Di tengah pandemi, Indonesia menyelesaikan program pemutakhiran penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada tahun 2020. Hasil Sensus Penduduk 2020 atau SP2020, jumlah penduduk Indonesia saat ini 270,2 juta jiwa.
Kini, sebut BPS, Indonesia mencatatkan laju pertumbuhan penduduk 1,25 persen. Satu dasawarsa terakhir ada penambahan 32,56 juta jiwa. Populasi penduduk pada rentang usia 15-64 tahun atau usia produktif 70,72 persen atau naik 4,63 persen dibandingkan dengan sepuluh tahun silam. Indonesia pun berpeluang menikmati bonus demografi kedua. Bonus demografi pertama dikaitkan dengan banyaknya usia produktif dari hasil sensus 2010.
"Struktur penduduk dapat menjadi salah satu modal pembangunan ketika jumlah penduduk usia produktif sangat besar. Hasil SP2020, mayoritas penduduk Indonesia didominasi generasi Z (kelahiran 1997-2012) dan generasi Milenial (1981-1996). Proporsi generasi Z sebanyak 27,94 persen dan generasi Milenial 25,87 persen dari total populasi. Kedua generasi ini termasuk dalam usia produktif yang dapat menjadi peluang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi," demikian penggalan pernyataan dalam laporan publikasi SP2020 oleh BPS.
Bank Dunia mengingatkan, pertumbuhan penduduk berkorelasi erat dengan meningkatnya aktivitas sosial ekonomi dan pasti disertai perubahan tata guna lahan. Perekonomian bertumbuh seiring potensi bencana yang turut terdongkrak.
Di luar komposisi usia, dengan luas daratan 1,92 juta kilometer persegi, rata-rata kepadatan penduduk Tanah Air sekarang 141 jiwa per kilometer persegi. Di lapangan, faktanya sebaran penduduk masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Dengan luas geografis hanya sekitar 7 persen dari seluruh Nusantara, Pulau Jawa dihuni 151,59 juta jiwa atau 56,1 persen penduduk. Jawa masih setia menjadi pusat konsentrasi pertumbuhan kawasan perkotaan yang berarti juga sebagai pusat kegiatan ekonomi.
Meskipun demikian, Jawa tidak menjadi satu-satunya wilayah yang sedang dan menerus mengalami proses urbanisasi. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2030 memaparkan, persentase penduduk daerah perkotaan di setiap provinsi akan meningkat merata di semua provinsi. Urbanisasi dipengaruhi pertumbuhan penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, dan reklasifikasi area perdesaan menjadi bagian dari daerah perkotaan.
Pada tingkat nasional, tingkat urbanisasi diproyeksikan sudah 66,6 persen. Di Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Banten, dan Bali—dalam satu setengah dasawarsa nanti—tingkat urbanisasinya akan di atas 80 persen. DKI Jakarta sejak sebelum 2010, 100 persen areanya telah menjadi area urban.
Provinsi Jawa Barat pada tahun 2020 menjadi provinsi dengan penduduk terbanyak, yaitu 48,27 juta orang. Sekarang, 78,7 persen wilayah Jawa Barat adalah perkotaan dan akan menjadi 89,3 persen dalam 15 tahun ke depan.
Sementara itu, sebagian provinsi lain masih memiliki wilayah perkotaan di bawah 50 persen. Akan tetapi, fenomena lonjakan perluasan kawasan perkotaan tetap akan mendera. Papua dan Papua Barat, misalnya, sesuai perhitungan Bappenas akan memiliki penduduk perkotaan 44,4 persen dan 41,5 persen di 2035 atau naik sekitar 10 persen dibandingkan dengan tahun lalu.
Saatnya beradaptasi
Berdasarkan analisis tersebut, terbayang sudah ramainya negeri ini oleh kota-kota yang tumbuh mekar bersamaan dengan jumlah penduduk yang berlipat ganda pada tahun-tahun mendatang. Lalu, apa yang harus disiapkan?
Bank Dunia melalui Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR) dalam laporan berjudul"Riskier Future", mengingatkan, pertumbuhan penduduk berkorelasi erat dengan meningkatnya aktivitas sosial ekonomi dan pasti disertai perubahan tata guna lahan, baik di tempat hidup manusia maupun di sekitarnya. Tingkat kesejahteraan masyarakat pun akan naik seiring potensi bencana yang juga turut terdongkrak.
Selama ini alam memiliki aktivitas alaminya sendiri. Semakin banyak manusia dan keberadaannya tersebar ke banyak penjuru dunia, maka potensi terdampak aktivitas alam itu juga akan semakin besar. Di sinilah risiko bencana muncul, baik bencana hidrometeorologi maupun geologi. Bencana hidrometeorologi, seperti badai, banjir, kekeringan, serangan suhu panas, hingga kebakaran lahan. Bencana geologi, antara lain, dipicu pergeseran lempeng bumi, juga letusan gunung berapi. Ini sudah dan sedang terjadi di Indonesia.
Di luar itu, pertumbuhan penduduk yang tidak disertai perhitungan dan persiapan matang memenuhi kebutuhan dasarnya akan berdampak pada munculnya potensi kekacauan yang juga masuk kategori risiko bencana. Tak jarang, antara bencana alam dan bencana sosial saling berkelindan, yang dapat memunculkan bencana lebih dahsyat bagi manusia. Kondisi tersebut memicu kerentanan sosial dan struktural.
Baca juga: Mulailah Jujur Mengakui Penyebab Bencana
Di Indonesia, sesuai hasil riset Sanne Muis dan timnya berjudul "Flood Risk and Adaptation Strategies Under Climate Change and Urban Expansion: A Probabilistic Analysis Using Global Data", urbanisasi diperkirakan menyebabkan setidaknya risiko banjir meningkat hingga dua kali lipat, bahkan lebih, antara 2010 dan 2030. Risiko ini terlepas dari efek perubahan iklim yang tidak pasti.
Hasil riset itu lebih kurangnya terbukti ketika banjir besar berhari-hari di Kalimantan Selatan yang disebut tidak pernah separah itu. Kejadian serupa nyaris serentak terjadi di beberapa daerah di Indonesia sepanjang Januari ini.
Berkaca dari kondisi tersebut, diperlukan kebijakan perencanaan penggunaan lahan di semua wilayah, khususnya yang dihuni dan atau difungsikan sebagai lokasi aktivitas rutin manusia, dengan memasukkan risiko-risiko yang penting untuk dikendalikan.
GFDRR menyatakan, peningkatan risiko bencana dapat diantisipasi oleh sejumlah perangkat dan strategi kebijakan manajemen risiko bencana (disaster risk management/DRM) yang terkait perbaikan data, metode analisis risiko, perencanaan dan pengembangan, serta desain program mitigasi dan adaptasi. Ada juga perhitungan agar ada terobosan kebijakan finansial daerah dan negara agar tak gagap saat menyiapkan mitigasi hingga jika memang bencana terjadi nanti.
Semua perhitungan tersebut ditargetkan mewujud dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) atau desain tata kawasan aktivitas manusia, termasuk ruang urban tempat sebagian besar warga hidup pada masa kini, juga kelak. Desain ruang urban baru adalah cara membangun kota yang seolah usai dilanda bencana dan butuh pulih tanpa benar-benar kehilangan sekian jiwa manusia dan kerugian materiil yang tak terkira. Komunikasi dua arah dengan masyarakat sebagai sasaran penataan turut menjadi kunci penting supaya dukungan perubahan desain kota juga muncul dari warga.
Imaji ruang kota ideal
Konsep menata dan membangun lebih baik sebelum bencana datang didasarkan pada penilaian atas risiko bencana yang terus berkembang, termasuk perubahan lingkungan dan sosial.
Jakarta, misalnya, seperti apakah wajah idealnya di 2035 atau 2050? Jakarta telah memiliki RTRW 2030, tetapi diyakini masih butuh banyak penguatan lagi dalam mengadaptasi potensi bencana. Kota terpadat se-Indonesia ini sejak beratus tahun lalu akrab dengan genangan air karena bentang lahannya secara alami adalah daerah aliran dari belasan sungai dan rawa-rawa, terutama di kawasan pesisir. Kawasan pegunungan relatif dekat dengan hilir di laut sehingga gelontoran air dari hulu akan cepat sampai ke daratan.
Kawasan Ibu Kota tak luput dari potensi gempa bumi. Dikutip dari paparan Potensi Gempa Jakarta, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bbumi dan Tsunami Badan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang juga Vice President Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), Daryono, menyatakan, ada tiga ancaman sumber gempa untuk wilayah DKI Jakarta, yaitu zona megathrust di selatan Jawa Barat, zona megathrust di selatan Selat Sunda, dan sesar aktif di daratan (Sesar Baribis, Sesar Lembang, dan Sesar Cimandiri). Gempa di zona megathrust diperkirakan berkuatan Magnitudo (M) 8,5. Ibu Kota sedikitnya tiga kali terdampak gempa, yaitu 1699, 1780, dan 1834.
Baca juga: Tipisnya Irisan Tempe yang Mengusik Keamanan Pangan Kita
Berdasarkan data BPS Provinsi DKI Jakarta, pada tahun 2010 penduduk Ibu Kota sekitar 9,6 juta jiwa. Tahun 2020, jumlahnya menjadi 10,56 juta dengan kepadatan penduduk sekitar 16.000 jiwa per kilometer persegi. Tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 1 persen per tahun sehingga ada tambahan sekitar 1 juta jiwa per 10 tahun. Sementara luas area DKI Jakarta tetap, yaitu 661,5 kilometer persegi. Perkiraan yang kurang lebih sama dapat diterapkan di kawasan aglomerasi Jakarta, yaitu di Tangerang Raya, Bekasi, Bogor, dan Depok.
Selain membenahi daerah aliran sungai dan kawasan hulu yang sampai sekarang belum beres juga, sudah saatnya pemerintah di wilayah Jabodetabek dan warganya memahami benar kondisi ruang tempat tinggalnya. Pola tempat tinggal berupa kompleks rumah tapak, tren hunian di gedung tinggi, hingga kota-kota baru dengan membuka lahan seluas-luasnya bisa jadi bukan pilihan tepat.
Desain Jabodetabek baru selayaknya mengadopsi hunian tahan bencana berupa rumah panggung atau bahkan rumah apung. Ini terutama jika kawasan pesisir tetap akan dipertahankan sebagai zona permukiman dan fungsi lain. Padahal, pesisir yang memanjang dari Tangerang, Jakarta, sampai Bekasi itu diprediksi terendam seiring dampak pemanasan global, kenaikan permukaan air laut, dan amblesnya permukaan daratan.
Secara umum, Jabodetabek perlu menerapkan pembangunan bangunan tahan gempa. Jaringan layanan fasilitas publik, mulai dari transportasi umum, air bersih, pengolahan sampah, dan lainnya wajib mulai diselaraskan dengan banyaknya jiwa yang harus dilayani dan potensi bencana yang melekatinya.
Baca juga: Era Baru Membangun Infrastruktur Perkotaan
Perlu juga dipikirkan menyediakan lahan pengungsian terpusat berupa ruang terbuka dilengkapi sarana prasarana yang dibutuhkan. The Tokyo Rinkai Disaster Prevention Park di Tokyo, Jepang, bisa menjadi rujukan. Taman ini pangkalan pusat operasi pencegahan bencana di wilayah metropolitan Tokyo yang menampung fasilitas tanggap darurat sekaligus markas besar penanggulangan bencana setempat, serta lembaga yang mengumpulkan informasi terkait bencana dan mengoordinasikan tindakan darurat bencana.
Pada masa tenang, Tokyo Rinkai ini adalah taman publik yang bisa diakses gratis warga untuk berwisata dan belajar tentang penanganan bencana. Di taman ini pula, pasokan pangan di masa darurat dan penanganan kesehatan masyarakat dipastikan tersedia.
Desain kota Tokyo dibuat khusus sehingga ketika terjadi bencana, warga mudah mencapai Taman Rinkai dengan ketersediaan akses jalan yang direncanakan tetap bisa digunakan minimal berjalan kaki saat gempa terjadi. Secara otomatis, pembangunan layanan transportasi publik, zonasi permukiman, perkantoran, tempat usaha, dan fungsi lahan kota lainnya dikondisikan untuk meminimalkan jatuhnya korban saat bencana terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar