Setiap negara, termasuk Indonesia, harus memperlihatkan komitmen dan kontribusi mengerem laju pemanasan global jika tak ingin bencana itu menghampiri kita. Saat diskusi sudah habis, kini waktu berkontribusi.
Rumah yang tenggelam dan ditinggalkan warga di Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (2/9/2019). Abrasi, pasang air laut, dan perubahan iklim yang terus terjadi menjadi persoalan utama di pesisir utara Jawa Tengah.
Ancaman yang dihadapi manusia datang bertubi-tubi. Saat masih terbelenggu oleh Covid-19, kita mendengar ancaman bencana lingkungan akan tiba lebih cepat.
Hari Jumat (25/6/2021) kita membaca berita yang sebenarnya hanya menegaskan apa yang sering kita dengar, yaitu malapetaka iklim. Berdasar draf laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang diwartakan oleh kantor berita Perancis, AFP, bencana lingkungan akibat perubahan iklim diperkirakan datang lebih cepat dari perkiraan.
Sebagai konsekuensi, anak yang lahir hari ini akan mengalami dampak perubahan iklim sebelum mencapai usia 30 tahun. Asia Tenggara akan menjadi salah satu kawasan paling cepat terdampak, diprediksi tak sampai 20 tahun ke depan.
Perubahan iklim yang ditandai terutama oleh fenomena pemanasan global terjadi karena terjadinya aktivitas manusia, khususnya industri yang menggunakan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon. Ditambah, pembukaan lahan melalui pembakaran hutan.
Lokasi pembakaran hutan di Cagar Alam Cycloop, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (18/11/2020).
Dengan laju aktivitas yang ada sekarang, suhu bumi akan naik 1,5 derajat celsius dibandingkan suhu sebelum Revolusi Industri pada 2040. Sekarang ini suhu rata-rata Bumi sudah naik 1,1 derajat celsius dari masa 1850-1900. Perubahan iklim yang terjadi karena itu akan berujung pada malapetaka bagi spesies, ekosistem, dan manusia.
Dalam Perjanjian Paris 2015—ditandatangani 196 negara—ada kesepakatan untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata 2 derajat celsius. Jika mungkin 1,5 derajat saja. Namun, kecenderungan mutakhir memperlihatkan kenaikan suhu menuju 3 derajat. Sulit dibayangkan apa yang akan terjadi jika kenaikan setinggi itu yang akan mewujud. Untuk kenaikan 1,5 derajat celsius saja, IPCC meramalkan akan terjadinya kepunahan terumbu karang. Hal ini akan memukul 500 juta penduduk yang sumber pangannya bergantung pada keanekaragaman hayati laut, termasuk penduduk Indonesia.
Untuk kenaikan 1,5 derajat celsius saja, IPCC meramalkan akan terjadinya kepunahan terumbu karang.
Dipaparkan juga jika suhu naik hingga 2 derajat celsius, malapetaka yang akan terjadi antara lain lapisan es di Arktika dan Antartika meleleh dan mengakibatkan air laut hingga setinggi 13 meter. Sungguh mengerikan dampak yang akan terjadi. Selain kacaunya iklim yang membuat 80 juta orang kelaparan parah, bencana juga akan menyebabkan lebih dari 130 juta orang mengalami kemiskinan ekstrem.
Selain membawa tumpukan sampah, gelombang pasang juga menyebabkan abrasi di kawasan Pantai Penghulu Agung, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, seperti terlihat Selasa (9/2/2021).
Sekarang kita sering mendengar laporan, kota-kota pesisir dilanda rob dan banjir. Ditambah pengambilan air tanah yang sesuka hati, tenggelamnya kota dan kawasan pesisir, banyak diyakini menjadi keniscayaan dan tinggal tunggu waktu saja.
Saat ini isu kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim kalah oleh isu pandemi yang memorakporandakan banyak negara. Namun, di tengah kesuntukan pandemi, pihak berwenang di kementerian dan badan serta lembaga lain yang bertanggung jawab atas lingkungan semestinya tak lupa mengerjakan pekerjaan rumah yang ada. Setiap negara, termasuk Indonesia, harus memperlihatkan komitmen dan kontribusi mengerem laju pemanasan global jika tak ingin bencana itu menghampiri kita. Saat diskusi sudah habis, kini waktu berkontribusi
Sumber: Kompas.id - 26 Juni 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar