Diperkirakan, presiden terpilih Amerika Serikat, Joe Biden, juga tergoda untuk bersikap keras terhadap China. Akan tetapi, dilihat dari berbagai faktor, tertutama dari sisi kekuatan ekonomi dan militer, Biden tidak memiliki pilihan selain melembek. Mengapa? Berikut ulasannya dalam tiga tulisan bersambung.
Secara empiris, sikap politik negara terkuat terhadap pesaing baru, dalam hal ini AS versus China, adalah keras. Sikap keras ini sering tidak memiliki logika. Kerap tidak ada upaya kuat mencegah kekerasan itu dan tidak ada juga negara yang berani mendebat negara kuat tentang hal itu.
Premis dasar politik negara-negara terkuat di dunia relatif tetap sama, mereka akan bersaing sengit. Asumsi pernyataan ini didasarkan fakta empiris sejarah, tidak ada persahabatan sejati di antara dua negara terkuat. Keduanya bersaing hingga saling menekan. Persaingan terjadi di tengah ketiadaan aturan main karena di atas negara-negara terkuat hanya ada sistem anarkistis. Oleh sebab itu, persaingan berisiko memunculkan perang.
Demikian selalu penekanan ilmuwan politik dengan spesialisasi hubungan internasional dari University of Chicago, John Mearsheimer. Mearsheimer baru saja menerima penghargaan 2020 James Madison Award dari American Political Science Association (APSA) atas kontribusinya pada ilmu politik, 10 September 2020. Pakar yang memiliki banyak pengagum ini memunculkan teori dalam hubungan internasional berdasarkan sejarah great power politics.
Permusuhan sengit di antara negara-negara adidaya sering terjadi dengan alasan ketidaksiapan menerima kehadiran pesaing baru. Ketidaksiapan ini sering melekat dengan perasaan mudah tersinggung, apalagi jika ditantang. Negara terkuat itu sangat sensitif hingga kadang bisa menjadiruthless (kejam), kata Mearsheimer. Kebuasan negara kuat sering tidak terkait dengan ideologi apa pun, pokoknya hanya ingin kuat dan jangan terganggu. Faktor ini sekaligus menjadi salah satu alasan utama bagi terjadinya perang.
Graham T Allison, pakar politik dari Harvard University, menyimpulkan soal perang ini disebut sebagai jebakan Thucydides, merujuk pada nama pakar politik Yunani zaman baheula. Negara kuat secara naluriah akan siaga dengan munculnya pesaing baru. Sebaliknya, pesaing baru secara alamiah juga ingin menantang kekuatan lama, yang sering dianggap semena-mena. Fenomena ini disebut sebagai jebakan Thucydides. Perang antara Athena, sebuah kekuatan lama, dan Sparta (kekuatan baru) dijadikan sebagai salah satu alasan klasik soal pengejawantahan jebakan Thucydides ini.
Ketegangan hubungan bilateral
Kini, nuansa permusuhan sengit juga sangat terasa antara AS dan China. Hubungan bilateral ekonomi AS-China, terbesar di dunia dari hubungan bilateral negara mana pun. Tetap saja dua negara ini memiliki sisi ketegangan tersendiri. Tidak ada permusuhan sengit di antara dua negara terkuat di dunia sekarang ini selain antara AS dan China.
Di dalamnya campur aduk pula soal isu hak asasi manusia dan pencurian teknologi oleh China. Seakan-akan AS adalah zona murni soal hak asasi manusia dan melupakan kasus-kasus Indian Amerika serta seakan tidak pernah mencuri teknologi Inggris pada zamannya.
Istilah seperti containment(penahanan, pembendungan terhadap kekuatan lawan) oleh AS terhadap China dengan sendirinya mengemuka. Ini terjadi seiring dengan meningkatnya derajat persaingan kedua negara. Bukan itu saja, AS bahkan kerap memancing emosi dan menguji kekuatan China.
Setelah ratusan tahun terus diam terhadap tekanan Barat yang begitu mempermalukan, China yang menguat memberikan perlawanan. Maka, sering muncul hardikan balik dari China dengan kalimat, "Mencampuri urusan domestik China dengan standar ganda," seperti dikatakan Komite Utama Kongres Nasional Rakyat China (China deplores "Five Eyes" countries interfering in Hong Kong affairs (ecns.cn).
Namun, Barat, kini didominasi kekuatan AS, terus memancing dan menekan. Hal ini terus terjadi hingga di awal kepemimpinan Presiden AS George W Bush sampai Presiden Donald Trump. Salah satu pancingan dan tekanan terjadi di era Bush, persisnya 1 April 2001.
Ketika itu, pesawat pengintai AS EP-3E terbang dari Okinawa, Jepang, menuju wilayah Pulai Hainan, salah satu markas militer terbesar China. Dua pesawat tempur Tentara Pembebasan Rakyat China, jenis J-8II, menantang dengan menabrak EP-3E yang memasuki radar wilayah China. Namun, salah satu dari pesawat China itu, dengan pilot Letnan Wang Wei, jatuh. Letnan Wang wafat. Pesawat AS dengan 24 awak mendarat di Hainan, lalu kembali ke AS setelah sempat ditahan beberapa hari.
Insiden tersebut memicu kisruh hubungan diplomatik selama 11 hari antara Beijing dan Washington. China, yang saat itu dipimpin Presiden Jiang Zemin, menuduh AS mengirim kapal perang dan pesawat untuk misi pengintaian di dekat Hainan. Angkatan Laut Amerika mengatakan bahwa pesawat sedang melakukan operasi demi kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan.
Kisah ini berakhir tenang, tetapi bukan tanpa makna. "Provokasi militer AS di Laut China Selatan memperkuat perlawanan China," demikian dituliskan harian China, The Global Times, 30 Juli 2020.
Teori Mearsheimer berlaku pada kejadian ini. Ada pancingan dari negara kuat (AS) dan ketidakrelaan negara yang sedang bangkit (China). China melihat pancingan itu dengan rasa tidak rela. "Meningkatnya aksi AS memasuki Laut China Selatan bertujuan membendung China," demikian Global Time edisi 24 Juli 2020.
Teori lain, situasi anarki terbukti. Tidak ada pengadilan internasional yang berani mengadili kasus 2001 itu dan kasus serupa yang terus berlangsung beberapa tahun kemudian. Di atas negara-negara kuat, tidak ada hukum. Jika ada hukum internasional, seketika hal itu bisa menjadi mandul.
Orang bisa saja menuduh AS tidak tahu diri. Juga ada desakan agar China menunduk saja, tetapi ini ditolak. Ini bukan soal etika dan sikap tunduk atau tidak tunduk. Inilah hakikat dari dua negara kuat, tertakdir untuk "berperang". Banyak pihak yang belum kunjung memahami hakikat politik negara-negara kuat, tertakdir untuk saling mengganggu. Hakikat politik tersebut membuat AS-China terjebak pada persaingan bilateral yang terus memanas.
Hujatan verbal
Tidak cukup dengan pancingan nyata, dari sisi AS juga ada hujatan verbal terhadap China. Ada tuduhan soal China yang komunis, tidak sesuai dengan nilai Barat, yang demokratis. China si pelanggar aturan perdagangan internasional, pemanipulasi renmimbi untuk kepentingan ekspor. Hujatan-hujatan seperti ini muncul dalam debat-debat calon presiden AS menjelang pemilu dan ditonton dunia. Dua capres AS yang bersaing saling pamer diri untuk menunjukkan bahwa merekalah yang paling membenci China, demi memikat rakyatnya untuk kepentingan pemilu, misalnya.
Rakyat AS juga sama saja, melihat dan memilih capres yang dianggap paling piawai. Isu internasional menjadi salah satu dari lima faktor yang menentukan kemenangan presiden, seperti dikatakan pakar politik yang juga dari University of Chicago, Profesor John Mark Hansen.
China dicitrakanoleh AS sebagai negara kejam, seakan tidak ada lagi yang indah dan positif dari China bagi para presiden AS. Tidak terlihat peran China sebagai pemasok pinjaman ke Pemerintah AS sebesar satu triliun dollar AS lebih setiap tahun. Entah itu Presiden Donald Trump, Barack Obama, ataupun George W Bush sama-sama memandang China tidak becus. Bahkan, Joe Biden mengatakan, "China harus bermain dengan aturan".
Aturan yang mana? Aturan PBB? Dan, PBB yang diatur oleh AS? Tidak ada aturan internasional bagi negara kuat, terutama jika dia ingin melampiaskan hasrat kekuasaan dan tidak ada pula yang bisa menghambatnya. Namun, sekali lagi, inilah potret dari alamiahnya negara kuat, ditandai dengan ketidaksukaan pada munculnya pesaing baru, dalam hal ini China di mata AS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar