Didie SW
Kasus harian Covid-19 terus mencetak rekor. Pada 8 Juli 2021, angka ini menembus 40.427 dengan 891 kematian (lima hari sebelumnya 1.040 kematian), dan membuat total korban meninggal mencapai 67.355 orang.
Diramalkan, statistik ini akan terus naik. Kabar duka tak lagi terdengar nun jauh di sana, melainkan makin dekat menghampiri diri sendiri. Di berbagai wilayah, rumah sakit kewalahan menangani korban.
Pasien terpaksa dibaringkan di koridor atau tenda karena kehabisan tempat di bangsal gawat-darurat; tenaga kesehatan kewalahan dan justru menjadi korban; oksigen langka hingga pasien harus kehilangan nyawa. Dan kini, bahkan peti mati dan kantong jenazah untuk korban mulai sulit dicari. Indonesia sudah masuk gelombang kedua pandemi ini. Kita tidak tahu kapan puncaknya, kapan berakhirnya, dan apakah masih ada gelombang-gelombang berikutnya.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah memutuskan pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat selama tiga pekan (3-20 Juli 2021) untuk secara drastis menekan mobilitas warga. Berbagai pusat usaha dan kegiatan, kecuali sektor esensial, ditutup atau beroperasi dengan kapasitas minimal. Ruas-ruas jalan disekat dan dibatasi.
Namun baru dua hari dijalankan, PPKM Darurat dilanggar. Mobilitas di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten tercatat amat tinggi. Masyarakat menerobos pembatasan dan penyekatan jalan.
Bahkan, Jakarta macet total. Tak heran angka kasus lantas melonjak (Kompas, 6/7/2021). Maka, wajar kalau kita lalu bertanya: Apakah negara punya kapasitas untuk menjalankan kebijakan yang dibuatnya sendiri dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini?
Pandemi seolah membuka mata, bahwa kapasitas negara kita mengkhawatirkan.
Kapasitas negara
Kapasitas negara (state capacity) awalnya didefinisikan sebagai kemampuan negara memobilisasi sumber daya finansial untuk menjalankan pemerintahan (Tilly, 1985). Di dalamnya ada tiga dimensi: (i) kapasitas ekstraktif untuk menyediakan sumber daya; (ii) kapasitas pemerintahan untuk melakukan implementasi; dan (iii) kapasitas regulatori–produktif untuk untuk memberikan kepastian aturan bagi warga (Berwick and Christia, 2018).
Saya mendefinisikannya sebagai kemampuan negara untuk mewujudkan (delivery) pembangunan melalui lima hal pokok: regulasi, institusi, akuntabilitas, perencanaan, dan implementasi (Nugroho, 2020). Pandemi seolah membuka mata, bahwa kapasitas negara kita mengkhawatirkan. Setidaknya, lima kemampuan pokok pemerintah itu mesti segera diperbaiki, atau bahkan dirombak ulang.
Pertama, kapasitas menyiapkan kerangka regulasi. Birokrasi tidak bisa berjalan tanpa regulasi –yang dibutuhkan agar kebijakan (apapun yang diputuskan untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah) bisa diwujudkan.
Pandemi ini menegaskan perlunya regulasi yang sederhana, namun tegas, jelas, dan tidak tumpang tindih untuk menuntun birokrasi bekerja di pusat maupun daerah. Selama pandemi, memang terbit sejumlah peraturan dan keputusan presiden, bahkan perppu dan undang-undang, mulai dari pembatasan sosial, penentuan keadaan darurat, wewenang pemerintah daerah, hingga pemulihan ekonomi dan keuangan. Namun tak semua optimal memberikan arah dan koridor birokrasi bekerja.
Kedua, kemampuan menata kerangka kelembagaan. Siapa penanggung jawab tertinggi penanganan wabah ini? Sejumlah lembaga dibentuk (dan dilebur) selama 16 bulan pandemi: Satgas Penanganan Covid-19, Gugus Tugas Percepatan Pengananan Covid-19, Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Akibatnya, kelembagaan penanganan pandemi bukan hanya tak jelas, namun juga tidak efektif.
Petugas memeriksa Surat Tanda Registrasi Kerja (STRP) yang dibawa calon penumpang KRL Commuterline di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Senin (12/7/2021). Dokumen STRP diperlukan bagi para pekerja di Jakarta yang masih beraktivitas dalam masa PPKM darurat. Bagi calon penumpang yang tidak bisa menunjukkan STRP tidak diperbolehkan menggunakan angkutan KRL Commuterline.
Birokrasi bekerja sub-optimal di luar struktur rutin mereka. Penunjukan salah satu menteri koordinator untuk memimpin PPKM Darurat di Jawa dan Bali, misalnya, meski bisa diduga alasannya, tetaplah mencerminkan tidak berjalannya kerangka kelembagaan penanganan Covid-19 ini.
Dalam keadaan segenting dan sekritis ini, Presidenlah yang semestinya memegang tanggung jawab terbesar. Banyaknya keputusan berat dan sulit yang harus diambil membutuhkan visi kepemimpinan nasional yang tegas memberikan arah. Dengan kerangka kelembagaan saat ini, tidak mudah bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk menangani pandemi karena tumpang tindih dan ketidakjelasan wewenang dan tanggung jawab.
Ketiga, kapasitas menciptakan mekanisme akuntabilitas. Apa yang dikerjakan pemerintah mesti dipertanggungjawabkan. Tentu saja, kriterianya adalah apa yang dilakukan dan dihasilkan di lapangan. Jika kampanye 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) mengandaikan kepatuhan masyarakat, keberhasilan atau kegagalan 3T (test, trace, treatment) menunjukkan serius-tidaknya pemerintah.
Maka, capaian 3M-3T bisa menjadi kriteria akuntabilitas di masa krisis ini. Selain itu, tata-kelola untuk memastikan transparansi agar sumber daya tidak dikorupsi dan pemerintah tidak bekerja setengah hati.
Pengetahuan harus diintegrasikan dan menjadi basis perencanaan dan kebijakan: data dan bukti mesti menjadi pertimbangan dan referensi.
Perencanaan, kebijakan, dan implementasi
Keempat, kemampuan membuat perencanaan dan kebijakan. Setidaknya dibutuhkan tiga hal. Satu, penggunaan data dan bukti (evidence). Pengetahuan harus diintegrasikan dan menjadi basis perencanaan dan kebijakan: data dan bukti mesti menjadi pertimbangan dan referensi. Dua, partisipasi publik yang lebih inklusif. Kompleksnya persoalan dan tantangan yang dihadapi tidak mungkin diselesaikan dan dipikirkan pemerintah sendirian. Perspektif dari berbagai kelompok harus memperkaya perencanaan dan kebijakan.
Tiga, kualitas perencana dan pembuat kebijakan. Mereka mesti terlatih dan terpapar dengan tradisi intelektual, agar debat dan diskusi dalam pembuatan perencanaan dan kebijakan lebih bermutu. Pernyataan bahwa pemerintah tidak bisa memprediksi kenaikan kasus setelah Juni 2021 (Kompas, 1/7/2021) padahal para epidemiolog sudah memperkirakannya sejak mudik Lebaran dan masuknya varian Delta dari India (Kompas, 11/6/2021), menunjukkan masalah mendasar integrasi pengetahuan dalam perencanaan dan kebijakan.
Dan ini bukan yang pertama. Sudah sejak awal pandemi, pemerintah dikritik tak mendengarkan suara para ilmuwan. Dampaknya panjang. Pertama, kegagalan membuat perencanaan dan kebijakan penanganan pandemi yang memadai.
Kedua, di tingkat teknis, kegagalan mengantisipasi dampak lonjakan kasus pada fasilitas kesehatan, mulai dari kebutuhan tempat tidur dan oksigen, beban tenaga kesehatan, hingga peti mati dan kantong jenazah untuk para korban. Ini mengapa negara mesti mampu mengintegrasikan pengetahuan dalam perencanaan dan kebijakan agar selalu berbasis data, bukti, dan ilmu.
Di sini pula pelibatan dan partisipasi komunitas ilmiah menjadi kunci pembuatan perencanaan dan kebijakan negara. Masyarakat sipil dan ilmuwan perguruan tinggi serta lembaga penelitian publik (Public Research Institutions/ PRIs) adalah mitra pemerintah. Ini tidak berarti pemerintah harus berkonsultasi apalagi meminta persetujuan mereka. Namun, karena perspektif pemerintah terbatas sedangkan masalah yang dihadapi makin kompleks, masukan mereka penting dijadikan pertimbangan.
Supriyanto
Terakhir, kemampuan negara mengimplementasikan. Implementasi di lapangan membutuhkan keketatan dan disiplin: siapa melakukan apa, kapan, di mana, dan bagaimana; demikian juga pengawasan, evaluasi, dan koreksinya. Pandemi ini menunjukkan pentingnya implementasi. Bukan hanya soal PPKM Darurat yang butuh penegakan hukum, atau penyaluran bantuan pada kelompok rentan selama pembatasan. Namun jauh lebih luas: memastikan agar masyarakat mampu bertahan lewat berbagai dukungan, insentif, subsidi, dan skema perlindungan sosial.
Tentu saja ada beda mendasar antara implementasi 'yang tegas' dan 'yang keras'. Di hulu, ketegasan dibutuhkan agar masyarakat mengikuti protokol kesehatan dan meminimalkan mobilitas, tanpa harus menjadi keras apalagi kasar.
Di hilir, pemerintah juga mesti disiplin pada diri dan aparatnya sendiri: memastikan penguatan fasilitas kesehatan (faskes), insentif pada faskes dan tenaga kesehatan (nakes) dibayarkan tepat waktu, obat disalurkan dan harga tidak dipermainkan, reagen dan alat tes didistribusikan cepat dan merata, dan vaksinasi digenjot sekuat-kuatnya dan semudah-mudahnya untuk semua.
Relasi warga - pemerintah
Jelaslah bahwa kapasitas negara memengaruhi kualitas relasi warga dengan pemerintahnya. Pada lapis terluar, untuk tiap kebijakan dan inisiatif, warga akan mempertanyakan kapabilitas atau kemampuan pemerintah untuk melakukannya. Misalnya, larangan mudik. Apakah pemerintah sungguh mampu melarang warga pulang kampung?
Pada lapis berikutnya, pertanyaan warga akan menyasar kredibilitas atau otoritas pemerintah. Contohnya, apakah pemerintah punya otoritas menutup rumah ibadah selama pandemi?
Lapis ketiga lebih serius, karena warga mulai mendalami motivasi pemerintah dalam sebuah kebijakan. Mengapa obat A dan vaksin B yang mendapatkan izin, dan bukan obat C dan vaksin D, misalnya?
Dan paling serius, di lapisan terdalam, saat warga mulai mempersoalkan kepercayaan (trust) yang diberikannya pada pemerintah. Misalnya saat pandemi makin memburuk dan pemerintah tak dipercaya dalam menanganinya. Ini yang mesti dicegah. Bagaimana caranya?
Negara mesti punya kapasitas mengkomunikasikan kebijakan.
Negara mesti punya kapasitas mengkomunikasikan kebijakan. Bukan hanya agar publik tahu apa yang akan dikerjakan atau tidak dikerjakan pemerintah, melainkan juga agar birokrasi mengerti apa yang mesti dilakukan untuk menjalankan kebijakan tersebut.
Di masa krisis seperti pandemi, komunikasi kebijakan menjadi kunci untuk membangun persepsi risiko yang memadai, baik bagi publik maupun birokrasi. Karena itu, komunikasi kebijakan tidak boleh memberi pesan mendua (ambigu): mesti jelas, lugas, dan tegas. Mengetatkan mobilitas, namun memberi izin kegiatan ekonomi beroperasi adalah contoh jelas kemenduaan ini. Ini mesti dihentikan. Pesan pemerintah mesti tunggal dan jelas: menghadapi pandemi, keselamatan nomor satu; lainnya urusan nanti.
Semua negara di muka bumi menghadapi pandemi tanpa kecuali. Yang membedakan nasib mereka adalah kapasitas masing-masing negara untuk mengambil keputusan secara cepat dan menyelamatkan nyawa. Yang kita butuhkan adalah kapasitas pemerintah yang lebih kuat dan lebih baik untuk melindungi warganya. Karena, satu nyawa hilang sudah terlalu banyak untuk hanya bisa dikenang.
Yanuar Nugroho Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance, Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Akademisi di ISEAS Singapura dan University of Manchester Inggris
Sumber: Kompas.id - 14 Juli 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar