"Djaduk (Ferianto) meninggalkan energi yang luar biasa untuk kami berusaha berbuat bagi kesenian. Semoga apa yang kami lakukan memberi sumbangsih bagi musik Indonesia," kata Purwanto, musisi Kua Etnika, di panggung Ngayogjazz, Sabtu, 21 November lalu.
Setahun lalu di panggung Ngayogjazz 2019, Butet Kartaredjasa bicara. "Djaduk boleh pergi, tapi tak ada alasan Ngayogjazz untuk berhenti." Dan benar, sepeninggal Djaduk Ferianto pada November 2019, Ngayogjazz 2020 tetap digelar pada 19-21 November lalu.
Mengingat stuasi pandemi, perhelatan kali ini diadakan dalam jaringan (daring) dan secara langsung (live), tetapi dengan pengunjung terbatas. Tampil secara daring antara lain Idang Rasjidi Quartet, White Shoes and the Couples Company, Ligro Trio, serta Nita Aartsen and String of the World.
Orang diajak untuk tidak sekadar menikmati musik, tetapi juga sejenak menengok kehidupan desa.
Sejumlah artis lain bermain secara tatap muka atau langsung dengan penonton terbatas, tetapi bisa diikuti secara langsung di Youtube. Mereka antara lain Kua Etnika, Bintang Indrianto bersama Sruti Respati dan Eugen Bounty, dan ada pula Brayat Endah Laras.
Rupanya para penggerak Ngayogjazz tidak menyerah pada pandemi, tetapi mereka juga tahu diri dengan situasi. Meski dengan penonton yang terbatas, Ngayogjazz tetap dihelat di desa, yaitu di Dusun Karang Tanjung, Pandowoharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Orang diajak untuk tidak sekadar menikmati musik, tetapi juga sejenak menengok kehidupan desa. Lewat Ngayogjazz, yang digelar pertama kali pada 2007, Djaduk Ferianto (1964-2019) mendekonstruksi kesan musik sebagai sesuatu yang elite, sulit, dan rumit.
Ia ingin nuansa lokal bicara pada musik yang sudah dikenal secara global itu. Djaduk berharap, ke depan setiap daerah mempunyai festival khas yang digelar di tengah kehidupan rakyat banyak.
Ngayogjazz bisa dikatakan sebagai alternatif hiburan dengan bendera jazz. Di antara perhelatan berlabel jazz, Ngayogjazz mempunyai distingsi yang kuat, yaitu lokasi yang berada di perdesaan. Dari tahun ke tahun, hajatan ini berpindah-pindah lokasi dari desa ke desa. Lokus perdesaan dengan segala situasi dan kondisi sosiokulturalnya menjadi kekuatan Ngayogjazz. Akan tetapi, bagi sementara orang, hal itu juga dianggap kelemahan.
Baca juga : Gending Masa Depan Rahayu Supanggah
Sebagai perbandingan, perhelatan berlabel jazz yang digelar di gedung pertunjukan, hotel berbintang, kafe, atau kelab khusus. Di tempat tersebut, orang bisa datang, duduk nyaman di tempat berpendingin ruangan. Lokasi lain adalah di arena olahraga, daerah wisata, dan halaman kampus. Lokasi tersebut memang dirancang sebagai tempat untuk orang banyak berkumpul.
Ngayogjazz digelar di pedukuhan, di tengah permukiman penduduk desa. Di sana tidak ada lokasi khusus untuk mengumpulkan ribuan orang. Memang di perdesaaan lazim ada perhelatan warga, seperti perkawinan atau pergelaran wayang kulit. Akan tetapi, jumlah hadirin tidak akan sampai ribuan seperti halnya Ngayogjazz.
Bawah pohon durian
Dinamika keseharian warga desa menjadi bagian dari lanskap Ngayogjazz. Jangan kaget jika panggung Ngayogjazz berada di bawah pohon mangga, pohon nangka, pohon jambu, rumpun bambu, atau bahkan pohon durian.
Pada Ngayogjazz 2012 di Desa Brayut, Sleman, ada kerumunan penonton di luar panggung. Ternyata mereka terkagum-kagum saat melihat pohon salak di kebun milik warga. Desa Brayut memang termasuk penghasil salak.
Ada panggung yang berdiri di halaman rumah warga. Di teras rumah warga bahkan ada arena yang berada sekitar 4 meter dari kandang ayam. Tidak perlu heran, ketika hari masih belum terlalu sore, tampak ayam-ayam berkeliaran ketika musik mengalun dari panggung.
Baca juga : Pahlawan, di Mana Lagumu Kini?
Ngayogjazz berusaha menipis formalitas perhelatan dan menghindari yang bersifat seremonial. Untuk membuka acara, misalnya, tidak harus mengundang tokoh pusat. Kalaupun ada tokoh, itu adalah tokoh lokal, seperti Pak Lurah, yang memang akrab dengan warga setempat.
Pada hajatan di Kledokan, Sleman, tahun 2017, Ngayogjazz bahkan dibuka oleh para komedian. Rasa rileks dan gembira mengantarkan pengunjung untuk menikmati suguhan.
Biasanya Ngayogjazz menyediakan beberapa panggung. Dari satu arena ke area pertunjukan lain ada yang berjarak beberapa puluh meter atau bahkan sampai sekitar 200 meter.
Pengunjung harus berjalan kaki dari satu panggung ke arena lain. Mereka melewati pekarangan rumah warga dan belajar unggah-ungguh atau etika kehidupan seperti kulo nuwun danndherek langkung atau numpang lewat kepada yang empunya pekarangan.
Mereka harus bertanya kepada warga setempat atau sesama penonton yang belum mereka kenal meski ada denah di berbagai sudut. Idang Rasjidi yang beberapa kali tampil di Ngayogjazz paling terkesan dengan keramahan tulus dari warga setempat, pengunjung, dan para penyelenggara.
Karena digelar pada minggu ketiga bulan November, Ngayogjazz tak bisa menghindar dari hujan. Panitia sadar benar tentang kondisi ini, begitu juga pengunjung.
Baca juga : Rindu Ini, Artefak Tercecer dari Chrisye
Itulah mengapa di lokasi ada penjual jas hujan. Sudah jamak di Ngayogjazz orang berteduh di bawah payung ataungeyup alias berlindung di tritisan rumah orang. Atau jika hanya gerimis kecil, orang bisa berteduh di bawah pohon.
Suatu kali hujan turun di tengah acara. Musisi di penggung bertanya kepada hadirin apakah pergelaran diteruskan atau ditunda menunggu reda. Orang-orang berteriak, "Lanjuuuttt…!" Militansi penikmat dan pemain sama-sama tinggi di Ngayogjazz.
Djaduk pernah mengatakan, di perdesaan, orang harus siap berimprovisasi dan ber-jam sessiondengan alam. Tidak boleh menyerah, tetapi juga tidak perlu jemawa melawan irama alam. Hujan di Ngayogjazz dimaknai sebagai berkah yang perlu disyukuri.
Di lokasi Ngayogjazz tidak ada, atau sangat jarang, ada tempat makan permanen. Yang ada adalah warung-warung sementara yang dibuka warga atau setidaknya oleh pengusaha makanan yang berjualan di lokasi. Bisa bakmi jawa, bakso, sate ayam, wedang ronde, kopi, dan jenis-jenis makanan yang akrab dengan rata-rata pengunjung.
Itulah Ngayogjazz. Itulah realitas kehidupan di lokasi dengan segala situasi dan kondisinya. Dan itulah sebenarnya salah satu kekuatan Ngayogjazz, meski bagi pengunjung tertentu situasi tersebut bisa dianggap sebagai kurang nyaman.
Di Ngayogjazz, orang diajak melihat kondisi sosial ekonomi, keseharian warga, dan lanskap atau panorama sekitar lokasi. Ada yang mengatakan hal ini semata eksotisme, romantisisme, sensasi, atau sekadar kegenitan. Bagi pengunjung lain, itulah "panggung kehidupan", itulah Ngayogjazz. Panggung-panggung tempat musisi tampil dan orang menikmati itu, menginduk pada panggung besar kehidupan.
Hiburan rakyat
Ketika mereka menikmati musik di panggung, ada pemandangan yang mengingatkan kita pada hiburan rakyat, ketika orang merubung sang penampil. Pada masa lalu, di kota-kota di Jawa, seperti Yogyakarta atau Surakarta dan sekitarnya, ada tontonan berupa penari keliling diiringi seperangkat gamelan.
Ada pula cokekan atau kelompok pemain gamelan yang mengiringi pesinden. Mereka diiringi seperangkat gamelan yang dipikul. Mereka beraksi dari kampung ke kampung, dari pasar ke pasar. Orang-orang datang menyaksikan. Mereka berkerumun mengitari para penampil.
Suasana seperti itulah yang terasa dalam Ngayogjazz. Orang datang, mengapresiasi, dan menikmati. Dan jika kurang berkenan, mereka bisa mencari panggung lain. Bambang Paningron, salah seorang anggota tim kreatif festival, menyebut Ngayogjazz sebagai semacam pasar malam. Seperti dalam pasar malam, orang berdatangan untuk bergembira, menikmati suasana.
Idang Rasjidi yang berada di panggung bisa menangkap hubungan antara pengunjung dan musisi di pentas. Tidak ada jarak yang memisahkan mereka. Dalam pembahasaan Idang, elektron yang mengalir di musisi dan penonton itu menyatu. Idang menilai, tingkat apresiasi audiens cukup matang. Hadirin tahu kapan harus bertepuk tangan dan kapan harus menyimak.
Syaharani juga menangkap isyarat serupa bahwa penonton telah memahami apa yang ia sebut sebagaijazzattitude. Ini adalah sikap terbuka, bebas, dan spontan dalam bermain musik dan menikmati musik. Sikap penonton itu memberi stimulus dan energi kreatif bagi musisi yang akhirnya akan dikembalikan kepada penonton.
Komunikasi
Untuk sementara, karena pandemi, interaksi antara audiens dan musisi kurang dirasakan musisi dalam Ngayogjazz 2020. Akan tetapi, mereka tetap tampil maksimal. Idang Rasjidi merasakan ada sesuatu yang hilang ketika harus bermain tanpa respons audiens. Meski begitu, ia menghargai upaya penyelenggara yang tetap menggelar Ngayogjazz dalam situasi pandemi.
"Ini soal nilai dedikasi pada musik jazz dan pada festival itu sendiri, pada Ngayogjazz," kata Idang yang tampil bersama gitaris Agam Hamzah dan drumer Gerry Herb.
Endah Laras yang bisanya membikin hadirin terpingkal-pingkal dengan lagu dan gayanya itu juga merasakan perbedaan antara tampil di depan penonton yang berkerumuan dan penonton yang menonton lewat ponsel atau laptop.
Endah dikenal sangat komuniktaif dengan audiens. Nyanyian, gestur atau bahasa tubuh, dan celoteh-celotehannya di panggung terkoneksi dengan penonton. Kini, dia juga harus membayangkan penonton yang tidak tampak batang hidungnya.
"Tugas saya adalah bagaimana caranya membuat penonton di rumah jugahappy," kata Endah tentang tampil pada Ngayogjazz 2020. Dia juga berupaya merekadaya dan menumbuhkan suasana hati agar tetap bersemangat, seperti halnya ketika ia tampil langsung di depan penikmat.
Di Ngayogjazz, orang tidak hanya mendengar musik, tetapi juga diajak menghayati irama kehidupan rakyat.
Pada akhirnya, musik memang komunikasi antarmanusia. Seperti yang dikatakan penyanyi jazz Lou Rawls, "Musik adalah komunikasi terdahsyat di dunia. Meski orang tidak memahami bahasa yang kita nyanyikan, tetapi orang masih bisa mengerti musik yang bagus saat mereka mendengarkannya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar