demikian? Mengapa utang Pemerintah AS meroket dari tahun ke tahun? Peningkatan pesat utang Pemerintah AS terjadi sejak era Presiden Ronald Reagan (1980-1988). Namun, peningkatan paling menonjol terjadi sejak era Presiden George W Bush (2000-2008).
Ketika Bush menjabat di awal 2001, utang Pemerintah AS sebesar 5,94 triliun. Utang ini melejit menjadi 10,7 triliun dollar AS pada 2000, akhir periode kepresidenan Bush. Utang membesar untuk biaya Perang Irak II dan pengeluaran rutin Pemerintah AS. Langkah ini, ironisnya diikuti dengan kebijakan penurunan pajak. Ini sangat menonjol pada era George W Bush.
Akibatnya, terjadi defisit anggaran pemerintah, yang terus-menerus ditutup dengan utang. Inilah yang menjadi pendorong kenaikan utang.
Pada era George W Bush, ada lagi kebijakan lain yang turut mendorong kenaikan utang. Pada era Bush juga terjadi liberalisasi pasar uang yang memunculkan industri keuangan tanpa pengawasan saksama. Ini memunculkan fenomena berupa tipu muslihat dan penipuan di pasar keuangan.
Pada 7 November 2007 di situs Vanity Fair, Joseph E Stiglitz, ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, sudah menuliskan potensi bahaya ekonomi AS akibat warisan buruk kebijakan Bush. Tumpukan utang, isu Perang Irak, dan tipu muslihat di pasar uang, menurut Stiglitz, akan merepotkan presiden AS berikutnya.
Ledakan ekonomi
Efeknya kemudian memang terbukti begitu dahsyat. Terjadi kebangkrutan ekonomi dipicu kebangkrutan Lehman Brothers pada September 2008 yang melahirkan efek domino. Korporasi raksasa AS yang sekian tahun harum di mata dunia bertumbangan dan tinggal menjadi sejarah.
Letusan besar ekonomi AS akibat rentetan kebangkrutan korporasi itu memaksa penerusnya, Presiden Barack Obama (2008–2016) mengeluarkan dana talangan triliunan dollar AS. Stabilisasi perekonomian di tengah gejolak besar pasar mendorong Obama meluncurkan stimulus. Untuk memulihkan perekonomian yang akut.
Pada era Obama juga muncul kebijakan Obamacare, semacam bantuan keuangan dari pemerintah untuk kesehatan masyarakat. Fasilitas ini tidak pernah gol pada era kepresidenan AS sebelumnya. Akan tetapi, baik buruknya kebijakan ini, yang selalu dicecar kubu Republikan, turut melejitkan posisi utang.
Total utang pada era Obama melejit dari 10,7 triliun dollar AS menjadi 19,8 triliun dollar AS. Ini menjadi ledekan Trump pada warisan keuangan negara dari era Presiden Obama. Bedanya, Presiden Obama tidak menurunkan pajak kecuali untuk warga berpendapatan tinggi dan korporasi.
Semakin parah pada era Trump
Kondisi utang makin parah pada era Presiden Donald Trump. Belum penuh menjabat empat tahun, utang Pemerintah AS telah bertambah 7 triliun dollar AS. Trump sudah diingatkan tentang bahaya utang yang terus membesar. Reaksi Trump, jika utang meledak, "Saya tidak akan ada di sini lagi." Kurang lebih demikian jawabannya seperti dikutup laman The Daily Beast pada 14 Maret 2019.
Trump meledek Demokrat dengan mengatakan, Obama telah menggandakan utang selama delapan tahun. Akan tetapi, Trump tak memahami efek kebangkrutan yang menjadi beban Obama, warisan Bush, seperti peringatan Sitglitz. Bush dan Trump sama-sama Republikan.
Seruan soal bahaya timbunan utang pada 2018, seperti diberitakan harianThe Washington Post pada 25 November 2018, tidak menjadi perhatian Trump. Walau sempat berbicara soal penurunan utang, Trump faktanya menaikkan defisit anggaran. Ini artinya pemerintah harus menambah utang dan disertai penurunan tingkat pajak.
Ini sebuah tindakan kontradiktif. Berdasarkan data Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada 2019, AS adalah anggota OECD dengan penerimaan pajak rendah, yakni 24,3 persen terhadap PDB. Perancis adalah yang tertinggi dengan penerimaan pajak 46,1 persen terhadap PDB.
Inilah Pemerintah AS, terutama sejak era Bush hingga Trump, hanya memikirkan pertumbuhan ekonomi dengan topangan utang. Dan timbunan utang ini terjadi di tengah pelemahan sektor manufaktur AS. Ini diiringi penuaan penduduk yang memerosotkan produktivitas seperti diberitakan laman berita The Wall Street Journal edisi 30 September 2020.
Pandemi yang memerosotkan perekonomian terus menuntut penambahan pengeluaran pemerintah. Ini sudah dinyatakan Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell. Ini dipastikan akan menambah lagi porsi utang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar