Amanda Gorman sedang jadi buah bibir. Bersamanya, puisi yang mulanya hampir selalu berada di dunia terpencil, tiba-tiba mencuat ke permukaan. Baris-baris kalimat yang ditulis penyair muda itu menjelma menjadi kata-kata "panutan" bagi banyak orang.
Tak kurang mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama memujinya setinggi langit. "…Orang-orang muda seperti dia adalah bukti bahwa selalu ada cahaya, andai saja kita cukup berani untuk melihatnya. Andai saja kita cukup berani untuk menjadi seperti dirinya," tulis Obama di akun Twitternya.
Wakil Presiden AS Kamala Harris merasa perlu memberi julukan lewat tagar #BlackGirlMagic. "Itu adalah tugas yang luar biasa bagi Amanda Gorman yang telah menyelesaikan puisinya dan membantu orang-orang terinspirasi," tulis Kamala.
Ketika Joe Biden dan Kamala Harris dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden AS, Amanda memang mencuri perhatian.
Belum berhenti sampai di situ, pemandu talk show Oprah Winfrey juga berkomentar di media sosial. "Saya tidak bisa lebih bangga selain melihat wanita muda lain bangkit! Brava Brava, @TheAmandaGorman! Maya Angelou bersorak dan saya juga," kata Oprah.
Maya Angelou yang dimaksud Oprah tak lain adalah penyair perempuan Amerika yang pernah membaca puisi saat inagurasi Presiden Bill Clinton tahun 1993.
Ketika Joe Biden dan Kamala Harris dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden AS, Rabu (20/1/2021), Amanda memang mencuri perhatian. Penyair berusia 22 tahun itu melantunkan bait-bait puisi yang membuat banyak pemimpin dunia terenyak.
Secara jujur ia menulis bahwa://We close the divide because we know, to put our future first, we must first put our differences aside/ We lay down our arms so we can reach out our arms to one another/ We seek harm to none and harmony for all…//
(Kita menutup kesenjangan, karena kita tahu untuk mengutamakan masa depan, pertama-tama kita harus mengesampingkan perbedaan/ Kami membaringkan tangan kami agar dapat mengulurkannya satu sama lain/ Kami tak membawa penderitaan bagi siapa pun, harmoni untuk semua).
Pada penggalan lain dari puisi berjudul "The Hill We Climb" itu, Amanda menulis seperti ini: //If we merge mercy with might, and might with right, then love becomes our legacy and change our children's birthright/ So let us leave behind a country better than the one we were left with/ Every breath from my bronze-pounded chest, we will raise this wounded world into a wondrous one/We will rise from the gold-limbed hills of the west, we will rise from the windswept northeast where our fore fathers first realized revolution…//
Baca juga : Paradoks Ayam Pembawa Keberuntungan
(Jika kita menggabungkan kasih dengan kekuatan, kekuatan dengan hak, maka cinta jadi warisan kita dan mengubah hak anak-anak kita/ Jadi marilah kita meninggalkan negara yang lebih baik dari negara yang ditinggalkan pada kita/ Setiap napas dari dadaku yang berdebar, kita akan mengangkat dunia yang terluka jadi memesona/ Kita akan bangkit dari perbukitan berkaki emas di barat, kita akan bangkit dari timur laut, tempat nenek moyang kita pertama kali menyadari revolusi).
Apa yang diucapkan Amanda seakan mewakili suara jutaan rakyat Amerika yang baru saja mengalami "shocking democrazy" lewat aksi pendudukan Capitol Hill oleh para pendukung mantan Presiden Donald Trump, Rabu (6/1/2021). Selain dikutuk dunia, pendudukan itu dianggap melemparkan Amerika ke tepi jurang "barbarian", yang mengenolkan pencapaian demokrasi di negara itu.
Pada momentum yang tepat, baris-baris puisi Amanda seolah menjadi api baru bagi Amerika. Bahwa perpecahan hanyalah akan mewariskan kekacauan kepada generasi berikut. Oleh sebab itu, semuanya mesti diakhiri dengan saling mengulurkan tangan untuk menggenggam cinta kasih sebagai sesama bangsa Amerika.
Puisi sejatinya memiliki kekuatan yang tak terpahami. Mungkin itulah alasan Presiden John F Kennedy meminta penyair kawakan Robert Frost untuk membacakan puisi saat pelantikan dirinya tahun 1961. Kau tahu, itulah pertama kalinya seorang penyair berdiri di mimbar kehormatan pada saat-saat yang menentukan nasib sebuah bangsa.
Apa yang terjadi? Frost yang sudah berusia 87 tahun kesulitan membaca puisi berjudul "Dedication", yang dia tulis khusus untuk Kennedy. Meskipun Wakil Presiden Richard Nixon mencoba menghalangi sinar matahari yang membuat silau dan angin yang berembus kencang dengan topi milik Frost, penyair kelahiran 26 Maret 1874 itu tetap kesulitan membaca puisinya sendiri.
Namanya penyair, selalu ada jalan keluar di balik kesuraman kata-kata. Dengan sigap, Frost melisankan puisinya yang berjudul "The Gift Outright", yang kemudian membuat seluruh hadirin terpukau. Beberapa baris puisi itu berbunyi:
//The land was ours before we were the land's/ She was our land more than a hundred years/ Before we were her people. She was ours/ In Massachussets, in Virginia/ But we were England's, still colonials/ Possessing what we still were unpossessed by/ Possessed by what we now no more possessed/ Something we were withholding made us weak/ Until we found out that it was ourselves…//
(Tanah ini milik kita, jadi milik negeri kita/ Dia tanah kami lebih dari seratus tahun/ Sebelum itu kamilah rakyatnya. Dia milik kita/ Di Massachusetts, di Virginia/ Tetapi kami dahulu adalah Inggris, masih kolonial/ Memiliki apa yang belum kita miliki/ Menjadi milik oleh apa yang sekarang tidak lagi kita miliki/ Sesuatu yang kami tahan membuat lemah/ Sampai kami tahu bahwa itulah diri kami…)
Baca juga : Vaksin, dari Sapi sampai Jokowi
Barangkali kekuatan puisi Frost inilah yang membuat Kennedy terpesona dan percaya penuh kepada para penyair, sampai-sampai ia mengatakan "doktrin" paling diingat dalam sejarah politik dan perpuisian dunia.
"Ketika kekuasaan membawa manusia ke arah kesombongan, puisi mengingatkan akan keterbatasannya. Ketika kekuasaan mempersempit area pemikiran manusia, puisi mengingatkan akan kekayaan dan keragaman eksistensinya. Saat kekuasaan itu menjadi korup, puisi akan membersihkannya," kata Kennedy.
Kennedy telah membawa semacam "tradisi" baru di antara para presiden dari Partai Demokrat untuk "melibatkan" puisi pada setiap inagurasi pelantikan seorang presiden.
Baca juga : Penanggalan yang Tersayat Menyambut Matahari Baru
Kita kemudian menemukan puisi pada posisi agung, pemberi spirit hidup dan inspirasi, atau seperti dikatakan Kennedy, dibutuhkan untuk membersihkan segala kecongkakan dan kesombongan kekuasaan. Puisi dianggap sebagai cairan pencuci mesin politik yang nyaris selalu dipenuhi oleh duri dan daki.
Bisa jadi, anggapan ini mungkin terlalu luhur, meletakkan puisi sebagai sesuatu yang kudus seperti ayat-ayat dalam kitab suci. Ada kalanya puisi berimpitan dengan tirani, karena ia dijadikan senyawa pembenar atas segala tindakan brutal dari para pemimpin dunia.
Benjamin Ramm menulis di BBC Culture dan membeberkan fakta-fakta yang mencengangkan. Para pemimpin besar dunia, seperti Kaisar Nero, Stalin, Hitler, dan Osama bin Laden, adalah orang-orang yang mengagumi atau bahkan menulis puisi. Sifat-sifat lembut yang melekat pada puisi seolah-olah remuk ketika berada di tangan orang-orang, yang setidaknya oleh opini dunia dicap sebagai para tiran.
Sifat-sifat lembut yang melekat pada puisi, seolah-olah remuk ketika berada di tangan orang-orang, yang setidaknya oleh opini dunia dicap sebagai para tiran.
Ramm menyebut, sejak dulu para diktator suka mencari ketenangan dan keintiman yang membuat mereka merasa berkuasa. Puisi ibarat air kolam yang tenang, yang mengalirkan kesejukan dalam karut-marut dunia politik dan perang.
Penguasa Roma Nero (37-68 SM) disebut sebagai sosok yang suka mengasihani diri sendiri, senang pamer, dan selama berkuasa karakternya sangat memalukan.
Penulis Tatcitus dan Suetonius menyebut bahwa Roma begitu menderita saat-saat di bawah kekuasaan Nero. Kaisar Nero juga digambarkan sebagai seorang penyair megalomania dan suka memaksakan dunia dengan khayalan imajinasinya.
Ia bahkan membuat koreografi untuk akhir hidupnya dengan menggantung diri, dan kemudian berlatih berulang kali dengan mengucapkan kalimat "qualis artifex pereo" (sungguh seorang seniman yang mati bersama saya ini). Nero lebih merasa menjadi seniman ketimbang penguasa lalim, yang membawa Roma dalam masa penuh kekelaman.
Dua ribu tahun kemudian, para penyair yang tergabung dalam kelompok Futurist menyamakan antara fasisme dan selebrasi tontonan kehancuran gaya Nero. Mereka punya kredo yang luar biasa, "biarkan seni mekar, walau dunia musnah".
Begitu kata pendiri kelompok ini penyair Filippo Tommaso Marinetti, yang amat menyukai perang, dan bahkan menganggapnya sebagai satu-satunya obat mujarab buat dunia. Ramm menyebut, Marinetti ingin mengindustrialisasi dan memiliterisasi bahasa dengan puisi konkret yang ditulis oleh pencipta sekaligus agresor, yang akan menghancurkan sintaksis secara brutal.
Baca juga : Isyarat Hujan di Bulan Desember
Sesungguhnya kelompok Futurist dipengaruhi oleh "pejuang" puisi Gabriele D'Annunzio, yang kemudian menginspirasi Mussolini merebut kekuasaan tahun 1922. Sesungguhnya, baris-baris puisi yang ditulis Mussolini tergolong cengeng sebagai seorang fasis dan diktator yang kejam. Ia, misalnya, mengatakan, "kapak yang berdarah di pembuluh darah vena/ dan merindukan nubuat revolusioner/ Di mata sekaratnya melintas Ide/ Visi berabad-abad yang akan datang…//
Hitler sendiri pernah berkhayal menjadi seorang seniman/penyair dari Vienna. Kekecewaannya di bidang seni sering kali ditumpahkan ke ranah politik walau ia mengaku lebih suka kekuatan magis dari kata dalam ucapan ketimbang estetika sastra rasa sirup.
Lalu diktator dan pembantai seperti Pol Pot di Kamboja yang pernah belajar di Paris, menjadi pengagum puisi-puisi simbolis dari Paul Verlaine. Sebuah puisi berjudul "Hijau" dari Verlaine, misalnya, mengatakan begini: //Lihat, bunga, ranting, buah, dan daun yang kubawa/ Dan kemudian hatiku karena engkau hanya mendesah/ Dengan tanganmu yang putih, oh, tidak robek/ Tetapi biarkan karunia miskin makmur di matamu…//
Bisakah kemudian engkau membayangkan seseorang yang menulis puisi cengeng atau mencintai puisi-puisi simbolik-romantis menjadi pembantai ratusan orang tanpa merasa bersalah? Di mana kelembutan puisi-puisi yang mereka jadikan obat penenang di kala gundah hati? Apakah puisi tidak bekerja ketika karakter brutal orang-orang itu mencuat ke permukaan, lalu menjadi monster yang sadis?
Benjamin Ramm kemudian menderet nama-nama "besar" dalam sejarah pembantaian manusia, seperti Mao Zedong, Kim Il Sung, Saddam Hussein, dan Radovan Karadzic, sebagai orang-orang yang menulis dan mencintai puisi.
Sayang sekali, Ramm tidak menuntaskan studinya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Kita hanya mampu selalu berprasangka baik terhadap puisi bahwa deretan kata-kata itu adalah sari-sari paling murni yang disuling dari air kehidupanmu sendiri.
Baca juga : Makanan Terindah Oh Masa Lalu
Tentu saja kau dan aku harus bangga meniti baris demi baris yang diucapkan Amanda Gorman di tengah-tengah sorotan mata dari seluruh dunia. Apalagi dengan percaya diri ia menukilkan kondisi Amerika kini dan harapan-harapan yang bisa dikukuhkan terhadap negara itu.
Setidaknya, puisi membuktikan dirinya sebagai seni sastra yang lewat baris-baris kata seseorang diajak untuk mengembara ke alam roh, menyelam pada kedalaman spiritual. Puisi adalah meditasi bermedium kata, yang mengantarkan kita pada kerendahan hati dan kebijaksanaan hidup.
Mahatma Gandhi, mengatakannya begini, "Kekuatan tidak berasal dari kapasitas fisik. Ia berasal dari kemauan yang gigih". Amanda Gorman adalah kegigihan itu. Seorang anak kulit hitam yang tak lancar berkata-kata, tetapi menjadi buah bibir karena puisinya menyeruak di tengah kenyataan pahit yang sedang berlangsung di seluruh dunia: pandemi!
Kompas, 27 Januari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar