Sungguh sesuatu yang absurd, tiba-tiba aku berhadap-hadapan dengan orang tua itu. Tubuhnya yang kecil dan bongkok, nyaris ditelan oleh kursi kayu yang ia duduki. Di balik kerudung, wajahnya sudah terpiuh sehingga sulit menerka berapa usianya.
Samar-samar dalam bahasa Sunda yang amat cepat ia katakan, usianya sudah lebih dari 100 tahun! Aku mengerti karena seorang cucunya selalu mendampinginya dalam pertemuan itu.
Sekali lagi, ia membuat kejutan, "Itu ukurannya, mau yang berapa panjang?" Perempuan tua itu menunjuk ke sebuah meja kayu di mana tergeletak beberapa bumbung bambu. Bumbung-bumbung itu terdiri dari beberapa ukuran, dengan diameter dan panjang yang berbeda-beda. "Itu lemang, nanti ukurannya akan sesuai dengan bambu…," kata Mak Erot.
Oh ya, aku sedang berhadapan dengan perempuan paling populer di "jagat lelaki", bernama Mak Erot. Peristiwa itu terjadi tahun 2003, lima tahun sebelum Erot binti Muntasya meninggal dunia dalam usia 130 tahun! Menurut Solihin, cucunya yang menemaniku bertemu Mak Erot waktu itu, neneknya diperkirakan lahir tahun 1878.
Pikiranku mulai nakal. Jangan-jangan Mak Erot sendiri menggunakan ajian pemanjangan ukuran phallus untuk memperpanjang usianya sendiri.
(Benar atau tidaknya jangan tanya padaku, memang sulit mencari bukti kelahiran seorang perempuan dusun di masa itu. Mak Erot lahir di Kampung Cigadog, Desa Caringin, Kecamatan Cilosok, Sukabumi, Jawa Barat. Kampungnya kira-kira berjarak 20 kilometer dari Palabuhanratu. Bayangkan saja jauhnya dari ujung jalan aspal terakhir menuju kampung itu. Kau harus melintasi jalanan tanah berbatu dan lembah-lembah yang terjal…Nah jauh kan?)
Pikiranku mulai nakal. Jangan-jangan Mak Erot sendiri menggunakan ajian pemanjangan ukuran phallus untuk memperpanjang usianya sendiri. Secara fisik, saat aku bertemu dengannya, Mak Erot sudah sangat ringkih walau masih cukup cekatan memberikan berbagai instruksi kepada para cucunya di ruang praktik di ruas Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Oh ya, kau jangan salah sangka, aku hadir di ruang praktik itu karena ingin menjadi saksi "sejarah" cara-cara kaum lelaki meraih "kejantanannya".
Cerita itu tiba-tiba mencuat lagi dari ingatanku ketika dosen Filsafat Universitas Indonesia yang juga menjadi anggota Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Saras Dewi, memintaku berbicara dalam sebuah diskusi tari bertajuk "Tabu! Tabu! Tabu!". Entah kenapa kata "tari" dan "tabu" itu menuntunku untuk mengingat Mak Erot. Diskusi daring itu sudah berlangsung pada Selasa (17/11/2020), tetapi sosok Mak Erot masih "mengintimidasiku".
Belakangan aku sadar dan terus bertanya-tanya, dari manakah asal kata "erot" itu? Apa arti nama Sunda itu dalam bahasa Indonesia? Sejumlah teman yang mengerti bahasa Sunda, aku coba hubungi. Bahkan, seorang penyair merasa perlu mengecek dalam kamus bahasa Sunda. "Tak ada kata erot dalam bahasa Sunda, yang ada gerot," kata penyair Ratna Ayu Budhiarti. Ia menyampaikan sesuatu yang mengejutkan, kata "gerot" itu artinya "besar". Wow….
Apakah nama Mak Erot itu diberikan karena dia ditakdirkan menjalani profesi sebagai "pembesar" alat kelamin para lelaki? Kemudian dari situ diturunkan kata "erotis", yang maknanya berkaitan dengan sensasi nafsu berahi?
Kalau begitu, sekarang kita memiliki dua asal-usul kata "erotisme", yakni pertama, turunan dari kata "eros" yang dalam bahasa Yunani berarti cinta berdasarkan hawa nafsu. Bahkan "Eros" adalah nama seorang dewa cinta, anak dari Afrodit, dewi kecantikan dalam mitologi Yunani.
Kedua, sebagaimana kau tahu, "erot(is)" itu jangan-jangan diturunkan dari ajaran-ajaran yang diwariskan Mak Erot kepada, konon, "hanya" 21 anak dan cucunya. Ajaran Mak Erot kemudian tak hanya dipraktikkan oleh 21 ahli waris "resmi", tetapi juga oleh para dukun pembesar alat vital di seluruh Tanah Air.
Oleh karena ia telah diturunkan menjadi sebuah ajaran, boleh dong kita sebut menjadi "erot(isme). Erot(isme) yang ini mengacu kepada ajaran-ajaran Mak Erot, seperti ajian dan tata cara praktik pembesaran phallus.
Apakah ini sebuah logika yang patah, yang kemudian aku paksakan untuk menyambungkannya, untuk memahami praktik "kejantanan" yang selama ini dijalankan Mak Erot?
Mari coba beranjak sedikit ke sebuah istilah dalam psikologi, yakni toxic masculinity. Istilah ini pertama kali dipakai oleh psikolog Shepherd Bliss untuk menggambarkan kondisi psikologis bahwa mereka yang disebut lelaki itu harus jantan, macho, kuat (berotot), dominan, tidak cengeng, dan lain sebagainya.
Singkatnya, ia sering kali merepresi orang lain untuk mendapatkan pengakuan bahwa ia benar-benar lelaki, boys will be boys…tidak takluk kepada lawan jenisnya.
Baca juga : Drupadi Terkapar di Jalanan Kota
Ahli lainnya, Tom Ross-Williams, melihat toxic masculinity amat berkaitan dengan masyarakat patriarkis, bahkan kondisi ini didukung oleh konstruksi sosial yang kemudian menempatkan maskulinitas menjadi represif.
Maskulinitas terlahir menjadi "cita-cita" yang tak bisa dibantah karena ia berkaitan dengan relasi kuasa dalam masyarakat patriarkis tadi. Bahwa menjadi lelaki itu harus lebih kuat daripada perempuan, yang lebih dekat dengan hal-hal yang bersifat emosionalitas.
Celakanya, praktik maskulinitas itu membutuhkan semacam dorongan faktor-faktor eksternal untuk menguatkan relasi kuasa. Di situlah ajaran erot(isme) itu mendapatkan celah sempit, tetapi kemudian menjadi populer. Seorang nenek tua, yang biasa dipanggil Mak Erot, menyeruak di antara "sindrom" kejantanan yang menggerus para lelaki.
Awalnya, mereka ingin terlihatmacho, jantan di tempat tidur, tetapi dalam pandangan Ross-Williams, "kedigdayaan" di tempat tidur itu bertransformasi ke wilayah sosial dan lahir sebagai toxic, di mana kejantanan itu berarti kekuasaan.
Sebuah kekuasaan yang harus dipertahankan dalam bentuk dominasi terhadap orang lain, terutama perempuan. Femininitas justru dianggap sebagai bentuk yang menghalangi meluncurnya kejantanan seorang lelaki dan karena itu ia harus direpresi.
Hem…sampai di sini, terus terang aku masih belum menemukan logika lurus dari kisah ini. Apalagi kemudian, sebagaimana kau tahu, ajaran Mak Erot sangat dekat dengan mitos-mitos tentang kejantanan. Apakah benar erot(isme) itu kemudian mewujud dalam diri seorang lelaki?
Hampir tak ada pasien Mak Erot yang mau mengaku. Selama beberapa jam di ruang praktiknya, waktu itu, aku bertemu dengan para pasien. Umumnya mereka malu-malu mengutarakan kepentingannya bertemu Mak Erot.
"Tapi, sangat banyak yang ingin meraih kejantanannya…," kata Solihin, cucu Mak Erot. Ia mengakui, sebagian dari para pasien Mak Erot ada yang mengalami disfungsi seksual, seperti impotensi atau ejakulasi dini. "Pokoknya ingin tetap jantan…," tambah Solihin.
Asal kau tahu, sesudah menjalani laku pengobatan dari Mak Erot, seorang pasien harus menjalani beberapa pantangan. "Tidak boleh berhubungan dengan pasangan selama tiga hari tiga malam. Selain itu, tidak makan terong ungu dan pisang emas selamanya," kata Solihin.
"Kalau dilanggar?" tanyaku spontan.
"Pengobatan Mak Erot tak akan kerja," tambah Solihin.
"Maksudnya?"
"Mungkin seperti terong dibakar, lemes lagi…," jawab Solihin lempeng.
Cara-cara seperti ini sudah pasti teknik-teknik yang dipraktikkan seorang dukun. Kau tidak dalam posisi bisa membantah, silakan percaya saja seterusnya. Sudah pasti kau akan percaya karena telah terkungkung dalam mitos-mitos yang diamplifikasi oleh media tentang keampuhan pengobatan Mak Erot.
Baca juga : Misi Kejujuran pada Tubuh
Pada awal tahun 2000-an, para cucu Mak Erot secara rutin memasang iklan di koran Ibu Kota. Iklan-iklan itu, antara lain, berbunyi, "Gebyar yang benar-benar spektakuler dan ditunggu-tunggu pria yang ingin jantan! Di awal tahun 2003 biang kejantanan Mak Erot membuka gebyar pengobatan…" Selain cerita dari mulut ke mulut, iklan-iklan semacam inilah yang menciptkan mitos tentang pengobatan Mak Erot.
Apakah kekuasaan itu berhubungan dengan kejantanan? Satu hal, kejantanan itu justru kau cari dalam tubuh seorang perempuan ringkih bernama Mak Erot. Kedua, dalam praktik tari berpasangan, seperti joget bungbung di Bali, tayub di Jawa Tengah, atau ronggeng di Jawa Barat, seorang perempuan penari selalu distigma sebagai "pemberi" erotisme.
Gerakan-gerakan tubuh perempuan dianggap sebagai kode-kode yang menimbulkan reaksi erotis dari para lelaki. Barangkali fenomena yang lebih kontemporer, kau masih ingat bagaimana Inul Daratista dianggap nista karena melahirkan goyangngebor dalam genre musik dangdut.
Stigma semacam ini telah melahirkan istilah seperti joget jaruh alias penari nakal dalam pertunjukan joget bungbung. Ada pula yang menjulukinya sebagai joget ngebor. Terserah apa pun stigma itu, fenomena joget bungbung adalah dinamika kebudayaan yang menarik.
Sejak krisis moneter tahun 1997 dan dilanjutkan dengan tragedi bom Bali 2002, kelompok-kelompok kesenian di pelosok Bali mati kutu. Mereka tidak hanya kehilangan pendapatan secara ekonomi, tetapi juga kehilangan daya kreativitas.
Baca juga : Kisah yang Tak Betah Jadi Kata-kata
Peneliti kebudayaan, Sugi Lanus, melihat fenomena yang terjadi pada musik dangdut dengan kehadiran Inul Daratista, Dewi Perssik, dan banyak lagi biduanita lainnya menjadi inspirasi para seniman untuk "memperkaya" tampilan joget bungbung.
Mereka kemudian tak hanya membuat komposisi tari yang lebih "hot", tetapi juga memberi sentuhan pop dengan memasukkan kibor dan mengaransemen lagu-lagu yang sedang populer.
Pembaruan ini sebenarnya telah melahirkan satu jenis kesenian baru, yang mencoba mengadopsi realitas kultur populer menjadi bagian dari cara membahasakan kesenian terkini.
Bahwa di dalamnya terdapat tarian-tarian yang kau sebut sebagai erotis atau bahkan ada yang menyebutnya kurang pantas, porno, dan lain sebagainya, bukankah itu praktik paling nyata dari relasi kuasa pratriarkis?
Biasanya, para pencelanya berasal dari kaum birokrat dan pemuka agama, yang merasa memegang otoritas nilai-nilai kesusilaan. Tudingan-tudingan itu bahkan berbuntut pada desakan untuk melarang pentas-pentas joget.
Kalau sekali waktu kau bisa menyaksikan pertunjukan joget ini, lihatlah betapa rakyat tua-muda, besar-kecil, bergembira bersama seolah merayakan hari-hari besar yang bakal tiba. Kau sadarkah kemudian, sumbu yang memicu kegembiraan itu adalah seorang perempuan penari, yang mengendalikan seluruh pertunjukan itu?
Para lelaki pengibing takluk di hadapan para joget dengan mengikuti seluruh "perintahnya". Para penonton bergembira bersama, penuh tawa, dan melupakan krisis moneter atau tragedi bom Bali yang memilukan itu.
Bahwa di dalamnya terdapat tarian-tarian yang kau sebut sebagai erotis atau bahkan ada yang menyebutnya kurang pantas, porno, dan lain sebagainya, bukankah itu praktik paling nyata dari relasi kuasa pratriarkis?
Para perempuan "sumbu", seperti para joget, Inul Daratista, dan Mak Erot, menggunakan celah sempit yang disisakan kebudayaan untuk "bersuara" dalam relasi kuasa yang selama ini dipegang oleh para lelaki.
Aku melihatnya sebagai perlawanan kaum perempuan, yang selalu diposisikan sebagai obyek dan bahkan distigma, terhadap "sindrom" toxic masculinity yang melekat pada kultur patriarkis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar